Sudah saatnya penggiat Industri Hasil Tembakau bersama-sama menyerukan untuk menolak RPP Kesehatan.
Dua hari yang lalu, sebagai perwakilan KNPK, penulis menghadiri undangan dari Federasi Serikat Pekerja – Rokok, Tembakau, Makanan, dan Minuman Daerah Istimewa Yogyakarta (FSP-RTMM DIY). Undangan tersebut berupa diskusi Menelisik Kebijakan Cukai Hasil Tembakau. Di akhir sesi, bersama dengan elemen lainnya seperti Komunitas Kretek, kami memberi pandangan tentang Rancangan Peraturan Pemerintah Kesehatan (RPP Kesehatan).
Jawaban kami sama: menolak RPP Kesehatan. Beberapa elemen ada yang mengungkapkan untuk mengeluarkan pasal tembakau dari RPP Kesehatan. Namun, inti dari permasalahan tersebut sama. Resah dan gelisah dengan kehadiran RPP Kesehatan.
Yang menjadi masalah adalah Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin mengungkapkan bahwa RPP akan naik menjadi PP. Tentu saja ini kabar buruk bagi Industri Hasil Tembakau. Mengapa disebut sebagai kabar buruk?
Bukan Pengendalian, tapi Pemusnahan Industri Hasil Tembakau
Jika mau membaca ulang dalam draf RPP Kesehatan yang beredar di dunia maya, terlihat dengan jelas bahwa ini bukan pengendalian. Melainkan pemusnahan. Hal tersebut dapat terlihat sejak Bab 21 tentang Pengamanan Zat Adiktif.
Dari pasal 435 hingga 460 isinya benar-benar memperketat produk tembakau. Beberapa pasal pernah kami bahas di sini. Kemudian, yang paling unik adalah imbauan kepada seluruh jajaran kementerian ikut mengawasi produk tembakau. Mulai dari produksi, distribusi, hingga konsumsi.
Hal tersebut tertuang dalam pasal 457 ayat 1-11. Beberapa kementerian yang diharuskan berpartisipasi melakukan pengamanan terhadap produk tembakau ialah Kementerian Keuangan, Kementerian Perindustrian, dan Kementerian Perdagangan.
Akan tetapi, di antara perintah, alih-alih imbauan, ada narasi “penekanan” terhadap Kementerian Pertanian. Ya, dari RPP Kesehatan, Kementerian Pertanian diminta untuk mendorong petani agar melakukan diversifikasi tembakau. Beralih dari tanaman tembakau ke tanaman lain.
Tentu saja, Kementerian Kesehatan tampaknya tidak mengetahui dengan baik lingkungan Indonesia secara menyeluruh. Di beberapa daerah, khususnya yang tinggal di gunung, hanya tembakau yang dapat hidup sebagai tanaman. Hanya tembakau yang memiliki nilai ke-ekonomi-an yang tinggi.
Tampaknya, Kementerian Kesehatan belum melakukan riset secara menyeluruh. Atau jangan-jangan riset hanya dilakukan ketika tidak musim tembakau, yaitu Juni-September. Akhirnya riset tersebut memberikan hipotesis bahwa tidak ada petani yang menanam tembakau.
Maka dari itu, memang benar bahwa RPP Kesehatan hanya ingin memusnahkan tata kelola Industri Hasil Tembakau (IHT).
Kementerian Kesehatan yang Lupa DBH-CHT
Kementerian Kesehatan tampaknya lupa bahwa anggaran Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH-CHT) berfungsi untuk bidang kesehatan. Persentasenya hampir separuh dari anggaran, yaitu 40%. Anggaran yang di kemudian hari berfungsi untuk memaksimalkan pelayanan kesehatan di antaranya membangun puskesmas dan rumah sakit.
Sepertinya unik, ya. Dana bagi hasil yang konon dianggap sebagai “dosa” ternyata dinikmati oleh pelayanan kesehatan. Alasannya, rokok menjadi penyebab banyak penyakit. Padahal, rokok tidak bisa menjadi faktor tunggal penyebab sebuah penyakit. Sayangnya, narasi seperti ini tidak banyak yang memahaminya.
Jika Kementerian Kesehatan mau konsisten dengan bahasa pengetatan produk tembakau, atau apalah itu dalam RPP Kesehatan, semestinya menolak juga DBH CHT. Sayangnya, sekali lagi, dana bagi hasil itu gurih.
Kenapa tidak sekalian saja Kementerian Kesehatan mendukung untuk membasmi pabrik rokok baik legal maupun ilegal? Lalu, apakah siap apabila nanti ditanya bagaimana nasib pengangguran baru? Barangkali, itulah yang Kementerian Kesehatan tidak pikirkan. Sepenuhnya yang menanggung biar dikembalikan pada pemerintah.
Oleh karena itu, jika sampai berlarut-larut dan tampaknya Kementerian Kesehatan pun tidak memiliki solusi, sudah sepantasnya kami menolak RPP Kesehatan. RPP yang hanya mementingkan satu golongan dengan mengabaikan kepentingan masyarakat seutuhnya.