Rokok ilegal memang mengurangi penerimaan negara. Tapi, masalahnya, apakah negara benar-benar memberantas peredaran rokok ilegal?
Setiap hari kita mendapatkan suguhan tentang berbagai berita. Salah satu berita tersebut adalah rokok ilegal. Entah itu penyelundupan, penyelewengan, hingga pemberantasan. Namun, apabila kamu melihat secara menyeluruh tentang rokok ilegal, ada kesamaan. Apa itu?
Ya, hampir bahkan seluruh kepala daerah di Indonesia ikut mensosialisasikan tentang bahaya rokok ilegal. Mulai dilarang memperjualbelikan hingga mengonsumsi barang tersebut. Yang paling kencang, tentu saja kehadiran rokok ilegal akan mengurangi penerimaan negara.
Pertanyaan yang cukup penting adalah mengapa sampai harus kepala daerah ikut mengampanyekan hal tersebut? Seberapa genting kehadiran rokok ilegal hingga setiap kepala daerah, apabila ada acara operasi gempur rokok ilegal, pasti akan hadir.
Narasi bahwa Rokok Ilegal Mengurangi Pendapatan Negara
Rokok ilegal memang terbukti mengurangi pendapatan negara. Ada bukti yang mendasar dalam pernyataan tersebut. Seperti tahun 2023 saja, penerimaan negara via cukai hasil tembakau (CHT) menurun atau tidak sesuai target. Padahal, sudah ada revisi target, tetapi tetap saja tidak memenuhi target.
Rokok ilegal juga bikin pabrik rokok legal ketar-ketir. Alasannya, pada tahun 2023 saja produksi rokok ilegal mencapai 7% dari total produksi rokok di Indonesia. Jika tidak ditangani secara serius, bukan tidak mungkin persentasenya akan bertambah.
Akan tetapi, hulu permasalahannya bukan peredaran atau produksi rokok ilegal meningkat. Melainkan apa yang menyebabkan peredaran rokok ilegal meningkat. Nah, bahasan seperti ini, dalam beberapa waktu, sudah semakin nyaring.
Kebijakan kenaikan tarif CHT yang tidak moderat adalah penyebabnya. Selama ini, kenaikan CHT selalu di atas dua digit. Dengan persentase yang melangit maka menyebabkan perusahaan rokok legal kalang kabut. Mau tidak mau mereka akan menyesuaikan biaya produksinya.
Alhasil, tekanan berujung kepada buruh pabrik, yang kemudian hari terkena PHK. Bahkan, tekanan juga merambah ke petani tembakau. Dengan penyusutan produksi maka mau tidak mau pabrik akan mengurangi jatah serapan tembakau dari petani. Pun jika terjual ke pabrik, risikonya adalah harga tembakau turun.
Jika sudah turun, otomatis mereka akan mencari cara agar tembakaunya tetap laku. Akhirnya, datanglah produsen rokok ilegal yang membeli barang dengan harga sekenanya. Tidak melalui aturan resmi. Kemudian, mau tidak mau, menjual kepada mereka.
Jadilah yang seperti ini. Tumbuh terus. Terkendali namun tidak ada pengawasan yang pasti. Justru yang disasar adalah penjual dan pengedarnya. Bahkan mereka akan mendapat ancaman pidana atau minimal denda berupa materi.
Kenapa Negara Tidak Menyasar Produsen Rokok Ilegal?
Ini yang perlu menjadi pertanyaan hingga hari ini. Jarang atau bahkan tidak pernah ada Bea Cukai atau Satpol PP yang menggerebek produsen rokok ilegal. Entah kenapa berita ini tidak pernah ada. Padahal ujung permasalahannya bisa saja diberantas. Namun, selalu saja yang dihajar adalah penjual atau pengedarnya.
Maka dari itu, tidak heran apabila ada sebagian besar netizen yang berasumsi bahwa pemilik atau produsen rokok ilegal mendapatkan perlindungan. Bahkan, mereka sudah “membayar” jaminan agar tidak terseret kasus. Jika benar ada seperti itu, tidak heran operasi gempur rokok ilegal hanyalah operasi proyek semata.
Jika negara ingin melindungi Industri Hasil Tembakau secara keseluruhan, sudah selayaknya memberi hukuman kepada produsen rokok ilegal. Namun, apakah negara memiliki nyali tinggi untuk membasminya? Penulis tidak yakin. Sebab, jika melihat gejala peredarannya, semakin tahun semakin meningkat.
Sementara itu, apabila tarif cukai hasil tembakau selalu meningkat maka produksi rokok ilegal tidak akan pernah padam. Bahkan, justru abadi di Indonesia.