Negara selalu ingin berpolemik terhadap pelaku Industri Hasil Tembakau. Kemarin, pedagang asongan. Besok bisa jadi kepada buruh rokok. Besoknya bisa jadi ke petani tembakau. Namun, yang paling hangat sekarang adalah pengusaha ritel, yang berurusan tentang rokok.
Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) menyayangkan apabila pemerintah benar-benar mengesahkan RPP Kesehatan. Sebab, pendapatan mereka akan berkurang drastis.
Pada tahun 2023, pendapatan ritel dari Industri Hasil Tembakau (IHT) mencapai Rp40 Triliun. Menurut Ketua Dewan Penasihat Hippindo, Tutum Rahanta, ketika pemerintah mengesahkan peraturan tersebut maka pendapatan ritel berpotensi hilang Rp20 Triliun.
Bahkan, yang lebih berbahaya, akan ada banyak pasar gelap dalam IHT. Ini malah menjadi persoalan baru bagi pemerintah.
“Penjualan kalau diganggu pasti akan berdampak terhadap timbulnya kesempatan lain. Saya kira nanti akan timbul penjualan produk tembakau di pasar gelap dan membludak, sehingga pemerintah nanti akan sulit untuk mengontrol peredarannya,” kata dia.
Pemerintah Tidak Berpihak kepada Ritel Rokok
Ini bukan hal yang pertama bahwa pemerintah tidak berpihak kepada ritel rokok. Jika kamu masih ingat, dulu pemerintah pernah sempat mewacanakan penggunaan tirai untuk produk rokok di ritel.
Jadi, kamu yang sudah berusia 21 tahun, tidak akan bisa melihat produk rokok di ritel. Sebab, produk tersebut tersembunyi di balik tirai.
Wacana tersebut sempat booming. Bahkan, provinsi DKI Jakarta, sebagian ritelnya, pernah menerapkan hal tersebut tiga tahun lalu. Tentu saja hal tersebut menuai protes karena mempengaruhi pendapatan ritel.
Hal yang sering kali diulang dan barangkali tidak diperhatikan pemerintah terkait pengelolaan IHT adalah multisektor. Pemerintah tidak bisa menilai bahwa IHT hanya dari segi kesehatan saja.
Dari segi pertanian, perkebunan, periklanan, komunikasi dan informasi, perindustrian, hingga perdagangan. Ini belum lagi dengan ketenagakerjaan. Lintas sektor inilah yang mestinya dipertimbangkan ulang oleh pemerintah.
Masalahnya, meskipun pemerintah tahu akan hal tersebut, kenapa peraturan terkait IHT selalu tampak menitikberatkan pada sektor kesehatan? Hal inilah yang pada akhirnya menimbulkan tanda tanya. Benarkan pemerintah hanya butuh saran dari sektor kesehatan saja?
Rokok: Dibenci Produknya, Dicintai Cuannya
Kalimat di atas bukanlah adagium semata melainkan memang kenyataannya seperti itu. Industri Hasil Tembakau, yang dalam hal ini disebut rokok, selalu mendapat anggapan miring. Produk yang harus kena cukai karena mendapatkan label berbahaya, misalnya.
Akan tetapi, pemerintah memiliki banyak cara untuk menyerap dan menghisap cuan dari industri ini. Jika bukan karena rokok, tidak mungkin penerimaan cukai selalu mencapai target dalam kurun waktu lima tahun (kecuali 2023).
Oleh karena itu, tidak heran apabila pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, selalu menaikkan persentase cukai rokok dari tahun ke tahun. Bahkan, ikut pula menaikkan target cukai rokok dari tahun ke tahun.
Hal inilah yang tampaknya membuat candu bagi pemerintah. Sebab, realisasi target yang berulang kali tercapai itulah yang membuat pemerintah yakin.
Masalahnya, pemerintah harus sadar bahwa tahun 2023 bukanlah tahun baik bagi IHT. Penerimaan cukai rokok turun (bahkan melalui revisi target pun tidak tercapai) dan luas tanam tembakau yang menurun. Dengan demikian, wajar apabila tidak tercapai.
Bahkan, hingga Mei 2024 pun, target dari cukai rokok pun belum terpenuhi. Sebenarnya, alasannya mengapa itu tidak tercapai sudah ada. Sayangnya, pemerintah tampak belum peduli.
Padahal sudah ada peringatan bahwa kenaikan cukai rokok membuat peredaran rokok ilegal meningkat. Selain itu, pada akhirnya perokok beralih dari golongan rokok kelas I ke kelas II bahkan kelas III.
Lalu, jika sudah begini, salah siapa? Salah yang bikin kebijakan, bukan?