PERTANIAN

Antara Aku, Akik, dan Bekas Pacarku

Sekilas judul tulisan ini mirip dengan lagu bang Iwan Fals yang kurang lebih syairnya seperti ini:

[blockquote]tabir gelap yang dulu hinggap
lambat laun mulai terungkap
labil tawamu
tak pasti tangismu
jelas membuat aku sangat ingin mencari[/blockquote]

Hehe…. malah nyanyi. Terusin sendiri aja deh syair lagunya. Cari di Google ada kok. Ya judul tulisan ini memang terinspirasi dari lagu bang Iwan Fals tentang aku, kau, dan bekas pacarku. Aku dapat diartikan saya (penulis), kau artinya akik, dan bekas pacarku adalah istri saya.

Harus saya akui saya adalah penggemar batu akik. Entah kenapa. Saya sendiri tidak paham alasan pertamanya. Tiba-tiba suka begitu saja. Bahkan jauh sebelum booming batu akik yang hampir usai saat ini saya sudah gemar memakai cincin akik di jari saya. Bagi saya, akik itu unik, menentramkan, dan sedikit banyak menambah nilai penampilan saya yang notabene biasa-biasa saja menurut ukuran Dolce & Gabanna. Di saat hati di rundung galau, kecintaan saya terhadap akik malah bertambah. Hampir sama seperti batang rokok yang lebih banyak saya hisap waktu berpikir keras. Kalau dipikir lebih jauh mungkin hal itu untuk menentramkan hati saya. Kla-ngen-an bahasa jawanya.

Sah-sah saja jika saya sejenak menenangkan diri dengan memandangi batu akik koleksi saya. Sama halnya jika ada orang yang mencoba menentramkan diri dengan mengoleksi burung, ikan, bunga, tanaman, action figure, die cast, pisau hias, hingga moge. Semua orang butuh klangenan saya rasa, dan itu sah-sah saja selama tidak melanggar hukum.

Nah! Masalah baru mulai timbul saat booming batu akik merajalela di negeri ini. Saya jadi cenderung suka membeli batu akik dengan ragam yang tidak dapat dihitung dengan jari tangan. Mulai batuan lokal hingga batuan impor hasil tambang dari tanah seberang. Saya ingin tahu jenis dan karakter batu-batu yang muncul di pasaran, ya sekedar ingin memenuhi rasa ingin tahu saja. Tidak lebih. Kalau sudah tahu dalam arti memegang dan mengamati sejenak tentu batu tersebut akan saya jual lagi untuk modal hunting selanjutnya. Jadi terkesan saya membuka bisnis jual beli batu akik. Kalau bisa dapat untung kenapa tidak?

Jual beli yang saya lalukan tidaklah seperti pedagang lain, yang harus memaksakan kulakan dan mengejar omzet. Beda paling jelas adalah di pilihan batu akik yang dijual dan dibeli. Batu pilihan saya kadang bukan batu yang sedang happening, malah terkadang tidak populer di kalangan penggemar akik anyaran. Dan itu berarti saya harus siap menyimpan lebih lama batuan saya sebelum menemukan pembeli yang tepat. Dari segi harga, saya juga tidak mematok harus dapat segini rupiah atau segitu rupiah sebagai nilai keuntungan. Karena saya sudah untung lebih dahulu saat mendapatkan kesempatan memegang dan mengamati batu tersebut sebelum menjadi barang dagangan lagi. Sehingga dengan demikian nilai nominal hanyalah bonus katakanlah seperti itu. Yang penting jangan sampai rugi itu saja.

Lalu apa hubungannya dengan bekas pacar a.k.a istri saya? Istri saya juga terpengaruh untuk mengetatkan keuangan saat saya merengek minta tambahan uang buat modal hunting batu akik. Kadang dia marah saat saya hutang untuk beli batu akik. Kadang dia tersenyum jika ada akik yang terjual dan ada keuntungan di sana. Namun saya sungguh berterimakasih padanya karena tanpa sepengetahuannya dia juga mendukung program penentraman hati saya dengan batu akik.

Kembali ke pertanyaan awal. Lantas apa yang menyebabkan saya suka batu akik? Sekali lagi saya tidak tahu persis, dan bisa jadi itu adalah budaya yang merasuk dalam keseharian saya. Sebagai pembenaran tentu tidak terlalu berlebihan jika saya menyertakan catatan sejarah yang menyatakan bahwa budaya memakai cincin di jari sebagai sebuah perangkat fashion layaknya orang Melayu lain, atau lebih tepatnya Jawa.

Sir Thomas Stamford Raffles dalam bukunya History of Java yang dirilis pertama kali tahun 1817 menulis cincin cum batu akik telah menjadi budaya orang Jawa sejak dahulu kala.

[blockquote]Setiap laki-laki dan perempuan dari semua kalangan memakai cincin di jari mereka. Cincin pada laki-laki biasanya dari besi, tembaga atau kuningan, sedangkan pada wanita hanya dari kuningan atau tembaga.[/blockquote]

Bahkan cincin juga digunakan sebagai simbol superioritas dalam konteks pakaian perang atau upacara yang digunakan oleh masyarakat Jawa waktu itu.

[blockquote]Pakaian ini adalah pakaian resmi berperang, dan seringkali mereka harus menunjukkan superioritasnya dengan mengenakan berbagai perhiasan dan cincin yang mereka miliki.[/blockquote]

Tak berlebihan kiranya jika saya menganggap akik adalah produk budaya yang telah ada mengakar kuat di masyarakat Melayu dan Jawa pada khususnya. Sama seperti tembakau, kopi, sarung, tahlilan, kirim doa ke makam, yang akhir-akhir ini sering dipermasalahkan, disebut bid’ah bahkan. Bid’ah menurut budaya mana? Arab? Yahudi? Romawi? Amerika? Ayolah Bung dan Jeng. Kalian orang mana? Kenali budaya kalian biar tidak mudah dijajah (terus dan lagi).

Tinggalkan Balasan