Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia.
<\/p>\n\n\n\n
Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini.
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cTungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Mbah Suyono kembali diperintahkan untuk menunggu. \u201cTungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Kali ini Ki Ageng Makukuhan langsung menemui dirinya menjelang subuh. Dan berkata: \u201cTungguo sak megaring kembang.<\/em>\u201d Mbah Suyono kembali diperintahkan untuk menunggu. \u201cTungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cWaktu Titiyoni, Gandayoni, lan Puspatajem,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono, sambil menatap mata saya. Matanya memancarkan keteduhan. Walaupun kornea matanya sudah nampak pudar karena usia tua. Namun tatapan matanya begitu lembut, ciri-ciri orang yang mempunyai jiwa yang tenang. Kali ini Ki Ageng Makukuhan langsung menemui dirinya menjelang subuh. Dan berkata: \u201cTungguo sak megaring kembang.<\/em>\u201d Mbah Suyono kembali diperintahkan untuk menunggu. \u201cTungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Beberapa tahun kemudian Mbah Suyono melakukan tirakat lagi; puasa ngeblong<\/em>. Dirinya menembus ruang dan waktu; mulai petang hari, tengah malam, hingga malam menjelang subuh. \u201cWaktu Titiyoni, Gandayoni, lan Puspatajem,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono, sambil menatap mata saya. Matanya memancarkan keteduhan. Walaupun kornea matanya sudah nampak pudar karena usia tua. Namun tatapan matanya begitu lembut, ciri-ciri orang yang mempunyai jiwa yang tenang. Kali ini Ki Ageng Makukuhan langsung menemui dirinya menjelang subuh. Dan berkata: \u201cTungguo sak megaring kembang.<\/em>\u201d Mbah Suyono kembali diperintahkan untuk menunggu. \u201cTungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. Tentu saja Mbah Suyono kurang puas dengan jawaban Ki Ageng Makukuhan. Dirinya sudah cukup tua untuk melanjutkan pengabdiannya sebagai kuncen. Dia juga tidak diberitahu apa alasannya sehingga keinginannya berhenti menjadi kuncen ditolak Ki Ageng Makukuhan. Beberapa tahun kemudian Mbah Suyono melakukan tirakat lagi; puasa ngeblong<\/em>. Dirinya menembus ruang dan waktu; mulai petang hari, tengah malam, hingga malam menjelang subuh. \u201cWaktu Titiyoni, Gandayoni, lan Puspatajem,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono, sambil menatap mata saya. Matanya memancarkan keteduhan. Walaupun kornea matanya sudah nampak pudar karena usia tua. Namun tatapan matanya begitu lembut, ciri-ciri orang yang mempunyai jiwa yang tenang. Kali ini Ki Ageng Makukuhan langsung menemui dirinya menjelang subuh. Dan berkata: \u201cTungguo sak megaring kembang.<\/em>\u201d Mbah Suyono kembali diperintahkan untuk menunggu. \u201cTungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cLha, gene ngerti<\/em>,\u201d kata Ki Ageng Makukuhan. Usai mengucapkan kalimat itu Ki Ageng Makukuhan lenyap. Suyono terpaku dalam hening. Dia berpikir. Tentu saja Mbah Suyono kurang puas dengan jawaban Ki Ageng Makukuhan. Dirinya sudah cukup tua untuk melanjutkan pengabdiannya sebagai kuncen. Dia juga tidak diberitahu apa alasannya sehingga keinginannya berhenti menjadi kuncen ditolak Ki Ageng Makukuhan. Beberapa tahun kemudian Mbah Suyono melakukan tirakat lagi; puasa ngeblong<\/em>. Dirinya menembus ruang dan waktu; mulai petang hari, tengah malam, hingga malam menjelang subuh. \u201cWaktu Titiyoni, Gandayoni, lan Puspatajem,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono, sambil menatap mata saya. Matanya memancarkan keteduhan. Walaupun kornea matanya sudah nampak pudar karena usia tua. Namun tatapan matanya begitu lembut, ciri-ciri orang yang mempunyai jiwa yang tenang. Kali ini Ki Ageng Makukuhan langsung menemui dirinya menjelang subuh. Dan berkata: \u201cTungguo sak megaring kembang.<\/em>\u201d Mbah Suyono kembali diperintahkan untuk menunggu. \u201cTungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini. \u201cLha, gene ngerti<\/em>,\u201d kata Ki Ageng Makukuhan. Usai mengucapkan kalimat itu Ki Ageng Makukuhan lenyap. Suyono terpaku dalam hening. Dia berpikir. Tentu saja Mbah Suyono kurang puas dengan jawaban Ki Ageng Makukuhan. Dirinya sudah cukup tua untuk melanjutkan pengabdiannya sebagai kuncen. Dia juga tidak diberitahu apa alasannya sehingga keinginannya berhenti menjadi kuncen ditolak Ki Ageng Makukuhan. Beberapa tahun kemudian Mbah Suyono melakukan tirakat lagi; puasa ngeblong<\/em>. Dirinya menembus ruang dan waktu; mulai petang hari, tengah malam, hingga malam menjelang subuh. \u201cWaktu Titiyoni, Gandayoni, lan Puspatajem,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono, sambil menatap mata saya. Matanya memancarkan keteduhan. Walaupun kornea matanya sudah nampak pudar karena usia tua. Namun tatapan matanya begitu lembut, ciri-ciri orang yang mempunyai jiwa yang tenang. Kali ini Ki Ageng Makukuhan langsung menemui dirinya menjelang subuh. Dan berkata: \u201cTungguo sak megaring kembang.<\/em>\u201d Mbah Suyono kembali diperintahkan untuk menunggu. \u201cTungguo sak megaring kembang, kuwi cepak limang dino, adoh maring 10 dina,<\/em>\u201d kata Mbah Suyono kepada saya, saat saya tanyakan apa maksudnya. Sehari bagi Mbah Suyono sama dengan dia laku atau nglakoni<\/em> selama setahun. Lima hari (cepak limang dina<\/em>) berarti lima tahun, hingga 10 tahun. Dia memahami apa yang dikatakan Ki Ageng Makukuhan. Dan hingga saat ini dia tetap sabar menunggu karena belum ada yang bisa menggantikan dirinya. Dia telah tahu bahwa belum ada orang yang berjodoh menggantikan dirinya sebagai kuncen Plabengan. Tetapi di dalam hatinya, Mbah Suyono merasakan dirinya sudah tidak mampu lagi mengemban tugas sebagai kuncen. Fisiknya mulai menurun. Apalagi jika harus mengantar peziarah mendaki lereng gunung. Keputusannya berdasarkan kontemplasi yang matang. Setiap saat dia bercermin pada hatinya. Keputusannya bulat, dia sudah merasa tidak sanggup lagi menjadi kuncen karena usia tua. Tetapi jawaban: Tungguo sak megaring kembang<\/em> sebenarnya juga adalah penolakan dari Ki Ageng Makukuhan.<\/p>\n\n\n\n Saya pamit dari rumah Mbah Suyono sekitar pukul 17.00 wib. Di tepian jalan dusun beberapa warga memakai sarung, bergerombol di teras rumah sambil udud lintingan kemloko dan kretek 76. Saya hampiri sejenak dan berbincang beberapa saat. Lalu saya melanjutkan jalan menuju rumah Pak Mujiono, tempat saya, Giri, dan Mamok, menginap. Di sebelah rumah pak Mujiono terdapat juga warga dusun yang sedang ngobrol. Sama seperti di teras rumah tadi. Mereka memakai sarung, sambil udud lintingan juga ada yang udud kretek.<\/p>\n\n\n\n Lelaki yang berjaket putih dan bersarung bernama Buari, di sebelahnya Suratman, dan dua orang lainnya lagi. Pak Buari dan keempat temannya juga meyakini bahwa Plabengan adalah makam Ki Ageng Makukuhan dan santri-santrinya. Plabengan dianggap wingit oleh warga Dusun Cepit. Banyak kejadian-kejadian aneh yang sukar diterima akal terjadi di Plabengan. Menurut Pak Buari; pernah terjadi suatu malam, ada seorang warga melihat seekor kuda putih berjalan di Plabengan. Padahal tidak seorang pun warga dusun yang memelihara kuda. Apalagi berwarna putih. Kuda itu konon tunggangan Ki Ageng Makukuhan. Ada juga warga yang lain melihat seekor harimau. Tetapi tidak semua orang bisa melihat hewan-hewan peliharaan Ki Ageng Makukuhan. Hanya orang-orang tertentu saja yang dapat melihatnya. <\/p>\n\n\n\n Hanya orang-orang yang berjodoh. Orang-orang yang terpilih. Sama seperti halnya dengan permintaan. Banyak orang yang berziarah ke Plabengan tapi tidak semuanya dikabulkan. \u201cJangan juga meminta sembarangan, Mas,\u201d kata Pak Buari pada saya.<\/p>\n\n\n\n \u201cSembarangan bagaimana maksudnya, Pak,\u201d tanya saya dalam jawa. \u201cPernah ada seorang pemuda tirakat di makam tiba tiba tubuhnya terlontar seperti dilemparkan oleh seseorang yang tak terlihat. Pemuda itu jatuh di tepian jurang, lalu terperosok. Untungnya jurang di depan makam tidak terlalu dalam.\u201d \u201cMemang yang diminta apa, Pak, kok sampe dilempar,\u201d tanya saya lagi. \u201cPemuda itu meminta pusaka di Plabengan.\u201d Jawab Pak Buari. \u201cWah, jangan-jangan banyak ya pusaka di Plabengan?\u201d \u201cWah, ya sudah pasti banyak, Mas,\u201d jawabnya. \u201cDan itu tidak terjadi hanya satu kali. Sering terjadi orang meminta di Plabengan dilemparkan dari Makam. Jika warga mendengar kabar itu, warga lantas bisa menebak, pasti yang diminta adalah pusaka Ki Ageng Makukuhan.\u201d Pak Buari juga bercerita; pernah suatu hari ada seorang perempuan datang dari Desa Sukorejo, Kendal, mendatangi Dusun Cepit. Perempuan itu datang bersama tukang ojek dan menanyakan rumah Ki Ageng Makukuhan. Warga yang ditanyai malah bingung karena yang ditanyai merupakan makam bukan rumah. Perempuan itu tetap yakin lelaki yang datang ke rumahnya dan menyuruhnya ke Dusun Cepit orangnya masih hidup dan bernama Ki Ageng Makukuhan. Pak Buari yang kebetulan lewat berhenti dan menanyai perempuan itu. Jawabannya sama. Perempuan itu tetap yakin Ki Ageng Makukuhan masih hidup. Dan mengundang ke rumahnya di Dusun Cepit. \u201cSaya lantas mengantarkan perempuan itu ke rumah Mbah Suyono,\u201d kata Pak Buari. <\/p>\n\n\n\n \u201cSaat tiba di rumah Mbah Suyono, perempuan itu terkejut dan berseru, lha ini yang datang ke rumah saya,\u201d kata Pak Buari. Ringkasnya, perempuan dari Kendal itu adalah seorang pengusaha yang tengah anjlok usahanya. Saat gundah dan putus asa dia didatangi seorang lelaki tua mengaku bernama Ki Ageng Makukuhan. Orang yang mengaku sebagai Ki Ageng makukuhan itu lantas menyuruhnya datang ke rumahnya di Dusun Cepit. Sowan, silaturahmi. Anehnya, Ki Ageng Makukuhan datang menemui perempuan itu menyerupai Mbah Suyono.<\/p>\n\n\n\n Bagi warga Dusun Cepit kejadian-kejadian aneh itu sudah sering terjadi dan sudah menjadi hal yang biasa. Ki Ageng Makukuhan sering memberikan weweling<\/em> kepada warga melalui tubuh seorang warga. Anjuran untuk mengadakan kesenian juga atas permintaan orang yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan. Saat ini Dusun Cepit mempunyai kelompok jathilan bernama Turangga Seta. Jahilan dan kesenian tradisi seperti kethoprak konon merupakan kesenian kesukaan Ki Ageng Makukuhan. Pernah juga terjadi, kata Pak Buari, Ki Ageng Makukuhan merasuki tubuh warga memberikan peringatan. Tubuh warga yang dirasuki Ki Ageng Makukuhan itu mengatakan agar warga Dusun Cepit tidak berpergian jauh karena ada yang akan dipanggil Tuhan. Sebuah berita lelayu. Benar saja, dua hari kemudian ada seorang warga Dusun Cepit yang meninggal dunia. Kisah-kisah lisan yang bertebaran di lereng Sumbing memang sukar untuk dipercayai kebenarannya. Tetapi kisah-kisah sejarah lisan ataupun legenda yang disampaikan melalui pitutur selama membawa kebaikan bagi semua warga yang meyakininya akan menjadi kebenaran itu sendiri. Karena kebenaran kisah-kisah lisan ataupun legenda tidak membutuhkan konfirmasi dari berbagai pihak melainkan untuk diyakini. Warga Dusun Cepit tahu bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan Yang Maha Kuasa. Dan mereka meyakini kebenaran kisah-kisah lisan itu dan menjadikannya sebagai tradisi dan budaya warisan leluhur. Kebudayaan pada hakekatnya melahirkan ketentraman dan kedamaian hidup tidak hanya bagi warga lereng Sumbing tetapi juga seluruh masyarakat di negeri ini.
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Kisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Kisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\nKisah Lisan dari Plabengan<\/strong><\/h2>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p><\/blockquote>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kisah-Kisah dari Lereng Sumbing","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kisah-kisah-dari-lereng-sumbing","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2023-12-07 13:07:41","post_modified_gmt":"2023-12-07 06:07:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5594","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};