Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n
Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja.
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"
Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n
Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n
Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja.
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"
Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.<\/p>\n\n\n\n
Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n
Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n
Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja.
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"
Sudah banyak lembaga di negeri kita yang sudah menjadi alat pendukung kepentingan kelompok anti tembakau. Tidak hanya itu, sponsor-sponsor untuk menggalakkan kampanye anti tembakau juga telah merasuki organisasi-organisasi keagamaan.<\/p>\n\n\n\n
Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.<\/p>\n\n\n\n
Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n
Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n
Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja.
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"
Bahkan, tak jarang, tembakau lokal didorong untuk dikendalikan dengan legitimasi hasil riset yang sejatinya bertujuan untuk memberangus pertanian tembakau. Celakanya, untuk urusan seperti ini, pemerintah terlibat. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat pemerintah sudah mulai menyarankan petani beralih dari tembakau ke komoditas lain.<\/p>\n\n\n\n
Sudah banyak lembaga di negeri kita yang sudah menjadi alat pendukung kepentingan kelompok anti tembakau. Tidak hanya itu, sponsor-sponsor untuk menggalakkan kampanye anti tembakau juga telah merasuki organisasi-organisasi keagamaan.<\/p>\n\n\n\n
Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.<\/p>\n\n\n\n
Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n
Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n
Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja.
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"
Untuk itu, kelompok pro kretek yang notabene mendukung kedaulatan negara, jangan sampai lengah karena korporasi farmasi internasional yang saat ini sudah mampu memproduksi nikotin sintesis. Mereka ini ingin menguasai rokok konvensional.<\/p>\n\n\n\n
Bahkan, tak jarang, tembakau lokal didorong untuk dikendalikan dengan legitimasi hasil riset yang sejatinya bertujuan untuk memberangus pertanian tembakau. Celakanya, untuk urusan seperti ini, pemerintah terlibat. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat pemerintah sudah mulai menyarankan petani beralih dari tembakau ke komoditas lain.<\/p>\n\n\n\n
Sudah banyak lembaga di negeri kita yang sudah menjadi alat pendukung kepentingan kelompok anti tembakau. Tidak hanya itu, sponsor-sponsor untuk menggalakkan kampanye anti tembakau juga telah merasuki organisasi-organisasi keagamaan.<\/p>\n\n\n\n
Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.<\/p>\n\n\n\n
Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n
Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n
Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja.
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"
Kelompok antitembakau, selalu berdalih dengan bahasa pembatasan atau pengendalian. Padahal niatan utama mereka memberangus tembakau dan kretek.<\/strong><\/p>\n\n\n\n Untuk itu, kelompok pro kretek yang notabene mendukung kedaulatan negara, jangan sampai lengah karena korporasi farmasi internasional yang saat ini sudah mampu memproduksi nikotin sintesis. Mereka ini ingin menguasai rokok konvensional.<\/p>\n\n\n\n Bahkan, tak jarang, tembakau lokal didorong untuk dikendalikan dengan legitimasi hasil riset yang sejatinya bertujuan untuk memberangus pertanian tembakau. Celakanya, untuk urusan seperti ini, pemerintah terlibat. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat pemerintah sudah mulai menyarankan petani beralih dari tembakau ke komoditas lain.<\/p>\n\n\n\n Sudah banyak lembaga di negeri kita yang sudah menjadi alat pendukung kepentingan kelompok anti tembakau. Tidak hanya itu, sponsor-sponsor untuk menggalakkan kampanye anti tembakau juga telah merasuki organisasi-organisasi keagamaan.<\/p>\n\n\n\n Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.<\/p>\n\n\n\n Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja. Hal lain yang patut diperhatikan, seringkali, kampanye negatif terhadap tembakau, disusupkan melalui regulasi-regulasi secara halus. Dampak penyusupan kepentingan asing ke regulasi ini jelas saja sangat mengancam ekonomi di dalam negeri. Sekaligus juga mengancam kedaulatan nasional.<\/p>\n\n\n\n Kelompok antitembakau, selalu berdalih dengan bahasa pembatasan atau pengendalian. Padahal niatan utama mereka memberangus tembakau dan kretek.<\/strong><\/p>\n\n\n\n Untuk itu, kelompok pro kretek yang notabene mendukung kedaulatan negara, jangan sampai lengah karena korporasi farmasi internasional yang saat ini sudah mampu memproduksi nikotin sintesis. Mereka ini ingin menguasai rokok konvensional.<\/p>\n\n\n\n Bahkan, tak jarang, tembakau lokal didorong untuk dikendalikan dengan legitimasi hasil riset yang sejatinya bertujuan untuk memberangus pertanian tembakau. Celakanya, untuk urusan seperti ini, pemerintah terlibat. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat pemerintah sudah mulai menyarankan petani beralih dari tembakau ke komoditas lain.<\/p>\n\n\n\n Sudah banyak lembaga di negeri kita yang sudah menjadi alat pendukung kepentingan kelompok anti tembakau. Tidak hanya itu, sponsor-sponsor untuk menggalakkan kampanye anti tembakau juga telah merasuki organisasi-organisasi keagamaan.<\/p>\n\n\n\n Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.<\/p>\n\n\n\n Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja. Pemerintah selama ini sering tidak hadir di saat-saat industri atau petani sedang sulit. Misal, ketika musim pancaroba sehingga membuat produksi tembakau anjlok, pemerintah tidak memberi warning jauh-jauh hari bahwa akan ada anomali cuaca.<\/p>\n\n\n\n Hal lain yang patut diperhatikan, seringkali, kampanye negatif terhadap tembakau, disusupkan melalui regulasi-regulasi secara halus. Dampak penyusupan kepentingan asing ke regulasi ini jelas saja sangat mengancam ekonomi di dalam negeri. Sekaligus juga mengancam kedaulatan nasional.<\/p>\n\n\n\n Kelompok antitembakau, selalu berdalih dengan bahasa pembatasan atau pengendalian. Padahal niatan utama mereka memberangus tembakau dan kretek.<\/strong><\/p>\n\n\n\n Untuk itu, kelompok pro kretek yang notabene mendukung kedaulatan negara, jangan sampai lengah karena korporasi farmasi internasional yang saat ini sudah mampu memproduksi nikotin sintesis. Mereka ini ingin menguasai rokok konvensional.<\/p>\n\n\n\n Bahkan, tak jarang, tembakau lokal didorong untuk dikendalikan dengan legitimasi hasil riset yang sejatinya bertujuan untuk memberangus pertanian tembakau. Celakanya, untuk urusan seperti ini, pemerintah terlibat. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat pemerintah sudah mulai menyarankan petani beralih dari tembakau ke komoditas lain.<\/p>\n\n\n\n Sudah banyak lembaga di negeri kita yang sudah menjadi alat pendukung kepentingan kelompok anti tembakau. Tidak hanya itu, sponsor-sponsor untuk menggalakkan kampanye anti tembakau juga telah merasuki organisasi-organisasi keagamaan.<\/p>\n\n\n\n Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.<\/p>\n\n\n\n Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja. Baca: Mahbub Djunaidi, Kretek, dan Sikap Minder Terhadap Asing<\/a> <\/p>\n\n\n\n Pemerintah selama ini sering tidak hadir di saat-saat industri atau petani sedang sulit. Misal, ketika musim pancaroba sehingga membuat produksi tembakau anjlok, pemerintah tidak memberi warning jauh-jauh hari bahwa akan ada anomali cuaca.<\/p>\n\n\n\n Hal lain yang patut diperhatikan, seringkali, kampanye negatif terhadap tembakau, disusupkan melalui regulasi-regulasi secara halus. Dampak penyusupan kepentingan asing ke regulasi ini jelas saja sangat mengancam ekonomi di dalam negeri. Sekaligus juga mengancam kedaulatan nasional.<\/p>\n\n\n\n Kelompok antitembakau, selalu berdalih dengan bahasa pembatasan atau pengendalian. Padahal niatan utama mereka memberangus tembakau dan kretek.<\/strong><\/p>\n\n\n\n Untuk itu, kelompok pro kretek yang notabene mendukung kedaulatan negara, jangan sampai lengah karena korporasi farmasi internasional yang saat ini sudah mampu memproduksi nikotin sintesis. Mereka ini ingin menguasai rokok konvensional.<\/p>\n\n\n\n Bahkan, tak jarang, tembakau lokal didorong untuk dikendalikan dengan legitimasi hasil riset yang sejatinya bertujuan untuk memberangus pertanian tembakau. Celakanya, untuk urusan seperti ini, pemerintah terlibat. Lihat saja bagaimana pejabat-pejabat pemerintah sudah mulai menyarankan petani beralih dari tembakau ke komoditas lain.<\/p>\n\n\n\n Sudah banyak lembaga di negeri kita yang sudah menjadi alat pendukung kepentingan kelompok anti tembakau. Tidak hanya itu, sponsor-sponsor untuk menggalakkan kampanye anti tembakau juga telah merasuki organisasi-organisasi keagamaan.<\/p>\n\n\n\n Lembaga pendidikan pun juga tak luput diperalat. Lembaga donor membiayai riset-riset yang seolah-olah bertujuan mulia namun sebenarnya memiliki motif ekonomi politik untuk memojokkan petani dan industri.<\/p>\n\n\n\n Jika hal-hal seperti itu dibiarkan, ini menjadi neokolonialisme baru namun dengan cara sistem yang berbeda.<\/p>\n\n\n\n Industri hasil tembakau bisa bertahan. Hanya saja, dengan derasnya kampanye negative, apakah pemilik perusahaan rokok nasional mampu bertahan atau memilih menjual usaha mereka ke asing.<\/p>\n\n\n\n Pemerintah harus punya rencana lebih serius untuk memperhatikan, melindungi, sektor industri hasil tembakau. Dengan masuknya pemerintah, kolaborasi pabrikan petani, dari hulur ke hilir, kampanye negatif yang dihembuskan kelompok anti tembakau itu hanya selesai di isu saja. Tiga hal itu bisa melandasi langkah awal menangkal derasnya kampanye negatif atau membuat kretek bisa bertahan sebagai tuan rumah di negeri sendiri.<\/p>\n\n\n\n
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"\"Padahal konsumen adalah orang yang selama ini membayarkan cukai rokok, namun dalam pengambilan keputusan, konsumen sebagai salah satu pemangku kepentingan juga tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]P[\/dropcap]ernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang kenaikan cukai tahun depan sebesar 10% adalah pernyataan paling lamis<\/i> \u2013 bahasa Jawa yang artinya ucapan manis, bukan sesuatu yang tulus, sekadar tidak mengecewakan lawan bicara \u2013 dari seorang menteri sepanjang tahun ini, lebih lamis<\/i> daripada pernyataannya menyikapi turunnya daya beli beberapa waktu lalu.\r\n\r\nPernyataan tentang alasan kenaikan cukai yang menempatkan aspek kesehatan sebagai alasan pertama, sebenarnya lebih terlihat kamuflase bahwasanya negara ini belum berhasil membuat formula pendapatan andalan selain cukai. Setelahnya aspek kesehatan kenaikan cukai rokok dimaksudkan sebagai pencegahan cukai ilegal, kemudian aspek dampak kepada pemangku kepentingan industri kretek (buruh kretek dan petani tembakau), dan alasan terakhir sebagai peningkatan penerimaan negara, begitu menurut Sri Mulyani yang saya baca dari media.\r\n\r\nAlasan kesehatan adalah alasan paling klasik, namun juga sekaligus pembenaran paling sulit dibantah ketika ada yang menggugat kebjakan kenaikan cukai ini. Para penggugat kenaikan cukai akan dicap sebagai penolak kebijakan kesehatan, dan pada akhirnya dengan mudah para penolak kebijakan cukai akan langsung diberi stigma orang yang anti kesehatan.\r\n\r\nDari sisi ekonomi politik, sudah jelas bahwa kebijakan cukai adalah senjata kampanye antirokok yang digunakan untuk meraih simpati dan dukungan pemerintah. Iming-iming kampanye antirokok kepada pemerintah adalah kenaikan cukai berarti penambahan pendapatan untuk pemerintah. Potensi yang sering didengungkan oleh kampanye anti rokokpendapatan pemerintah bakal sebesar 300 triliun atau dua kali lipat dari target pendapatan tahun ini jika mengikuti skema kenaikan mereka.\r\n\r\nSementara mereka tidak pernah memberikan gambaran riil berapa potential lost<\/i>-nya jika pemerintah mengikuti skema tersebut. Prakteknya di masyarakat, bagaimanapun juga kebutuhan nikotin masyarakat Indonesia masih bisa dipenuhi secara mudah dengan produk-produk ilegal ataupun produk tradisional yang mudah diakses.\r\n\r\nAlasan kedua kenaikan cukai sebagai pencegahan rokok ilegal. Kalau ini terus terang saja, saya melihatnya sebagai cara yang paling konyol dalam pencegahan rokok ilegal. Secara naluriah, manusia pasti akan mencari harga paling murah untuk memenuhi kebutuhannya. Paling jelas dari dampak kebijakan cukai yang setiap tahun terus naik adalah tutupnya ribuan pabrik kretek sejak tahun 2007, dan kini hanya menyisakan 500 pabrik saja.\r\n\r\nApakah tutupnya pabrik mengurangi konsumsi rokok? Tidak. Mereka beralih, bukan menghentikan konsumsinya. Beralih ke produk lain yang lebih murah atau mencari produk ilegal. Dari kebijakan-kebijakan sebelumnya, suara pembanding dari pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah didengarkan oleh pembuat kebijakan cukai. Dengan mendasarkan dukungan hanya pada masyarakat kampanye antirokok, sudah cukup bagi pemerintah bahwa rokok ilegal bisa dicegah dengan kenaikan cukai, entah darimana logikanya.\r\n\r\nNah, alasan ketiga lebih tidak masuk akal lagi ketika kenaikan cukai memperhatikan buruh dan petani. Hanya saja madzhab yang digunakan oleh pemerintah dalam memperhatikan kepentingan petani dan buruh dengan kebijakan kenaiakan cukai adalah kebijakan diversifikasi seperti sabda dari Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) \u2013 kebijakan yang didorong oleh korporasi internasional industri farmasi.\r\n\r\nDari kebijakan ini sudah jelas bahwa pemerintah sudah tidak lagi peduli dengan kelestarian produk kretek. Mungkin kretek tetap ada, tapi di tengah gempuran kebijakan cukai yang sangat represif maka semakin sedikit orang Indonesia yang dapat merasakan kemanfaatan dari sisi ekonominya. Keniscayaan bahwa petani tembakau dan buruh linting serta buruh pabrik kretek yang dengan mesin sekalipun menyerap banyak tenaga kerja, tidak dapat begitu saja dialihkan dengan sumber penghidupan yang lain.\r\n\r\nProgram pengalihan itu telah berjalan selama sepuluh tahun kalau mengacu Undang-Undang Normor No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, tapi tetap saja program itu hingga kini belum ada hasil apapun. Entah mengapa masih saja mau diterus-teruskan pendapat seperti itu.\r\n\r\nAlasan penerimaan negara adalah alasan paling krusial sebenarnya dari kenaikan cukai ini kalau saja pemerintah mau jujur dan transparan. Selain cukai, hingga saat ini tidak ada lagi sumber pendapatan pemerintah yang bisa memberikan dana segar dalam jumlah besar dan juga dalam waktu cepat. Sudah sering kejadian pemerintah harus ngijon<\/i> \u2013 sistem yang menerapkan si pembeli ijon (produk yang masih ijo) \u2013 dulu saat sumber-sumber dana pemerintah belum ada yang bisa dicairkan.\r\n\r\nSehingga pada rancangan pendapatan negara, pemerintah sudah dapat mengantungi lebih dari 100 triliun dari cukai. Berharap dari komoditi nonmigas ataupun dari komoditi migas, tidak ada yang secepat cukai rokok dalam memberikan dana kepada pemerintah.\r\n\r\nDari kebijakan ini jelas negara telah abai justru kepada pembayar cukai. Secara hukum penyediaan ruang merokok dalam kawasan tanpa rokok harus disediakan oleh pemerintah, tapi terus terang sudah 5 tahun sampai hari ini pemerintah tidak pernah memperhatikan hal itu.\r\n\r\nPadahal konsumen adalah orang yang selama ini membayarkan cukai rokok, sementara pabrik hanya dalam konteks menalangi saja di awal. Namun seperti tersebut di atas, bahwa dalam pengambilan keputusan, konsumen sebagai salah satu pemangku kepentingan juga tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.","post_title":"Penting Bagi Konsumen Rokok untuk Menolak Kenaikan Cukai Sebesar 10%","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"penting-bagi-konsumen-rokok-untuk-menolak-kenaikan-cukai-sebesar-10","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-10-23 12:04:38","post_modified_gmt":"2017-10-23 05:04:38","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4054","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4027,"post_author":"845","post_date":"2017-10-03 20:21:02","post_date_gmt":"2017-10-03 13:21:02","post_content":"
\"Pendeknya, kebudayaan kretek atau kretek sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar yang menyatu dengan budaya lisan, tradisi ritual, kesenian, mitologi dan resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]K[\/dropcap]retek adalah benda budaya yang memiliki kekhususan kultural dan historis (Margana, 2014). Temuan kretek pada abad ke-19 di Kudus, daerah pinggiran utara Pulau Jawa, menjelaskan sejumlah proses adaptif kaum bumiputera yang berpegang pada semangat berdikari di bawah tatanan kolonial.\r\n\r\nKreativitas meracik daun tembakau dan cengkeh \u2013 populer disebut kretek (clove cigarette<\/i>) yang penamaannya mengacu pada bunyi \u2013 menjadikannya marka pembeda atas produk lain dari luar yang sama-sama memanfaatkan tembakau.\r\n\r\nKretek terus berkembang dinamis melintasi zaman (difusi), mengalami inovasi dan evolusi hingga merembes, dan mendalam sebagai pola pengetahuanpengetahuan masyarakat lokal yang kehidupannya terkait erat pada budidaya tembakau dan cengkeh. Kretek menunjukkan pola-pola pengetahuan masyarakat bumiputera yang berpijak pada praktik, dan kebiasaan mengunyah buah pinang dan daun sirih selama ribuan tahun.\r\n\r\nKretek adalah produk khas dari Indonesia. Ia komoditas yang menyatukan pelbagai ragam sejarah, budaya, etnis dan agama sepanjang Nusantara serta sumber inspirasi dan warisan budaya dari kekayaan (alam) Indonesia. Bahkan, pola-pola pengetahuan atas kretek menghadirkan individu-individu yang cakap dan memiliki keahlian serta kreativitas yang khas, dari hulu hingga hilir, baik dalam konteks pengrajin maupun industri.\r\n\r\nPengetahuan tentang kretek terus diwariskan dalam pelbagai praktik, representasi, ekspresi, dan keterampilan yang mengolah, dan menghasilkan serangkaian instrumen, obyek, dan artefak; tumbuh dalam lingkungan budaya beragam komunitas, dan kelompok masyarakat di Indonesia. [Lihat Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB dalam Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, diteken di Paris, 17 Oktober 2003, diratifikasi Indonesia pada 2007]\r\n\r\nWujud sistem pengetahuan masyarakat bumiputera yang memiliki daya-olah merespons keadaan lingkungan sekitar dan interaksinya dengan alam, bertahan melewati rentang sejarah yang panjang, sehingga mampu memunculkan suatu jati diri dan memiliki daya-serap berkesinambungan, yang gilirannya menjadikan kretek sebagai salah satu dari keanekaragaman budaya dan kreativitas manusia di Indonesia.\r\n\r\nKretek, dengan kata lain, adalah bentuk pengetahuan bumiputera yang mencerminkan identitas tentang kebangsaan, kelas, budaya, dan ragam etnis tertentu. Kretek sebagai warisan budaya tak bendawi berpijak pada pengetahuan masyarakat yang terintegrasi dengan tradisi lisan, kesenian dan ritual. Selain itu mampu mengolah-dayakan alam, yakni tembakau dan cengkeh, lantas meraciknya menjadi benda atau artefak yang memiliki nilai ekonomi unggulan, dan pewarisannya terus hidup lewat sejumlah ekspresi budaya masyarakatmasyarakat di Indonesia (Hanusz, 2000).\r\n\r\nKretek Sebagai Kebudayaan<\/strong><\/em>\r\nKebudayaan adalah sistem pengetahuan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial untuk memahami, dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya. Ia menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong berseminya perilaku.\r\n\r\nDalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai \u201cmekanisme kontrol\u201d bagi perilaku dan tindakan manusia (Geertz, 1973), atau sebagai \u201cpola-pola bagi perilaku manusia\u201d (Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, terdiri atas model-model kognitif yang digunakan manusia secara kolektif sesuai lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).\r\n\r\nKretek sebagai kebudayaan menjadi pedoman atau cetak biru guna menafsirkan keseluruhan tindakan manusia sehingga menghasilkan beberapa tradisi, kesenian ritual dan mitologi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menjadi pedoman bagi masyarakat yang menyakininya melalui proses belajar, tumbuh-kembang, modifikasi dan replikasi. Sehingga, setiap hal dalam kehidupan manusia pada dasarnya bermula dari kemampuan pikiran manusia dalam berkreasi.\r\n\r\nCarol R Ember dan Melvin Ember menjelaskan beberapa sifat dari kebudayaan: ia menjadi milik manusia melalui proses belajar; ia perihal bersama dalam suatu masyarakat tertentu; ia cara berlaku yang terus-menerus dipelajari; dan ia tak bergantung dari transmisi biologis atau pewarisan lewat unsur genetis.\r\n\r\nSeirama definisi itu, bila merujuk pada penemuan kretek dalam kehidupan manusia, dapat dikemukakan bahwa kretek adalah ekspresi yang terintegrasi dalam budaya masyarakat meliputi tradisi lisan, tradisi ritual dan kesenian, yang muncul sebagai ciri khas. Selain itu, terdapat budaya dengan sistem pengetahuan yang unik.\r\n\r\nPendeknya, kebudayaan kretek atau kretek sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar yang menyatu dengan budaya lisan, tradisi ritual, kesenian, mitologi dan resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.","post_title":"Kretek Sebagai Warisan Budaya Tak Bendawi","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"kretek-sebagai-warisan-budaya-tak-bendawi","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-10-03 20:21:30","post_modified_gmt":"2017-10-03 13:21:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4027","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4023,"post_author":"845","post_date":"2017-09-27 14:46:13","post_date_gmt":"2017-09-27 07:46:13","post_content":"
\"Jika menanyakan siapa petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa, orang-orang di dua desa itu akan merujuk pada satu nama, Haji Sappa. Haji Sappa ini adalah panggilan saja, nama aslinya Drs. H. Abdul Basyir.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
Haji Sappa (kiri, baju putih) bersama dengan Zulvan Kurniawan peneliti dari KNPK dan istri Haji Sappa.<\/em>[\/caption]\r\n\r\n[dropcap]B[\/dropcap]isa dibilang, ia adalah orang kaya dan terpandang di desa tersebut, seorang dengan status pemilik pohon cengkeh terbanyak di Samaenre.\r\n\r\nIa memiliki pohon cengkeh sebanyak 800 batang, dan juga dikenal sebagai pedagang cengkeh terutama di Kecamatan Tonra dan Kecamatan Cina. Lelaki asli Bone, Sulawesi Selatan ini sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bone. Kebun cengkeh yang luas itu adalah warisan dari orang tuanya yang kemudian ia teruskan sampai saat ini.\r\n\r\nPada kisaran tahun 70-an, orang tua Haji Sappa membeli tanah di Samaenre, dan menanaminya dengan pohon cengkeh. Kala itu penduduk Desa Samaenre belum mengetahui tentang tanaman cengkeh. Bisa dikatakan pula bahwa orang tuanya adalah pelopor penanaman cengkeh di Samaenre. Hingga 17 tahun kemudian, penduduk Desa Samaenre dan Rappa mulai berduyun-duyun menanam cengkeh. Pada saat itu harga cengkeh Rp12.000 per kilo gramnya. Jika dibandingkan dengan kopi yang harganya saat itu hanya Rp.7.000 per kilo gram, orang-orang lebih memilih menanam cengkeh.\r\n\r\nSebagai orang yang mewarisi tanahnya dari orangtua yang berada diluar kawasan hutan lindung, Haji Sappa saat ini menghadapi masalah dengan tanah yang dibelinya sendiri dari hasil berdagang cengkeh. Ia sempat membeli tanah dari tetangganya seluas 4 hektar dengan motivasi menolong tetangga tersebut karena butuh uang, setelah dicek di kantor ATR\/BPN ternyata tanah tersebut masuk zona kawasan hutan lindung, sehingga tidak bisa diurus sertifikatnya.\r\n\r\nMenurut pengakuan Haji Sappa, sebagian besar saat ini tanah di Samaenre dan Rappa yang ditanami Cengkeh berada didalam kawasan. Meskipun begitu dari pengawas hutan tetap mengenakan biaya sewa sebesar 100 ribu rupiah per hektar per tahun bagi masyarakat yang menanam tanaman perkebunan didalam kawasan.\r\n\r\nDari pohon cengkeh yang sudah berumur lebih dari 40 tahun milik Haji Sappa buahnya dibeli oleh sebuah perusahaan untuk pembibitan. Per biji dihargai Rp500, dengan syarat panjangnya minimal 1,8 cm. Dari hasil jual beli buah cengkeh ini, Haji Sappa menandatangani kontrak senilai Rp.7,5 juta, namun dari kontrak senilai itu yang dibayarakan hanya Rp1,5 juta karena sebagian besar buah cengkeh Haji Sappa gagal dalam proses pembibitan.\r\n\r\nHaji Sappa sendiri tidak mau dibilang petani karena beliau sudah jarang ke kebun, ia hanya mau disebut sebagai pengepul cengkeh. Kebunnya secara bertahap dia berikan kepada anaknya yang bungsu dan menantunya. Sekitar 90% petani cengkeh di Samaenre menjual cengkeh kepadanya. Cengkeh kemudian ia jual ke Makassar, tepatnya dijual ke Sampoerna, dan selain itu dijual ke BAT selama tiga tahun terakhir. Dua perusahaan raksasa di industri rokok Indonesia.\r\n\r\nSeperti halnya cerita dari para petani cengkeh di banyak tempat, Haji Sappa juga mengaku bahwa selama ini cengkeh yang ia tanam diurus sendiri tanpa ada bantuan dari Dinas Perkebunan dan Pertanian setempat. Justru yang selama ini melakukan pendampingan untuk penanaman dan budidaya cegnkeh berasal dari perusahaan yang membeli cengkeh dari para petani agar sesuai dengan kebutuhan industri. Pendampingan dari perusahaan pun sebenarnya tak menyeluruh, lebih berfokus pada kerja sama untuk uji coba pupuk dan pembibitan.\r\n\r\nNamun demikian, dengan segala keterbatasan dalam bentuk pendampingan, bantuan, ataupun perlindungan, petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa tetap dapat terus menjaga keberlangsungan perkebunan cengkeh. Komoditi yang selama ini memberikan penghidupan baik bagi mereka.","post_title":"Haji Sappa, Pemilik 800 Pohon Cengkeh di Samaenre, Bone, Sulsel","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"haji-sappa-pemilik-800-pohon-cengkeh-di-samaenre-bone-sulsel","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-27 14:51:25","post_modified_gmt":"2017-09-27 07:51:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4023","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":3956,"post_author":"845","post_date":"2017-09-07 15:34:45","post_date_gmt":"2017-09-07 08:34:45","post_content":"
\"Sejak 1979, Nurjanah mengaku tidak ada satupun petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang memberikan penyuluhan tentang cengkeh. Bantuan pemerintah juga tidak pernah diberikan kepadanya.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n[dropcap]D[\/dropcap]uas areal perkebunan cengkeh di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, diperkirakan sebesar 16 ribu hektar yang tersebar di 20 kecamatan. Adapun Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli, dan Suli Barat merupakan penghasil cengkeh tertinggi. Dengan kemampuan produksi mencapai 9.000 ton dengan tingkat produktifitas 700kg\/ha, jumlah petani cengkeh di Luwu diperkirakan sebanyak 14 ribu orang.\r\n\r\nPada anggaran tahun 2017, sebesar Rp700 juta disiapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu yang secara umum diperuntukan bagi perkebunan. Dengan detail spesifik digunakan untuk pembagian bibit, pengembangan kopi di desa Latimonjong, pembagian bibit kakao, dan lain-lain. Sementara khusus untuk cengkeh memang belum memiliki plot khusus untuk tahun ini, namun akan dimasukan sebagai usulan pada tahun mendatang, dengan program peremajaan cengkeh yang mati akibat dari terserang penyakit jamur akar putih.\r\n\r\nDinas Perkebunan Kabupten Luwu sampai sekarang belum mendengar akan ada program dari Kementerian Pertanian untuk menggalakkan pengadaan bibit rempah (pala, lada, cengkeh, dll) senilai 2 triliun dari pemerintah pada tahun 2018.\r\n\r\n\"Ke depan kita bangkitkan komoditas yang strategis untuk ekspor, seperti dulu daerah rempah-rempah. Rempah itu seperti, merica, pala, lada, cengkih, dan kakao, kami siapkan bibit senilai Rp2 triliun pada 2018. Mudah-mudahan ada tambahan lagi,\" kata Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, seperti dikutip dari Antara, <\/em>di Kementan, Jakarta, Selasa 30 Mei 2017.\r\n\r\nCerita tentang rencana besar pemerintah mengembalikan kejayaan rempah (cengkeh) sepertinya masih dalam satu tahap wacana, mengingat struktur pemerintah di tingkat bawah belum mengetahui hal tersebut. Jika demikian, bisa saja ditingkat petani seperti Nurjanah (54) hal tersebut juga belum diketahui.\r\n\r\n
\r\n\r\nPerempuan yang tinggal di Dusun Tampumia, Desa Tampumia, Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu ini memiliki 500 pohon cengkeh. Ia menanam pohon cengkeh itu sejak 1979, tak semuanya tumbuh dengan baik karena banyak yang terkena hama dan kemudian roboh. Namun demikian hanya 100 pohon saja yang dapat dikatakan masih produktif. Cengkeh yang masih berbuah rata-rata pada saat panen menghasilkan 500 kilogram cengkeh. Sedangkan 400 lainnya masih berumur dua tahun.\r\n\r\nEmpat anak Nurjanah dua tahun yang lalu berinisiatif menanam sejumlah 400 pohon untuk Nurjanah dan suaminya, masing-masing anak menyumbang 100 pohon. Anak-anak Nurjanah berinisiatif menanam cengkeh untuk orang tuanyakarena mereka dahulu disekolahkan dari uang hasil penjualan cengkeh. Nurjanah sendiri mempunyai enam orang anak yang semuanya menjadi sarjana. Zulfikar, anaknya yang terakhir meskipun menyandang gelar sarjana memilih pulang ke kampung halaman, dan menekuni profesi sebagai petani.\r\n\r\nSelain menanam cengkeh di Dusun Tampumia, pada umumnya petani menanam jagung dan padi. Dari jumlah penduduk di Dusun Tampumia tempat Nurjanah tinggal, 75% penduduknya menanam cengkeh. Rata-rata mereka memliki lebih dari 200 batang pohon cengkeh. Pada masa Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) orang-orang di Tampumia disuruh menebang pohon cengkehnya, bagi yang menebang akan diberikan ganti rugi sebesar 50 ribu rupiah. Namun Nurjanah dan suaminya tidak menebang satupun pohon cengkehnya.\r\n\r\nUntuk penanaman cengkeh di Tampumia biaya yang dikeluarkan cukup besar. Gambaran biaya dari penuturan Bu Nurjanah saat anak-anaknya akan menanam 400 batang pohon cengkeh yang diberikan kepada Nurjanah dan suaminya. Untuk upah pekerja buka lahan sebesar Rp2 juta untuk 5 orang. Pembukaan lahan ini dikerjakan satu hari.\r\n\r\nSetelah lahan dibuka kemudian sisa-sisa kayunya dibakar. Untuk pembakaran dan pembersihan lahan ini mengerahkan tenaga kerja sebanyak 3 orang, per orang diupah 100 ribu, dikerjakan selama 3 hari. Berarti biaya yang dikeluarkan sebesar 900 ribu rupiah. Untuk pembukaan lahan dan pembersihannya sudah menghabiskan biaya sebesar Rp2,9 juta.\r\n\r\nSetelah lahan dibersihkan kemudian melakukan pembuatan lubang untuk menanam cengkeh dan melakukan pemupukan. Pada tahap ini Nurjanah mempekerjakan dua orang selama empat hari. Setelah cengkeh ditanam, perawatan yang dilakukan adalah menyiram seminggu dua kali.<\/a>\r\n\r\nSejak 1979, Nurjanah mengaku tidak ada satupun petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang memberikan penyuluhan tentang cengkeh. Bantuan pemerintah juga tidak pernah diberikan kepadanya. Sehingga jika wacana besar pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah dengan anggaran yang besar, hal tersebut dapat tersampaikan dan terdistribusi dengan baik sampai di level paling bawah.","post_title":"Cerita Cengkeh Dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"cerita-cengkeh-dari-kabupaten-luwu-sulawesi-selatan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-07 15:35:19","post_modified_gmt":"2017-09-07 08:35:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=3956","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":3937,"post_author":"845","post_date":"2017-09-05 16:01:09","post_date_gmt":"2017-09-05 09:01:09","post_content":"
\"Namun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]N[\/dropcap]urbaya (40), bukanlah sosok yang istimewa. Ia seperti halnya lelaki dan perempuan lain di Desa Samaenre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Perempuan ini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, dipekerjakan oleh tetangga sekitarnya yang memiliki sawah atau kebun. Memanen padi atau membersihkan kebun, adalah kerja sehari-hari yang dia lakukan.\r\n\r\nDua pekerjaan tersebut memiliki sistem pengupahan yang berbeda atas kerja buruh tani. Ketika dia memanen padi, dia tak diupah dalam bentuk uang, tapi diupah dengan pembagian hasil dari padi yang dia panen. Sebaliknya ketika ia bekerja untuk membersihkan kebun, dia diupah Rp50.000\/hari oleh sang pemilik kebun. Kebun cengkeh yang biasa dibersihkannya.\r\n\r\nDua pekerjaan tersebut memang bukan pekerjaan yang rutin dilakukannya setiap hari, biasanya panggilan pekerjaan itu datang menjelang musim panen tiba. Saat panen cengkeh tiba, Nurbaya akan dipanggil oleh tetangganya yang memiliki kebun untuk bekerja memetik cengkeh. \u201cSemua orang di Samaenre yang memiliki kebun pasti punya pohon cengkeh, dan pada saat panen raya tiba akan selalu kekurangan tenaga untuk memetik cengkeh,\u201d ujarnya pada kesempatan berbincang dengannya.\r\n\r\nPekerjaan itu telah dilakukannya selama lima tahun lebih. Pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyambung hidup setelah suaminya tiada. Sebelumnya Nurbaya sempat mencoba menjadi buruh migran di Malaysia, namun hanya dijalani selama delapan bulan saja. Dia tak tega melihat ibunya harus merawat anaknya yang masih kecil seorang diri.\r\n\r\nSelama bekerja di Malaysia yang relatif singkat, sedikit uang yang dia bawa ke Samaenre sekadar cukup untuk memperbaiki rumahnya. Mimpinya untuk bisa membeli tanah untuk berkebun tak tercapai karena tak cukup uang yang dia miliki.\r\n\r\nKembali pada ceritanya ketika bekerja sebagai pemetik cengkeh, biasanya dia bekerja mulai pukul tujuh pagi hingga pukul satu siang. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di sana, alat-alat untuk memetik biasanya juga disediakan oleh pemilik kebun.\r\n\r\nMungkin relatif tak besar penghasilan yang dia dapatkan dari memetik cengkeh, mengingat dia hanya mampu memanjat pohon cengkeh hingga ketinggian 15 meter saja, dengan rata-rata menghasilkan 20 liter cengkeh. Untuk setiap liter cengkeh yang berhasil dia petik, Nurbaya mendapatkan uang Rp5.000.\r\n\r\nNamun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.\r\n\r\nNurbaya bukan perempuan satu-satunya yang bekerja memetik cengkeh, hampir 80% penduduk desa Samaenre memang bekerja sebagai pemetik cengkeh. Kekurangan tenaga pemetik cengkeh biasanya didatangkan pekerja dari daerah Bulukumba.\r\n\r\nWalau bukan satu-satunya perempuan buruh tani di Samaenre, namun sosok perempuan satu ini terbilang cukup tangguh. Bukan hanya semata karena harus melakukan pekerjaan yang cukup berat dengan memanjat pohon cengkeh pada ketinggian tertentu, namun juga sosoknya yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan keluarganya.","post_title":"Kisah Perempuan Pemetik Cengkeh","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"kisah-perempuan-pemetik-cengkeh","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-07 01:52:31","post_modified_gmt":"2017-09-06 18:52:31","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=3937","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"\"Padahal konsumen adalah orang yang selama ini membayarkan cukai rokok, namun dalam pengambilan keputusan, konsumen sebagai salah satu pemangku kepentingan juga tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]P[\/dropcap]ernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang kenaikan cukai tahun depan sebesar 10% adalah pernyataan paling lamis<\/i> \u2013 bahasa Jawa yang artinya ucapan manis, bukan sesuatu yang tulus, sekadar tidak mengecewakan lawan bicara \u2013 dari seorang menteri sepanjang tahun ini, lebih lamis<\/i> daripada pernyataannya menyikapi turunnya daya beli beberapa waktu lalu.\r\n\r\nPernyataan tentang alasan kenaikan cukai yang menempatkan aspek kesehatan sebagai alasan pertama, sebenarnya lebih terlihat kamuflase bahwasanya negara ini belum berhasil membuat formula pendapatan andalan selain cukai. Setelahnya aspek kesehatan kenaikan cukai rokok dimaksudkan sebagai pencegahan cukai ilegal, kemudian aspek dampak kepada pemangku kepentingan industri kretek (buruh kretek dan petani tembakau), dan alasan terakhir sebagai peningkatan penerimaan negara, begitu menurut Sri Mulyani yang saya baca dari media.\r\n\r\nAlasan kesehatan adalah alasan paling klasik, namun juga sekaligus pembenaran paling sulit dibantah ketika ada yang menggugat kebjakan kenaikan cukai ini. Para penggugat kenaikan cukai akan dicap sebagai penolak kebijakan kesehatan, dan pada akhirnya dengan mudah para penolak kebijakan cukai akan langsung diberi stigma orang yang anti kesehatan.\r\n\r\nDari sisi ekonomi politik, sudah jelas bahwa kebijakan cukai adalah senjata kampanye antirokok yang digunakan untuk meraih simpati dan dukungan pemerintah. Iming-iming kampanye antirokok kepada pemerintah adalah kenaikan cukai berarti penambahan pendapatan untuk pemerintah. Potensi yang sering didengungkan oleh kampanye anti rokokpendapatan pemerintah bakal sebesar 300 triliun atau dua kali lipat dari target pendapatan tahun ini jika mengikuti skema kenaikan mereka.\r\n\r\nSementara mereka tidak pernah memberikan gambaran riil berapa potential lost<\/i>-nya jika pemerintah mengikuti skema tersebut. Prakteknya di masyarakat, bagaimanapun juga kebutuhan nikotin masyarakat Indonesia masih bisa dipenuhi secara mudah dengan produk-produk ilegal ataupun produk tradisional yang mudah diakses.\r\n\r\nAlasan kedua kenaikan cukai sebagai pencegahan rokok ilegal. Kalau ini terus terang saja, saya melihatnya sebagai cara yang paling konyol dalam pencegahan rokok ilegal. Secara naluriah, manusia pasti akan mencari harga paling murah untuk memenuhi kebutuhannya. Paling jelas dari dampak kebijakan cukai yang setiap tahun terus naik adalah tutupnya ribuan pabrik kretek sejak tahun 2007, dan kini hanya menyisakan 500 pabrik saja.\r\n\r\nApakah tutupnya pabrik mengurangi konsumsi rokok? Tidak. Mereka beralih, bukan menghentikan konsumsinya. Beralih ke produk lain yang lebih murah atau mencari produk ilegal. Dari kebijakan-kebijakan sebelumnya, suara pembanding dari pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah didengarkan oleh pembuat kebijakan cukai. Dengan mendasarkan dukungan hanya pada masyarakat kampanye antirokok, sudah cukup bagi pemerintah bahwa rokok ilegal bisa dicegah dengan kenaikan cukai, entah darimana logikanya.\r\n\r\nNah, alasan ketiga lebih tidak masuk akal lagi ketika kenaikan cukai memperhatikan buruh dan petani. Hanya saja madzhab yang digunakan oleh pemerintah dalam memperhatikan kepentingan petani dan buruh dengan kebijakan kenaiakan cukai adalah kebijakan diversifikasi seperti sabda dari Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) \u2013 kebijakan yang didorong oleh korporasi internasional industri farmasi.\r\n\r\nDari kebijakan ini sudah jelas bahwa pemerintah sudah tidak lagi peduli dengan kelestarian produk kretek. Mungkin kretek tetap ada, tapi di tengah gempuran kebijakan cukai yang sangat represif maka semakin sedikit orang Indonesia yang dapat merasakan kemanfaatan dari sisi ekonominya. Keniscayaan bahwa petani tembakau dan buruh linting serta buruh pabrik kretek yang dengan mesin sekalipun menyerap banyak tenaga kerja, tidak dapat begitu saja dialihkan dengan sumber penghidupan yang lain.\r\n\r\nProgram pengalihan itu telah berjalan selama sepuluh tahun kalau mengacu Undang-Undang Normor No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, tapi tetap saja program itu hingga kini belum ada hasil apapun. Entah mengapa masih saja mau diterus-teruskan pendapat seperti itu.\r\n\r\nAlasan penerimaan negara adalah alasan paling krusial sebenarnya dari kenaikan cukai ini kalau saja pemerintah mau jujur dan transparan. Selain cukai, hingga saat ini tidak ada lagi sumber pendapatan pemerintah yang bisa memberikan dana segar dalam jumlah besar dan juga dalam waktu cepat. Sudah sering kejadian pemerintah harus ngijon<\/i> \u2013 sistem yang menerapkan si pembeli ijon (produk yang masih ijo) \u2013 dulu saat sumber-sumber dana pemerintah belum ada yang bisa dicairkan.\r\n\r\nSehingga pada rancangan pendapatan negara, pemerintah sudah dapat mengantungi lebih dari 100 triliun dari cukai. Berharap dari komoditi nonmigas ataupun dari komoditi migas, tidak ada yang secepat cukai rokok dalam memberikan dana kepada pemerintah.\r\n\r\nDari kebijakan ini jelas negara telah abai justru kepada pembayar cukai. Secara hukum penyediaan ruang merokok dalam kawasan tanpa rokok harus disediakan oleh pemerintah, tapi terus terang sudah 5 tahun sampai hari ini pemerintah tidak pernah memperhatikan hal itu.\r\n\r\nPadahal konsumen adalah orang yang selama ini membayarkan cukai rokok, sementara pabrik hanya dalam konteks menalangi saja di awal. Namun seperti tersebut di atas, bahwa dalam pengambilan keputusan, konsumen sebagai salah satu pemangku kepentingan juga tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.","post_title":"Penting Bagi Konsumen Rokok untuk Menolak Kenaikan Cukai Sebesar 10%","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"penting-bagi-konsumen-rokok-untuk-menolak-kenaikan-cukai-sebesar-10","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-10-23 12:04:38","post_modified_gmt":"2017-10-23 05:04:38","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4054","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4027,"post_author":"845","post_date":"2017-10-03 20:21:02","post_date_gmt":"2017-10-03 13:21:02","post_content":"
\"Pendeknya, kebudayaan kretek atau kretek sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar yang menyatu dengan budaya lisan, tradisi ritual, kesenian, mitologi dan resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]K[\/dropcap]retek adalah benda budaya yang memiliki kekhususan kultural dan historis (Margana, 2014). Temuan kretek pada abad ke-19 di Kudus, daerah pinggiran utara Pulau Jawa, menjelaskan sejumlah proses adaptif kaum bumiputera yang berpegang pada semangat berdikari di bawah tatanan kolonial.\r\n\r\nKreativitas meracik daun tembakau dan cengkeh \u2013 populer disebut kretek (clove cigarette<\/i>) yang penamaannya mengacu pada bunyi \u2013 menjadikannya marka pembeda atas produk lain dari luar yang sama-sama memanfaatkan tembakau.\r\n\r\nKretek terus berkembang dinamis melintasi zaman (difusi), mengalami inovasi dan evolusi hingga merembes, dan mendalam sebagai pola pengetahuanpengetahuan masyarakat lokal yang kehidupannya terkait erat pada budidaya tembakau dan cengkeh. Kretek menunjukkan pola-pola pengetahuan masyarakat bumiputera yang berpijak pada praktik, dan kebiasaan mengunyah buah pinang dan daun sirih selama ribuan tahun.\r\n\r\nKretek adalah produk khas dari Indonesia. Ia komoditas yang menyatukan pelbagai ragam sejarah, budaya, etnis dan agama sepanjang Nusantara serta sumber inspirasi dan warisan budaya dari kekayaan (alam) Indonesia. Bahkan, pola-pola pengetahuan atas kretek menghadirkan individu-individu yang cakap dan memiliki keahlian serta kreativitas yang khas, dari hulu hingga hilir, baik dalam konteks pengrajin maupun industri.\r\n\r\nPengetahuan tentang kretek terus diwariskan dalam pelbagai praktik, representasi, ekspresi, dan keterampilan yang mengolah, dan menghasilkan serangkaian instrumen, obyek, dan artefak; tumbuh dalam lingkungan budaya beragam komunitas, dan kelompok masyarakat di Indonesia. [Lihat Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB dalam Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, diteken di Paris, 17 Oktober 2003, diratifikasi Indonesia pada 2007]\r\n\r\nWujud sistem pengetahuan masyarakat bumiputera yang memiliki daya-olah merespons keadaan lingkungan sekitar dan interaksinya dengan alam, bertahan melewati rentang sejarah yang panjang, sehingga mampu memunculkan suatu jati diri dan memiliki daya-serap berkesinambungan, yang gilirannya menjadikan kretek sebagai salah satu dari keanekaragaman budaya dan kreativitas manusia di Indonesia.\r\n\r\nKretek, dengan kata lain, adalah bentuk pengetahuan bumiputera yang mencerminkan identitas tentang kebangsaan, kelas, budaya, dan ragam etnis tertentu. Kretek sebagai warisan budaya tak bendawi berpijak pada pengetahuan masyarakat yang terintegrasi dengan tradisi lisan, kesenian dan ritual. Selain itu mampu mengolah-dayakan alam, yakni tembakau dan cengkeh, lantas meraciknya menjadi benda atau artefak yang memiliki nilai ekonomi unggulan, dan pewarisannya terus hidup lewat sejumlah ekspresi budaya masyarakatmasyarakat di Indonesia (Hanusz, 2000).\r\n\r\nKretek Sebagai Kebudayaan<\/strong><\/em>\r\nKebudayaan adalah sistem pengetahuan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial untuk memahami, dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya. Ia menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong berseminya perilaku.\r\n\r\nDalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai \u201cmekanisme kontrol\u201d bagi perilaku dan tindakan manusia (Geertz, 1973), atau sebagai \u201cpola-pola bagi perilaku manusia\u201d (Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, terdiri atas model-model kognitif yang digunakan manusia secara kolektif sesuai lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).\r\n\r\nKretek sebagai kebudayaan menjadi pedoman atau cetak biru guna menafsirkan keseluruhan tindakan manusia sehingga menghasilkan beberapa tradisi, kesenian ritual dan mitologi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menjadi pedoman bagi masyarakat yang menyakininya melalui proses belajar, tumbuh-kembang, modifikasi dan replikasi. Sehingga, setiap hal dalam kehidupan manusia pada dasarnya bermula dari kemampuan pikiran manusia dalam berkreasi.\r\n\r\nCarol R Ember dan Melvin Ember menjelaskan beberapa sifat dari kebudayaan: ia menjadi milik manusia melalui proses belajar; ia perihal bersama dalam suatu masyarakat tertentu; ia cara berlaku yang terus-menerus dipelajari; dan ia tak bergantung dari transmisi biologis atau pewarisan lewat unsur genetis.\r\n\r\nSeirama definisi itu, bila merujuk pada penemuan kretek dalam kehidupan manusia, dapat dikemukakan bahwa kretek adalah ekspresi yang terintegrasi dalam budaya masyarakat meliputi tradisi lisan, tradisi ritual dan kesenian, yang muncul sebagai ciri khas. Selain itu, terdapat budaya dengan sistem pengetahuan yang unik.\r\n\r\nPendeknya, kebudayaan kretek atau kretek sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar yang menyatu dengan budaya lisan, tradisi ritual, kesenian, mitologi dan resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.","post_title":"Kretek Sebagai Warisan Budaya Tak Bendawi","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"kretek-sebagai-warisan-budaya-tak-bendawi","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-10-03 20:21:30","post_modified_gmt":"2017-10-03 13:21:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4027","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4023,"post_author":"845","post_date":"2017-09-27 14:46:13","post_date_gmt":"2017-09-27 07:46:13","post_content":"
\"Jika menanyakan siapa petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa, orang-orang di dua desa itu akan merujuk pada satu nama, Haji Sappa. Haji Sappa ini adalah panggilan saja, nama aslinya Drs. H. Abdul Basyir.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
Haji Sappa (kiri, baju putih) bersama dengan Zulvan Kurniawan peneliti dari KNPK dan istri Haji Sappa.<\/em>[\/caption]\r\n\r\n[dropcap]B[\/dropcap]isa dibilang, ia adalah orang kaya dan terpandang di desa tersebut, seorang dengan status pemilik pohon cengkeh terbanyak di Samaenre.\r\n\r\nIa memiliki pohon cengkeh sebanyak 800 batang, dan juga dikenal sebagai pedagang cengkeh terutama di Kecamatan Tonra dan Kecamatan Cina. Lelaki asli Bone, Sulawesi Selatan ini sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bone. Kebun cengkeh yang luas itu adalah warisan dari orang tuanya yang kemudian ia teruskan sampai saat ini.\r\n\r\nPada kisaran tahun 70-an, orang tua Haji Sappa membeli tanah di Samaenre, dan menanaminya dengan pohon cengkeh. Kala itu penduduk Desa Samaenre belum mengetahui tentang tanaman cengkeh. Bisa dikatakan pula bahwa orang tuanya adalah pelopor penanaman cengkeh di Samaenre. Hingga 17 tahun kemudian, penduduk Desa Samaenre dan Rappa mulai berduyun-duyun menanam cengkeh. Pada saat itu harga cengkeh Rp12.000 per kilo gramnya. Jika dibandingkan dengan kopi yang harganya saat itu hanya Rp.7.000 per kilo gram, orang-orang lebih memilih menanam cengkeh.\r\n\r\nSebagai orang yang mewarisi tanahnya dari orangtua yang berada diluar kawasan hutan lindung, Haji Sappa saat ini menghadapi masalah dengan tanah yang dibelinya sendiri dari hasil berdagang cengkeh. Ia sempat membeli tanah dari tetangganya seluas 4 hektar dengan motivasi menolong tetangga tersebut karena butuh uang, setelah dicek di kantor ATR\/BPN ternyata tanah tersebut masuk zona kawasan hutan lindung, sehingga tidak bisa diurus sertifikatnya.\r\n\r\nMenurut pengakuan Haji Sappa, sebagian besar saat ini tanah di Samaenre dan Rappa yang ditanami Cengkeh berada didalam kawasan. Meskipun begitu dari pengawas hutan tetap mengenakan biaya sewa sebesar 100 ribu rupiah per hektar per tahun bagi masyarakat yang menanam tanaman perkebunan didalam kawasan.\r\n\r\nDari pohon cengkeh yang sudah berumur lebih dari 40 tahun milik Haji Sappa buahnya dibeli oleh sebuah perusahaan untuk pembibitan. Per biji dihargai Rp500, dengan syarat panjangnya minimal 1,8 cm. Dari hasil jual beli buah cengkeh ini, Haji Sappa menandatangani kontrak senilai Rp.7,5 juta, namun dari kontrak senilai itu yang dibayarakan hanya Rp1,5 juta karena sebagian besar buah cengkeh Haji Sappa gagal dalam proses pembibitan.\r\n\r\nHaji Sappa sendiri tidak mau dibilang petani karena beliau sudah jarang ke kebun, ia hanya mau disebut sebagai pengepul cengkeh. Kebunnya secara bertahap dia berikan kepada anaknya yang bungsu dan menantunya. Sekitar 90% petani cengkeh di Samaenre menjual cengkeh kepadanya. Cengkeh kemudian ia jual ke Makassar, tepatnya dijual ke Sampoerna, dan selain itu dijual ke BAT selama tiga tahun terakhir. Dua perusahaan raksasa di industri rokok Indonesia.\r\n\r\nSeperti halnya cerita dari para petani cengkeh di banyak tempat, Haji Sappa juga mengaku bahwa selama ini cengkeh yang ia tanam diurus sendiri tanpa ada bantuan dari Dinas Perkebunan dan Pertanian setempat. Justru yang selama ini melakukan pendampingan untuk penanaman dan budidaya cegnkeh berasal dari perusahaan yang membeli cengkeh dari para petani agar sesuai dengan kebutuhan industri. Pendampingan dari perusahaan pun sebenarnya tak menyeluruh, lebih berfokus pada kerja sama untuk uji coba pupuk dan pembibitan.\r\n\r\nNamun demikian, dengan segala keterbatasan dalam bentuk pendampingan, bantuan, ataupun perlindungan, petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa tetap dapat terus menjaga keberlangsungan perkebunan cengkeh. Komoditi yang selama ini memberikan penghidupan baik bagi mereka.","post_title":"Haji Sappa, Pemilik 800 Pohon Cengkeh di Samaenre, Bone, Sulsel","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"haji-sappa-pemilik-800-pohon-cengkeh-di-samaenre-bone-sulsel","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-27 14:51:25","post_modified_gmt":"2017-09-27 07:51:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4023","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":3956,"post_author":"845","post_date":"2017-09-07 15:34:45","post_date_gmt":"2017-09-07 08:34:45","post_content":"
\"Sejak 1979, Nurjanah mengaku tidak ada satupun petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang memberikan penyuluhan tentang cengkeh. Bantuan pemerintah juga tidak pernah diberikan kepadanya.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n[dropcap]D[\/dropcap]uas areal perkebunan cengkeh di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, diperkirakan sebesar 16 ribu hektar yang tersebar di 20 kecamatan. Adapun Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli, dan Suli Barat merupakan penghasil cengkeh tertinggi. Dengan kemampuan produksi mencapai 9.000 ton dengan tingkat produktifitas 700kg\/ha, jumlah petani cengkeh di Luwu diperkirakan sebanyak 14 ribu orang.\r\n\r\nPada anggaran tahun 2017, sebesar Rp700 juta disiapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu yang secara umum diperuntukan bagi perkebunan. Dengan detail spesifik digunakan untuk pembagian bibit, pengembangan kopi di desa Latimonjong, pembagian bibit kakao, dan lain-lain. Sementara khusus untuk cengkeh memang belum memiliki plot khusus untuk tahun ini, namun akan dimasukan sebagai usulan pada tahun mendatang, dengan program peremajaan cengkeh yang mati akibat dari terserang penyakit jamur akar putih.\r\n\r\nDinas Perkebunan Kabupten Luwu sampai sekarang belum mendengar akan ada program dari Kementerian Pertanian untuk menggalakkan pengadaan bibit rempah (pala, lada, cengkeh, dll) senilai 2 triliun dari pemerintah pada tahun 2018.\r\n\r\n\"Ke depan kita bangkitkan komoditas yang strategis untuk ekspor, seperti dulu daerah rempah-rempah. Rempah itu seperti, merica, pala, lada, cengkih, dan kakao, kami siapkan bibit senilai Rp2 triliun pada 2018. Mudah-mudahan ada tambahan lagi,\" kata Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, seperti dikutip dari Antara, <\/em>di Kementan, Jakarta, Selasa 30 Mei 2017.\r\n\r\nCerita tentang rencana besar pemerintah mengembalikan kejayaan rempah (cengkeh) sepertinya masih dalam satu tahap wacana, mengingat struktur pemerintah di tingkat bawah belum mengetahui hal tersebut. Jika demikian, bisa saja ditingkat petani seperti Nurjanah (54) hal tersebut juga belum diketahui.\r\n\r\n
\r\n\r\nPerempuan yang tinggal di Dusun Tampumia, Desa Tampumia, Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu ini memiliki 500 pohon cengkeh. Ia menanam pohon cengkeh itu sejak 1979, tak semuanya tumbuh dengan baik karena banyak yang terkena hama dan kemudian roboh. Namun demikian hanya 100 pohon saja yang dapat dikatakan masih produktif. Cengkeh yang masih berbuah rata-rata pada saat panen menghasilkan 500 kilogram cengkeh. Sedangkan 400 lainnya masih berumur dua tahun.\r\n\r\nEmpat anak Nurjanah dua tahun yang lalu berinisiatif menanam sejumlah 400 pohon untuk Nurjanah dan suaminya, masing-masing anak menyumbang 100 pohon. Anak-anak Nurjanah berinisiatif menanam cengkeh untuk orang tuanyakarena mereka dahulu disekolahkan dari uang hasil penjualan cengkeh. Nurjanah sendiri mempunyai enam orang anak yang semuanya menjadi sarjana. Zulfikar, anaknya yang terakhir meskipun menyandang gelar sarjana memilih pulang ke kampung halaman, dan menekuni profesi sebagai petani.\r\n\r\nSelain menanam cengkeh di Dusun Tampumia, pada umumnya petani menanam jagung dan padi. Dari jumlah penduduk di Dusun Tampumia tempat Nurjanah tinggal, 75% penduduknya menanam cengkeh. Rata-rata mereka memliki lebih dari 200 batang pohon cengkeh. Pada masa Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) orang-orang di Tampumia disuruh menebang pohon cengkehnya, bagi yang menebang akan diberikan ganti rugi sebesar 50 ribu rupiah. Namun Nurjanah dan suaminya tidak menebang satupun pohon cengkehnya.\r\n\r\nUntuk penanaman cengkeh di Tampumia biaya yang dikeluarkan cukup besar. Gambaran biaya dari penuturan Bu Nurjanah saat anak-anaknya akan menanam 400 batang pohon cengkeh yang diberikan kepada Nurjanah dan suaminya. Untuk upah pekerja buka lahan sebesar Rp2 juta untuk 5 orang. Pembukaan lahan ini dikerjakan satu hari.\r\n\r\nSetelah lahan dibuka kemudian sisa-sisa kayunya dibakar. Untuk pembakaran dan pembersihan lahan ini mengerahkan tenaga kerja sebanyak 3 orang, per orang diupah 100 ribu, dikerjakan selama 3 hari. Berarti biaya yang dikeluarkan sebesar 900 ribu rupiah. Untuk pembukaan lahan dan pembersihannya sudah menghabiskan biaya sebesar Rp2,9 juta.\r\n\r\nSetelah lahan dibersihkan kemudian melakukan pembuatan lubang untuk menanam cengkeh dan melakukan pemupukan. Pada tahap ini Nurjanah mempekerjakan dua orang selama empat hari. Setelah cengkeh ditanam, perawatan yang dilakukan adalah menyiram seminggu dua kali.<\/a>\r\n\r\nSejak 1979, Nurjanah mengaku tidak ada satupun petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang memberikan penyuluhan tentang cengkeh. Bantuan pemerintah juga tidak pernah diberikan kepadanya. Sehingga jika wacana besar pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah dengan anggaran yang besar, hal tersebut dapat tersampaikan dan terdistribusi dengan baik sampai di level paling bawah.","post_title":"Cerita Cengkeh Dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"cerita-cengkeh-dari-kabupaten-luwu-sulawesi-selatan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-07 15:35:19","post_modified_gmt":"2017-09-07 08:35:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=3956","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":3937,"post_author":"845","post_date":"2017-09-05 16:01:09","post_date_gmt":"2017-09-05 09:01:09","post_content":"
\"Namun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]N[\/dropcap]urbaya (40), bukanlah sosok yang istimewa. Ia seperti halnya lelaki dan perempuan lain di Desa Samaenre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Perempuan ini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, dipekerjakan oleh tetangga sekitarnya yang memiliki sawah atau kebun. Memanen padi atau membersihkan kebun, adalah kerja sehari-hari yang dia lakukan.\r\n\r\nDua pekerjaan tersebut memiliki sistem pengupahan yang berbeda atas kerja buruh tani. Ketika dia memanen padi, dia tak diupah dalam bentuk uang, tapi diupah dengan pembagian hasil dari padi yang dia panen. Sebaliknya ketika ia bekerja untuk membersihkan kebun, dia diupah Rp50.000\/hari oleh sang pemilik kebun. Kebun cengkeh yang biasa dibersihkannya.\r\n\r\nDua pekerjaan tersebut memang bukan pekerjaan yang rutin dilakukannya setiap hari, biasanya panggilan pekerjaan itu datang menjelang musim panen tiba. Saat panen cengkeh tiba, Nurbaya akan dipanggil oleh tetangganya yang memiliki kebun untuk bekerja memetik cengkeh. \u201cSemua orang di Samaenre yang memiliki kebun pasti punya pohon cengkeh, dan pada saat panen raya tiba akan selalu kekurangan tenaga untuk memetik cengkeh,\u201d ujarnya pada kesempatan berbincang dengannya.\r\n\r\nPekerjaan itu telah dilakukannya selama lima tahun lebih. Pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyambung hidup setelah suaminya tiada. Sebelumnya Nurbaya sempat mencoba menjadi buruh migran di Malaysia, namun hanya dijalani selama delapan bulan saja. Dia tak tega melihat ibunya harus merawat anaknya yang masih kecil seorang diri.\r\n\r\nSelama bekerja di Malaysia yang relatif singkat, sedikit uang yang dia bawa ke Samaenre sekadar cukup untuk memperbaiki rumahnya. Mimpinya untuk bisa membeli tanah untuk berkebun tak tercapai karena tak cukup uang yang dia miliki.\r\n\r\nKembali pada ceritanya ketika bekerja sebagai pemetik cengkeh, biasanya dia bekerja mulai pukul tujuh pagi hingga pukul satu siang. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di sana, alat-alat untuk memetik biasanya juga disediakan oleh pemilik kebun.\r\n\r\nMungkin relatif tak besar penghasilan yang dia dapatkan dari memetik cengkeh, mengingat dia hanya mampu memanjat pohon cengkeh hingga ketinggian 15 meter saja, dengan rata-rata menghasilkan 20 liter cengkeh. Untuk setiap liter cengkeh yang berhasil dia petik, Nurbaya mendapatkan uang Rp5.000.\r\n\r\nNamun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.\r\n\r\nNurbaya bukan perempuan satu-satunya yang bekerja memetik cengkeh, hampir 80% penduduk desa Samaenre memang bekerja sebagai pemetik cengkeh. Kekurangan tenaga pemetik cengkeh biasanya didatangkan pekerja dari daerah Bulukumba.\r\n\r\nWalau bukan satu-satunya perempuan buruh tani di Samaenre, namun sosok perempuan satu ini terbilang cukup tangguh. Bukan hanya semata karena harus melakukan pekerjaan yang cukup berat dengan memanjat pohon cengkeh pada ketinggian tertentu, namun juga sosoknya yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan keluarganya.","post_title":"Kisah Perempuan Pemetik Cengkeh","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"kisah-perempuan-pemetik-cengkeh","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-07 01:52:31","post_modified_gmt":"2017-09-06 18:52:31","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=3937","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"\"Padahal konsumen adalah orang yang selama ini membayarkan cukai rokok, namun dalam pengambilan keputusan, konsumen sebagai salah satu pemangku kepentingan juga tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]P[\/dropcap]ernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang kenaikan cukai tahun depan sebesar 10% adalah pernyataan paling lamis<\/i> \u2013 bahasa Jawa yang artinya ucapan manis, bukan sesuatu yang tulus, sekadar tidak mengecewakan lawan bicara \u2013 dari seorang menteri sepanjang tahun ini, lebih lamis<\/i> daripada pernyataannya menyikapi turunnya daya beli beberapa waktu lalu.\r\n\r\nPernyataan tentang alasan kenaikan cukai yang menempatkan aspek kesehatan sebagai alasan pertama, sebenarnya lebih terlihat kamuflase bahwasanya negara ini belum berhasil membuat formula pendapatan andalan selain cukai. Setelahnya aspek kesehatan kenaikan cukai rokok dimaksudkan sebagai pencegahan cukai ilegal, kemudian aspek dampak kepada pemangku kepentingan industri kretek (buruh kretek dan petani tembakau), dan alasan terakhir sebagai peningkatan penerimaan negara, begitu menurut Sri Mulyani yang saya baca dari media.\r\n\r\nAlasan kesehatan adalah alasan paling klasik, namun juga sekaligus pembenaran paling sulit dibantah ketika ada yang menggugat kebjakan kenaikan cukai ini. Para penggugat kenaikan cukai akan dicap sebagai penolak kebijakan kesehatan, dan pada akhirnya dengan mudah para penolak kebijakan cukai akan langsung diberi stigma orang yang anti kesehatan.\r\n\r\nDari sisi ekonomi politik, sudah jelas bahwa kebijakan cukai adalah senjata kampanye antirokok yang digunakan untuk meraih simpati dan dukungan pemerintah. Iming-iming kampanye antirokok kepada pemerintah adalah kenaikan cukai berarti penambahan pendapatan untuk pemerintah. Potensi yang sering didengungkan oleh kampanye anti rokokpendapatan pemerintah bakal sebesar 300 triliun atau dua kali lipat dari target pendapatan tahun ini jika mengikuti skema kenaikan mereka.\r\n\r\nSementara mereka tidak pernah memberikan gambaran riil berapa potential lost<\/i>-nya jika pemerintah mengikuti skema tersebut. Prakteknya di masyarakat, bagaimanapun juga kebutuhan nikotin masyarakat Indonesia masih bisa dipenuhi secara mudah dengan produk-produk ilegal ataupun produk tradisional yang mudah diakses.\r\n\r\nAlasan kedua kenaikan cukai sebagai pencegahan rokok ilegal. Kalau ini terus terang saja, saya melihatnya sebagai cara yang paling konyol dalam pencegahan rokok ilegal. Secara naluriah, manusia pasti akan mencari harga paling murah untuk memenuhi kebutuhannya. Paling jelas dari dampak kebijakan cukai yang setiap tahun terus naik adalah tutupnya ribuan pabrik kretek sejak tahun 2007, dan kini hanya menyisakan 500 pabrik saja.\r\n\r\nApakah tutupnya pabrik mengurangi konsumsi rokok? Tidak. Mereka beralih, bukan menghentikan konsumsinya. Beralih ke produk lain yang lebih murah atau mencari produk ilegal. Dari kebijakan-kebijakan sebelumnya, suara pembanding dari pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah didengarkan oleh pembuat kebijakan cukai. Dengan mendasarkan dukungan hanya pada masyarakat kampanye antirokok, sudah cukup bagi pemerintah bahwa rokok ilegal bisa dicegah dengan kenaikan cukai, entah darimana logikanya.\r\n\r\nNah, alasan ketiga lebih tidak masuk akal lagi ketika kenaikan cukai memperhatikan buruh dan petani. Hanya saja madzhab yang digunakan oleh pemerintah dalam memperhatikan kepentingan petani dan buruh dengan kebijakan kenaiakan cukai adalah kebijakan diversifikasi seperti sabda dari Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) \u2013 kebijakan yang didorong oleh korporasi internasional industri farmasi.\r\n\r\nDari kebijakan ini sudah jelas bahwa pemerintah sudah tidak lagi peduli dengan kelestarian produk kretek. Mungkin kretek tetap ada, tapi di tengah gempuran kebijakan cukai yang sangat represif maka semakin sedikit orang Indonesia yang dapat merasakan kemanfaatan dari sisi ekonominya. Keniscayaan bahwa petani tembakau dan buruh linting serta buruh pabrik kretek yang dengan mesin sekalipun menyerap banyak tenaga kerja, tidak dapat begitu saja dialihkan dengan sumber penghidupan yang lain.\r\n\r\nProgram pengalihan itu telah berjalan selama sepuluh tahun kalau mengacu Undang-Undang Normor No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, tapi tetap saja program itu hingga kini belum ada hasil apapun. Entah mengapa masih saja mau diterus-teruskan pendapat seperti itu.\r\n\r\nAlasan penerimaan negara adalah alasan paling krusial sebenarnya dari kenaikan cukai ini kalau saja pemerintah mau jujur dan transparan. Selain cukai, hingga saat ini tidak ada lagi sumber pendapatan pemerintah yang bisa memberikan dana segar dalam jumlah besar dan juga dalam waktu cepat. Sudah sering kejadian pemerintah harus ngijon<\/i> \u2013 sistem yang menerapkan si pembeli ijon (produk yang masih ijo) \u2013 dulu saat sumber-sumber dana pemerintah belum ada yang bisa dicairkan.\r\n\r\nSehingga pada rancangan pendapatan negara, pemerintah sudah dapat mengantungi lebih dari 100 triliun dari cukai. Berharap dari komoditi nonmigas ataupun dari komoditi migas, tidak ada yang secepat cukai rokok dalam memberikan dana kepada pemerintah.\r\n\r\nDari kebijakan ini jelas negara telah abai justru kepada pembayar cukai. Secara hukum penyediaan ruang merokok dalam kawasan tanpa rokok harus disediakan oleh pemerintah, tapi terus terang sudah 5 tahun sampai hari ini pemerintah tidak pernah memperhatikan hal itu.\r\n\r\nPadahal konsumen adalah orang yang selama ini membayarkan cukai rokok, sementara pabrik hanya dalam konteks menalangi saja di awal. Namun seperti tersebut di atas, bahwa dalam pengambilan keputusan, konsumen sebagai salah satu pemangku kepentingan juga tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.","post_title":"Penting Bagi Konsumen Rokok untuk Menolak Kenaikan Cukai Sebesar 10%","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"penting-bagi-konsumen-rokok-untuk-menolak-kenaikan-cukai-sebesar-10","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-10-23 12:04:38","post_modified_gmt":"2017-10-23 05:04:38","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4054","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4027,"post_author":"845","post_date":"2017-10-03 20:21:02","post_date_gmt":"2017-10-03 13:21:02","post_content":"
\"Pendeknya, kebudayaan kretek atau kretek sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar yang menyatu dengan budaya lisan, tradisi ritual, kesenian, mitologi dan resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]K[\/dropcap]retek adalah benda budaya yang memiliki kekhususan kultural dan historis (Margana, 2014). Temuan kretek pada abad ke-19 di Kudus, daerah pinggiran utara Pulau Jawa, menjelaskan sejumlah proses adaptif kaum bumiputera yang berpegang pada semangat berdikari di bawah tatanan kolonial.\r\n\r\nKreativitas meracik daun tembakau dan cengkeh \u2013 populer disebut kretek (clove cigarette<\/i>) yang penamaannya mengacu pada bunyi \u2013 menjadikannya marka pembeda atas produk lain dari luar yang sama-sama memanfaatkan tembakau.\r\n\r\nKretek terus berkembang dinamis melintasi zaman (difusi), mengalami inovasi dan evolusi hingga merembes, dan mendalam sebagai pola pengetahuanpengetahuan masyarakat lokal yang kehidupannya terkait erat pada budidaya tembakau dan cengkeh. Kretek menunjukkan pola-pola pengetahuan masyarakat bumiputera yang berpijak pada praktik, dan kebiasaan mengunyah buah pinang dan daun sirih selama ribuan tahun.\r\n\r\nKretek adalah produk khas dari Indonesia. Ia komoditas yang menyatukan pelbagai ragam sejarah, budaya, etnis dan agama sepanjang Nusantara serta sumber inspirasi dan warisan budaya dari kekayaan (alam) Indonesia. Bahkan, pola-pola pengetahuan atas kretek menghadirkan individu-individu yang cakap dan memiliki keahlian serta kreativitas yang khas, dari hulu hingga hilir, baik dalam konteks pengrajin maupun industri.\r\n\r\nPengetahuan tentang kretek terus diwariskan dalam pelbagai praktik, representasi, ekspresi, dan keterampilan yang mengolah, dan menghasilkan serangkaian instrumen, obyek, dan artefak; tumbuh dalam lingkungan budaya beragam komunitas, dan kelompok masyarakat di Indonesia. [Lihat Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB dalam Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, diteken di Paris, 17 Oktober 2003, diratifikasi Indonesia pada 2007]\r\n\r\nWujud sistem pengetahuan masyarakat bumiputera yang memiliki daya-olah merespons keadaan lingkungan sekitar dan interaksinya dengan alam, bertahan melewati rentang sejarah yang panjang, sehingga mampu memunculkan suatu jati diri dan memiliki daya-serap berkesinambungan, yang gilirannya menjadikan kretek sebagai salah satu dari keanekaragaman budaya dan kreativitas manusia di Indonesia.\r\n\r\nKretek, dengan kata lain, adalah bentuk pengetahuan bumiputera yang mencerminkan identitas tentang kebangsaan, kelas, budaya, dan ragam etnis tertentu. Kretek sebagai warisan budaya tak bendawi berpijak pada pengetahuan masyarakat yang terintegrasi dengan tradisi lisan, kesenian dan ritual. Selain itu mampu mengolah-dayakan alam, yakni tembakau dan cengkeh, lantas meraciknya menjadi benda atau artefak yang memiliki nilai ekonomi unggulan, dan pewarisannya terus hidup lewat sejumlah ekspresi budaya masyarakatmasyarakat di Indonesia (Hanusz, 2000).\r\n\r\nKretek Sebagai Kebudayaan<\/strong><\/em>\r\nKebudayaan adalah sistem pengetahuan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial untuk memahami, dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya. Ia menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong berseminya perilaku.\r\n\r\nDalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai \u201cmekanisme kontrol\u201d bagi perilaku dan tindakan manusia (Geertz, 1973), atau sebagai \u201cpola-pola bagi perilaku manusia\u201d (Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, terdiri atas model-model kognitif yang digunakan manusia secara kolektif sesuai lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).\r\n\r\nKretek sebagai kebudayaan menjadi pedoman atau cetak biru guna menafsirkan keseluruhan tindakan manusia sehingga menghasilkan beberapa tradisi, kesenian ritual dan mitologi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menjadi pedoman bagi masyarakat yang menyakininya melalui proses belajar, tumbuh-kembang, modifikasi dan replikasi. Sehingga, setiap hal dalam kehidupan manusia pada dasarnya bermula dari kemampuan pikiran manusia dalam berkreasi.\r\n\r\nCarol R Ember dan Melvin Ember menjelaskan beberapa sifat dari kebudayaan: ia menjadi milik manusia melalui proses belajar; ia perihal bersama dalam suatu masyarakat tertentu; ia cara berlaku yang terus-menerus dipelajari; dan ia tak bergantung dari transmisi biologis atau pewarisan lewat unsur genetis.\r\n\r\nSeirama definisi itu, bila merujuk pada penemuan kretek dalam kehidupan manusia, dapat dikemukakan bahwa kretek adalah ekspresi yang terintegrasi dalam budaya masyarakat meliputi tradisi lisan, tradisi ritual dan kesenian, yang muncul sebagai ciri khas. Selain itu, terdapat budaya dengan sistem pengetahuan yang unik.\r\n\r\nPendeknya, kebudayaan kretek atau kretek sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar yang menyatu dengan budaya lisan, tradisi ritual, kesenian, mitologi dan resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.","post_title":"Kretek Sebagai Warisan Budaya Tak Bendawi","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"kretek-sebagai-warisan-budaya-tak-bendawi","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-10-03 20:21:30","post_modified_gmt":"2017-10-03 13:21:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4027","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4023,"post_author":"845","post_date":"2017-09-27 14:46:13","post_date_gmt":"2017-09-27 07:46:13","post_content":"
\"Jika menanyakan siapa petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa, orang-orang di dua desa itu akan merujuk pada satu nama, Haji Sappa. Haji Sappa ini adalah panggilan saja, nama aslinya Drs. H. Abdul Basyir.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
Haji Sappa (kiri, baju putih) bersama dengan Zulvan Kurniawan peneliti dari KNPK dan istri Haji Sappa.<\/em>[\/caption]\r\n\r\n[dropcap]B[\/dropcap]isa dibilang, ia adalah orang kaya dan terpandang di desa tersebut, seorang dengan status pemilik pohon cengkeh terbanyak di Samaenre.\r\n\r\nIa memiliki pohon cengkeh sebanyak 800 batang, dan juga dikenal sebagai pedagang cengkeh terutama di Kecamatan Tonra dan Kecamatan Cina. Lelaki asli Bone, Sulawesi Selatan ini sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bone. Kebun cengkeh yang luas itu adalah warisan dari orang tuanya yang kemudian ia teruskan sampai saat ini.\r\n\r\nPada kisaran tahun 70-an, orang tua Haji Sappa membeli tanah di Samaenre, dan menanaminya dengan pohon cengkeh. Kala itu penduduk Desa Samaenre belum mengetahui tentang tanaman cengkeh. Bisa dikatakan pula bahwa orang tuanya adalah pelopor penanaman cengkeh di Samaenre. Hingga 17 tahun kemudian, penduduk Desa Samaenre dan Rappa mulai berduyun-duyun menanam cengkeh. Pada saat itu harga cengkeh Rp12.000 per kilo gramnya. Jika dibandingkan dengan kopi yang harganya saat itu hanya Rp.7.000 per kilo gram, orang-orang lebih memilih menanam cengkeh.\r\n\r\nSebagai orang yang mewarisi tanahnya dari orangtua yang berada diluar kawasan hutan lindung, Haji Sappa saat ini menghadapi masalah dengan tanah yang dibelinya sendiri dari hasil berdagang cengkeh. Ia sempat membeli tanah dari tetangganya seluas 4 hektar dengan motivasi menolong tetangga tersebut karena butuh uang, setelah dicek di kantor ATR\/BPN ternyata tanah tersebut masuk zona kawasan hutan lindung, sehingga tidak bisa diurus sertifikatnya.\r\n\r\nMenurut pengakuan Haji Sappa, sebagian besar saat ini tanah di Samaenre dan Rappa yang ditanami Cengkeh berada didalam kawasan. Meskipun begitu dari pengawas hutan tetap mengenakan biaya sewa sebesar 100 ribu rupiah per hektar per tahun bagi masyarakat yang menanam tanaman perkebunan didalam kawasan.\r\n\r\nDari pohon cengkeh yang sudah berumur lebih dari 40 tahun milik Haji Sappa buahnya dibeli oleh sebuah perusahaan untuk pembibitan. Per biji dihargai Rp500, dengan syarat panjangnya minimal 1,8 cm. Dari hasil jual beli buah cengkeh ini, Haji Sappa menandatangani kontrak senilai Rp.7,5 juta, namun dari kontrak senilai itu yang dibayarakan hanya Rp1,5 juta karena sebagian besar buah cengkeh Haji Sappa gagal dalam proses pembibitan.\r\n\r\nHaji Sappa sendiri tidak mau dibilang petani karena beliau sudah jarang ke kebun, ia hanya mau disebut sebagai pengepul cengkeh. Kebunnya secara bertahap dia berikan kepada anaknya yang bungsu dan menantunya. Sekitar 90% petani cengkeh di Samaenre menjual cengkeh kepadanya. Cengkeh kemudian ia jual ke Makassar, tepatnya dijual ke Sampoerna, dan selain itu dijual ke BAT selama tiga tahun terakhir. Dua perusahaan raksasa di industri rokok Indonesia.\r\n\r\nSeperti halnya cerita dari para petani cengkeh di banyak tempat, Haji Sappa juga mengaku bahwa selama ini cengkeh yang ia tanam diurus sendiri tanpa ada bantuan dari Dinas Perkebunan dan Pertanian setempat. Justru yang selama ini melakukan pendampingan untuk penanaman dan budidaya cegnkeh berasal dari perusahaan yang membeli cengkeh dari para petani agar sesuai dengan kebutuhan industri. Pendampingan dari perusahaan pun sebenarnya tak menyeluruh, lebih berfokus pada kerja sama untuk uji coba pupuk dan pembibitan.\r\n\r\nNamun demikian, dengan segala keterbatasan dalam bentuk pendampingan, bantuan, ataupun perlindungan, petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa tetap dapat terus menjaga keberlangsungan perkebunan cengkeh. Komoditi yang selama ini memberikan penghidupan baik bagi mereka.","post_title":"Haji Sappa, Pemilik 800 Pohon Cengkeh di Samaenre, Bone, Sulsel","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"haji-sappa-pemilik-800-pohon-cengkeh-di-samaenre-bone-sulsel","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-27 14:51:25","post_modified_gmt":"2017-09-27 07:51:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4023","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":3956,"post_author":"845","post_date":"2017-09-07 15:34:45","post_date_gmt":"2017-09-07 08:34:45","post_content":"
\"Sejak 1979, Nurjanah mengaku tidak ada satupun petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang memberikan penyuluhan tentang cengkeh. Bantuan pemerintah juga tidak pernah diberikan kepadanya.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n[dropcap]D[\/dropcap]uas areal perkebunan cengkeh di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, diperkirakan sebesar 16 ribu hektar yang tersebar di 20 kecamatan. Adapun Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli, dan Suli Barat merupakan penghasil cengkeh tertinggi. Dengan kemampuan produksi mencapai 9.000 ton dengan tingkat produktifitas 700kg\/ha, jumlah petani cengkeh di Luwu diperkirakan sebanyak 14 ribu orang.\r\n\r\nPada anggaran tahun 2017, sebesar Rp700 juta disiapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu yang secara umum diperuntukan bagi perkebunan. Dengan detail spesifik digunakan untuk pembagian bibit, pengembangan kopi di desa Latimonjong, pembagian bibit kakao, dan lain-lain. Sementara khusus untuk cengkeh memang belum memiliki plot khusus untuk tahun ini, namun akan dimasukan sebagai usulan pada tahun mendatang, dengan program peremajaan cengkeh yang mati akibat dari terserang penyakit jamur akar putih.\r\n\r\nDinas Perkebunan Kabupten Luwu sampai sekarang belum mendengar akan ada program dari Kementerian Pertanian untuk menggalakkan pengadaan bibit rempah (pala, lada, cengkeh, dll) senilai 2 triliun dari pemerintah pada tahun 2018.\r\n\r\n\"Ke depan kita bangkitkan komoditas yang strategis untuk ekspor, seperti dulu daerah rempah-rempah. Rempah itu seperti, merica, pala, lada, cengkih, dan kakao, kami siapkan bibit senilai Rp2 triliun pada 2018. Mudah-mudahan ada tambahan lagi,\" kata Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, seperti dikutip dari Antara, <\/em>di Kementan, Jakarta, Selasa 30 Mei 2017.\r\n\r\nCerita tentang rencana besar pemerintah mengembalikan kejayaan rempah (cengkeh) sepertinya masih dalam satu tahap wacana, mengingat struktur pemerintah di tingkat bawah belum mengetahui hal tersebut. Jika demikian, bisa saja ditingkat petani seperti Nurjanah (54) hal tersebut juga belum diketahui.\r\n\r\n
\r\n\r\nPerempuan yang tinggal di Dusun Tampumia, Desa Tampumia, Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu ini memiliki 500 pohon cengkeh. Ia menanam pohon cengkeh itu sejak 1979, tak semuanya tumbuh dengan baik karena banyak yang terkena hama dan kemudian roboh. Namun demikian hanya 100 pohon saja yang dapat dikatakan masih produktif. Cengkeh yang masih berbuah rata-rata pada saat panen menghasilkan 500 kilogram cengkeh. Sedangkan 400 lainnya masih berumur dua tahun.\r\n\r\nEmpat anak Nurjanah dua tahun yang lalu berinisiatif menanam sejumlah 400 pohon untuk Nurjanah dan suaminya, masing-masing anak menyumbang 100 pohon. Anak-anak Nurjanah berinisiatif menanam cengkeh untuk orang tuanyakarena mereka dahulu disekolahkan dari uang hasil penjualan cengkeh. Nurjanah sendiri mempunyai enam orang anak yang semuanya menjadi sarjana. Zulfikar, anaknya yang terakhir meskipun menyandang gelar sarjana memilih pulang ke kampung halaman, dan menekuni profesi sebagai petani.\r\n\r\nSelain menanam cengkeh di Dusun Tampumia, pada umumnya petani menanam jagung dan padi. Dari jumlah penduduk di Dusun Tampumia tempat Nurjanah tinggal, 75% penduduknya menanam cengkeh. Rata-rata mereka memliki lebih dari 200 batang pohon cengkeh. Pada masa Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) orang-orang di Tampumia disuruh menebang pohon cengkehnya, bagi yang menebang akan diberikan ganti rugi sebesar 50 ribu rupiah. Namun Nurjanah dan suaminya tidak menebang satupun pohon cengkehnya.\r\n\r\nUntuk penanaman cengkeh di Tampumia biaya yang dikeluarkan cukup besar. Gambaran biaya dari penuturan Bu Nurjanah saat anak-anaknya akan menanam 400 batang pohon cengkeh yang diberikan kepada Nurjanah dan suaminya. Untuk upah pekerja buka lahan sebesar Rp2 juta untuk 5 orang. Pembukaan lahan ini dikerjakan satu hari.\r\n\r\nSetelah lahan dibuka kemudian sisa-sisa kayunya dibakar. Untuk pembakaran dan pembersihan lahan ini mengerahkan tenaga kerja sebanyak 3 orang, per orang diupah 100 ribu, dikerjakan selama 3 hari. Berarti biaya yang dikeluarkan sebesar 900 ribu rupiah. Untuk pembukaan lahan dan pembersihannya sudah menghabiskan biaya sebesar Rp2,9 juta.\r\n\r\nSetelah lahan dibersihkan kemudian melakukan pembuatan lubang untuk menanam cengkeh dan melakukan pemupukan. Pada tahap ini Nurjanah mempekerjakan dua orang selama empat hari. Setelah cengkeh ditanam, perawatan yang dilakukan adalah menyiram seminggu dua kali.<\/a>\r\n\r\nSejak 1979, Nurjanah mengaku tidak ada satupun petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang memberikan penyuluhan tentang cengkeh. Bantuan pemerintah juga tidak pernah diberikan kepadanya. Sehingga jika wacana besar pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah dengan anggaran yang besar, hal tersebut dapat tersampaikan dan terdistribusi dengan baik sampai di level paling bawah.","post_title":"Cerita Cengkeh Dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"cerita-cengkeh-dari-kabupaten-luwu-sulawesi-selatan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-07 15:35:19","post_modified_gmt":"2017-09-07 08:35:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=3956","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":3937,"post_author":"845","post_date":"2017-09-05 16:01:09","post_date_gmt":"2017-09-05 09:01:09","post_content":"
\"Namun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]N[\/dropcap]urbaya (40), bukanlah sosok yang istimewa. Ia seperti halnya lelaki dan perempuan lain di Desa Samaenre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Perempuan ini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, dipekerjakan oleh tetangga sekitarnya yang memiliki sawah atau kebun. Memanen padi atau membersihkan kebun, adalah kerja sehari-hari yang dia lakukan.\r\n\r\nDua pekerjaan tersebut memiliki sistem pengupahan yang berbeda atas kerja buruh tani. Ketika dia memanen padi, dia tak diupah dalam bentuk uang, tapi diupah dengan pembagian hasil dari padi yang dia panen. Sebaliknya ketika ia bekerja untuk membersihkan kebun, dia diupah Rp50.000\/hari oleh sang pemilik kebun. Kebun cengkeh yang biasa dibersihkannya.\r\n\r\nDua pekerjaan tersebut memang bukan pekerjaan yang rutin dilakukannya setiap hari, biasanya panggilan pekerjaan itu datang menjelang musim panen tiba. Saat panen cengkeh tiba, Nurbaya akan dipanggil oleh tetangganya yang memiliki kebun untuk bekerja memetik cengkeh. \u201cSemua orang di Samaenre yang memiliki kebun pasti punya pohon cengkeh, dan pada saat panen raya tiba akan selalu kekurangan tenaga untuk memetik cengkeh,\u201d ujarnya pada kesempatan berbincang dengannya.\r\n\r\nPekerjaan itu telah dilakukannya selama lima tahun lebih. Pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyambung hidup setelah suaminya tiada. Sebelumnya Nurbaya sempat mencoba menjadi buruh migran di Malaysia, namun hanya dijalani selama delapan bulan saja. Dia tak tega melihat ibunya harus merawat anaknya yang masih kecil seorang diri.\r\n\r\nSelama bekerja di Malaysia yang relatif singkat, sedikit uang yang dia bawa ke Samaenre sekadar cukup untuk memperbaiki rumahnya. Mimpinya untuk bisa membeli tanah untuk berkebun tak tercapai karena tak cukup uang yang dia miliki.\r\n\r\nKembali pada ceritanya ketika bekerja sebagai pemetik cengkeh, biasanya dia bekerja mulai pukul tujuh pagi hingga pukul satu siang. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di sana, alat-alat untuk memetik biasanya juga disediakan oleh pemilik kebun.\r\n\r\nMungkin relatif tak besar penghasilan yang dia dapatkan dari memetik cengkeh, mengingat dia hanya mampu memanjat pohon cengkeh hingga ketinggian 15 meter saja, dengan rata-rata menghasilkan 20 liter cengkeh. Untuk setiap liter cengkeh yang berhasil dia petik, Nurbaya mendapatkan uang Rp5.000.\r\n\r\nNamun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.\r\n\r\nNurbaya bukan perempuan satu-satunya yang bekerja memetik cengkeh, hampir 80% penduduk desa Samaenre memang bekerja sebagai pemetik cengkeh. Kekurangan tenaga pemetik cengkeh biasanya didatangkan pekerja dari daerah Bulukumba.\r\n\r\nWalau bukan satu-satunya perempuan buruh tani di Samaenre, namun sosok perempuan satu ini terbilang cukup tangguh. Bukan hanya semata karena harus melakukan pekerjaan yang cukup berat dengan memanjat pohon cengkeh pada ketinggian tertentu, namun juga sosoknya yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan keluarganya.","post_title":"Kisah Perempuan Pemetik Cengkeh","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"kisah-perempuan-pemetik-cengkeh","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-07 01:52:31","post_modified_gmt":"2017-09-06 18:52:31","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=3937","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
<\/p>\n","post_title":"Kampanye Antitembakau=Neokolonialisme","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"kampanye-antitembakauneokolonialisme","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-08-18 11:19:52","post_modified_gmt":"2019-08-18 04:19:52","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5970","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4054,"post_author":"845","post_date":"2017-10-23 12:04:07","post_date_gmt":"2017-10-23 05:04:07","post_content":"\"Padahal konsumen adalah orang yang selama ini membayarkan cukai rokok, namun dalam pengambilan keputusan, konsumen sebagai salah satu pemangku kepentingan juga tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]P[\/dropcap]ernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani tentang kenaikan cukai tahun depan sebesar 10% adalah pernyataan paling lamis<\/i> \u2013 bahasa Jawa yang artinya ucapan manis, bukan sesuatu yang tulus, sekadar tidak mengecewakan lawan bicara \u2013 dari seorang menteri sepanjang tahun ini, lebih lamis<\/i> daripada pernyataannya menyikapi turunnya daya beli beberapa waktu lalu.\r\n\r\nPernyataan tentang alasan kenaikan cukai yang menempatkan aspek kesehatan sebagai alasan pertama, sebenarnya lebih terlihat kamuflase bahwasanya negara ini belum berhasil membuat formula pendapatan andalan selain cukai. Setelahnya aspek kesehatan kenaikan cukai rokok dimaksudkan sebagai pencegahan cukai ilegal, kemudian aspek dampak kepada pemangku kepentingan industri kretek (buruh kretek dan petani tembakau), dan alasan terakhir sebagai peningkatan penerimaan negara, begitu menurut Sri Mulyani yang saya baca dari media.\r\n\r\nAlasan kesehatan adalah alasan paling klasik, namun juga sekaligus pembenaran paling sulit dibantah ketika ada yang menggugat kebjakan kenaikan cukai ini. Para penggugat kenaikan cukai akan dicap sebagai penolak kebijakan kesehatan, dan pada akhirnya dengan mudah para penolak kebijakan cukai akan langsung diberi stigma orang yang anti kesehatan.\r\n\r\nDari sisi ekonomi politik, sudah jelas bahwa kebijakan cukai adalah senjata kampanye antirokok yang digunakan untuk meraih simpati dan dukungan pemerintah. Iming-iming kampanye antirokok kepada pemerintah adalah kenaikan cukai berarti penambahan pendapatan untuk pemerintah. Potensi yang sering didengungkan oleh kampanye anti rokokpendapatan pemerintah bakal sebesar 300 triliun atau dua kali lipat dari target pendapatan tahun ini jika mengikuti skema kenaikan mereka.\r\n\r\nSementara mereka tidak pernah memberikan gambaran riil berapa potential lost<\/i>-nya jika pemerintah mengikuti skema tersebut. Prakteknya di masyarakat, bagaimanapun juga kebutuhan nikotin masyarakat Indonesia masih bisa dipenuhi secara mudah dengan produk-produk ilegal ataupun produk tradisional yang mudah diakses.\r\n\r\nAlasan kedua kenaikan cukai sebagai pencegahan rokok ilegal. Kalau ini terus terang saja, saya melihatnya sebagai cara yang paling konyol dalam pencegahan rokok ilegal. Secara naluriah, manusia pasti akan mencari harga paling murah untuk memenuhi kebutuhannya. Paling jelas dari dampak kebijakan cukai yang setiap tahun terus naik adalah tutupnya ribuan pabrik kretek sejak tahun 2007, dan kini hanya menyisakan 500 pabrik saja.\r\n\r\nApakah tutupnya pabrik mengurangi konsumsi rokok? Tidak. Mereka beralih, bukan menghentikan konsumsinya. Beralih ke produk lain yang lebih murah atau mencari produk ilegal. Dari kebijakan-kebijakan sebelumnya, suara pembanding dari pemangku kepentingan pertembakauan tidak pernah didengarkan oleh pembuat kebijakan cukai. Dengan mendasarkan dukungan hanya pada masyarakat kampanye antirokok, sudah cukup bagi pemerintah bahwa rokok ilegal bisa dicegah dengan kenaikan cukai, entah darimana logikanya.\r\n\r\nNah, alasan ketiga lebih tidak masuk akal lagi ketika kenaikan cukai memperhatikan buruh dan petani. Hanya saja madzhab yang digunakan oleh pemerintah dalam memperhatikan kepentingan petani dan buruh dengan kebijakan kenaiakan cukai adalah kebijakan diversifikasi seperti sabda dari Framework Convention of Tobacco Control (FCTC) \u2013 kebijakan yang didorong oleh korporasi internasional industri farmasi.\r\n\r\nDari kebijakan ini sudah jelas bahwa pemerintah sudah tidak lagi peduli dengan kelestarian produk kretek. Mungkin kretek tetap ada, tapi di tengah gempuran kebijakan cukai yang sangat represif maka semakin sedikit orang Indonesia yang dapat merasakan kemanfaatan dari sisi ekonominya. Keniscayaan bahwa petani tembakau dan buruh linting serta buruh pabrik kretek yang dengan mesin sekalipun menyerap banyak tenaga kerja, tidak dapat begitu saja dialihkan dengan sumber penghidupan yang lain.\r\n\r\nProgram pengalihan itu telah berjalan selama sepuluh tahun kalau mengacu Undang-Undang Normor No. 39 Tahun 2007 tentang Cukai, tapi tetap saja program itu hingga kini belum ada hasil apapun. Entah mengapa masih saja mau diterus-teruskan pendapat seperti itu.\r\n\r\nAlasan penerimaan negara adalah alasan paling krusial sebenarnya dari kenaikan cukai ini kalau saja pemerintah mau jujur dan transparan. Selain cukai, hingga saat ini tidak ada lagi sumber pendapatan pemerintah yang bisa memberikan dana segar dalam jumlah besar dan juga dalam waktu cepat. Sudah sering kejadian pemerintah harus ngijon<\/i> \u2013 sistem yang menerapkan si pembeli ijon (produk yang masih ijo) \u2013 dulu saat sumber-sumber dana pemerintah belum ada yang bisa dicairkan.\r\n\r\nSehingga pada rancangan pendapatan negara, pemerintah sudah dapat mengantungi lebih dari 100 triliun dari cukai. Berharap dari komoditi nonmigas ataupun dari komoditi migas, tidak ada yang secepat cukai rokok dalam memberikan dana kepada pemerintah.\r\n\r\nDari kebijakan ini jelas negara telah abai justru kepada pembayar cukai. Secara hukum penyediaan ruang merokok dalam kawasan tanpa rokok harus disediakan oleh pemerintah, tapi terus terang sudah 5 tahun sampai hari ini pemerintah tidak pernah memperhatikan hal itu.\r\n\r\nPadahal konsumen adalah orang yang selama ini membayarkan cukai rokok, sementara pabrik hanya dalam konteks menalangi saja di awal. Namun seperti tersebut di atas, bahwa dalam pengambilan keputusan, konsumen sebagai salah satu pemangku kepentingan juga tak dilibatkan dalam pengambilan kebijakan.","post_title":"Penting Bagi Konsumen Rokok untuk Menolak Kenaikan Cukai Sebesar 10%","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"penting-bagi-konsumen-rokok-untuk-menolak-kenaikan-cukai-sebesar-10","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-10-23 12:04:38","post_modified_gmt":"2017-10-23 05:04:38","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4054","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4027,"post_author":"845","post_date":"2017-10-03 20:21:02","post_date_gmt":"2017-10-03 13:21:02","post_content":"
\"Pendeknya, kebudayaan kretek atau kretek sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar yang menyatu dengan budaya lisan, tradisi ritual, kesenian, mitologi dan resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]K[\/dropcap]retek adalah benda budaya yang memiliki kekhususan kultural dan historis (Margana, 2014). Temuan kretek pada abad ke-19 di Kudus, daerah pinggiran utara Pulau Jawa, menjelaskan sejumlah proses adaptif kaum bumiputera yang berpegang pada semangat berdikari di bawah tatanan kolonial.\r\n\r\nKreativitas meracik daun tembakau dan cengkeh \u2013 populer disebut kretek (clove cigarette<\/i>) yang penamaannya mengacu pada bunyi \u2013 menjadikannya marka pembeda atas produk lain dari luar yang sama-sama memanfaatkan tembakau.\r\n\r\nKretek terus berkembang dinamis melintasi zaman (difusi), mengalami inovasi dan evolusi hingga merembes, dan mendalam sebagai pola pengetahuanpengetahuan masyarakat lokal yang kehidupannya terkait erat pada budidaya tembakau dan cengkeh. Kretek menunjukkan pola-pola pengetahuan masyarakat bumiputera yang berpijak pada praktik, dan kebiasaan mengunyah buah pinang dan daun sirih selama ribuan tahun.\r\n\r\nKretek adalah produk khas dari Indonesia. Ia komoditas yang menyatukan pelbagai ragam sejarah, budaya, etnis dan agama sepanjang Nusantara serta sumber inspirasi dan warisan budaya dari kekayaan (alam) Indonesia. Bahkan, pola-pola pengetahuan atas kretek menghadirkan individu-individu yang cakap dan memiliki keahlian serta kreativitas yang khas, dari hulu hingga hilir, baik dalam konteks pengrajin maupun industri.\r\n\r\nPengetahuan tentang kretek terus diwariskan dalam pelbagai praktik, representasi, ekspresi, dan keterampilan yang mengolah, dan menghasilkan serangkaian instrumen, obyek, dan artefak; tumbuh dalam lingkungan budaya beragam komunitas, dan kelompok masyarakat di Indonesia. [Lihat Organisasi Pendidikan, Keilmuan, dan Kebudayaan PBB dalam Konvensi untuk Perlindungan Warisan Budaya Tak Benda, diteken di Paris, 17 Oktober 2003, diratifikasi Indonesia pada 2007]\r\n\r\nWujud sistem pengetahuan masyarakat bumiputera yang memiliki daya-olah merespons keadaan lingkungan sekitar dan interaksinya dengan alam, bertahan melewati rentang sejarah yang panjang, sehingga mampu memunculkan suatu jati diri dan memiliki daya-serap berkesinambungan, yang gilirannya menjadikan kretek sebagai salah satu dari keanekaragaman budaya dan kreativitas manusia di Indonesia.\r\n\r\nKretek, dengan kata lain, adalah bentuk pengetahuan bumiputera yang mencerminkan identitas tentang kebangsaan, kelas, budaya, dan ragam etnis tertentu. Kretek sebagai warisan budaya tak bendawi berpijak pada pengetahuan masyarakat yang terintegrasi dengan tradisi lisan, kesenian dan ritual. Selain itu mampu mengolah-dayakan alam, yakni tembakau dan cengkeh, lantas meraciknya menjadi benda atau artefak yang memiliki nilai ekonomi unggulan, dan pewarisannya terus hidup lewat sejumlah ekspresi budaya masyarakatmasyarakat di Indonesia (Hanusz, 2000).\r\n\r\nKretek Sebagai Kebudayaan<\/strong><\/em>\r\nKebudayaan adalah sistem pengetahuan. Kebudayaan adalah keseluruhan pengetahuan manusia sebagai makhluk sosial untuk memahami, dan menginterpretasi lingkungan dan pengalamannya. Ia menjadi kerangka landasan untuk mewujudkan dan mendorong berseminya perilaku.\r\n\r\nDalam definisi ini, kebudayaan dilihat sebagai \u201cmekanisme kontrol\u201d bagi perilaku dan tindakan manusia (Geertz, 1973), atau sebagai \u201cpola-pola bagi perilaku manusia\u201d (Keesing, 1971). Dengan demikian kebudayaan merupakan serangkaian aturan-aturan, petunjuk-petunjuk, resep-resep, rencana-rencana, dan strategi-strategi, terdiri atas model-model kognitif yang digunakan manusia secara kolektif sesuai lingkungan yang dihadapinya (Spradley, 1972).\r\n\r\nKretek sebagai kebudayaan menjadi pedoman atau cetak biru guna menafsirkan keseluruhan tindakan manusia sehingga menghasilkan beberapa tradisi, kesenian ritual dan mitologi yang diwariskan dari generasi ke generasi. Ia menjadi pedoman bagi masyarakat yang menyakininya melalui proses belajar, tumbuh-kembang, modifikasi dan replikasi. Sehingga, setiap hal dalam kehidupan manusia pada dasarnya bermula dari kemampuan pikiran manusia dalam berkreasi.\r\n\r\nCarol R Ember dan Melvin Ember menjelaskan beberapa sifat dari kebudayaan: ia menjadi milik manusia melalui proses belajar; ia perihal bersama dalam suatu masyarakat tertentu; ia cara berlaku yang terus-menerus dipelajari; dan ia tak bergantung dari transmisi biologis atau pewarisan lewat unsur genetis.\r\n\r\nSeirama definisi itu, bila merujuk pada penemuan kretek dalam kehidupan manusia, dapat dikemukakan bahwa kretek adalah ekspresi yang terintegrasi dalam budaya masyarakat meliputi tradisi lisan, tradisi ritual dan kesenian, yang muncul sebagai ciri khas. Selain itu, terdapat budaya dengan sistem pengetahuan yang unik.\r\n\r\nPendeknya, kebudayaan kretek atau kretek sebagai budaya adalah sistem pengetahuan melalui proses belajar yang menyatu dengan budaya lisan, tradisi ritual, kesenian, mitologi dan resep-resep yang ditemukan, dimodifikasi, dikembangkan, dan bahkan model-modelnya dapat direplikasi ke dalam bentuk lain pada kehidupan manusia.","post_title":"Kretek Sebagai Warisan Budaya Tak Bendawi","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"kretek-sebagai-warisan-budaya-tak-bendawi","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-10-03 20:21:30","post_modified_gmt":"2017-10-03 13:21:30","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4027","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":4023,"post_author":"845","post_date":"2017-09-27 14:46:13","post_date_gmt":"2017-09-27 07:46:13","post_content":"
\"Jika menanyakan siapa petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa, orang-orang di dua desa itu akan merujuk pada satu nama, Haji Sappa. Haji Sappa ini adalah panggilan saja, nama aslinya Drs. H. Abdul Basyir.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
Haji Sappa (kiri, baju putih) bersama dengan Zulvan Kurniawan peneliti dari KNPK dan istri Haji Sappa.<\/em>[\/caption]\r\n\r\n[dropcap]B[\/dropcap]isa dibilang, ia adalah orang kaya dan terpandang di desa tersebut, seorang dengan status pemilik pohon cengkeh terbanyak di Samaenre.\r\n\r\nIa memiliki pohon cengkeh sebanyak 800 batang, dan juga dikenal sebagai pedagang cengkeh terutama di Kecamatan Tonra dan Kecamatan Cina. Lelaki asli Bone, Sulawesi Selatan ini sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bone. Kebun cengkeh yang luas itu adalah warisan dari orang tuanya yang kemudian ia teruskan sampai saat ini.\r\n\r\nPada kisaran tahun 70-an, orang tua Haji Sappa membeli tanah di Samaenre, dan menanaminya dengan pohon cengkeh. Kala itu penduduk Desa Samaenre belum mengetahui tentang tanaman cengkeh. Bisa dikatakan pula bahwa orang tuanya adalah pelopor penanaman cengkeh di Samaenre. Hingga 17 tahun kemudian, penduduk Desa Samaenre dan Rappa mulai berduyun-duyun menanam cengkeh. Pada saat itu harga cengkeh Rp12.000 per kilo gramnya. Jika dibandingkan dengan kopi yang harganya saat itu hanya Rp.7.000 per kilo gram, orang-orang lebih memilih menanam cengkeh.\r\n\r\nSebagai orang yang mewarisi tanahnya dari orangtua yang berada diluar kawasan hutan lindung, Haji Sappa saat ini menghadapi masalah dengan tanah yang dibelinya sendiri dari hasil berdagang cengkeh. Ia sempat membeli tanah dari tetangganya seluas 4 hektar dengan motivasi menolong tetangga tersebut karena butuh uang, setelah dicek di kantor ATR\/BPN ternyata tanah tersebut masuk zona kawasan hutan lindung, sehingga tidak bisa diurus sertifikatnya.\r\n\r\nMenurut pengakuan Haji Sappa, sebagian besar saat ini tanah di Samaenre dan Rappa yang ditanami Cengkeh berada didalam kawasan. Meskipun begitu dari pengawas hutan tetap mengenakan biaya sewa sebesar 100 ribu rupiah per hektar per tahun bagi masyarakat yang menanam tanaman perkebunan didalam kawasan.\r\n\r\nDari pohon cengkeh yang sudah berumur lebih dari 40 tahun milik Haji Sappa buahnya dibeli oleh sebuah perusahaan untuk pembibitan. Per biji dihargai Rp500, dengan syarat panjangnya minimal 1,8 cm. Dari hasil jual beli buah cengkeh ini, Haji Sappa menandatangani kontrak senilai Rp.7,5 juta, namun dari kontrak senilai itu yang dibayarakan hanya Rp1,5 juta karena sebagian besar buah cengkeh Haji Sappa gagal dalam proses pembibitan.\r\n\r\nHaji Sappa sendiri tidak mau dibilang petani karena beliau sudah jarang ke kebun, ia hanya mau disebut sebagai pengepul cengkeh. Kebunnya secara bertahap dia berikan kepada anaknya yang bungsu dan menantunya. Sekitar 90% petani cengkeh di Samaenre menjual cengkeh kepadanya. Cengkeh kemudian ia jual ke Makassar, tepatnya dijual ke Sampoerna, dan selain itu dijual ke BAT selama tiga tahun terakhir. Dua perusahaan raksasa di industri rokok Indonesia.\r\n\r\nSeperti halnya cerita dari para petani cengkeh di banyak tempat, Haji Sappa juga mengaku bahwa selama ini cengkeh yang ia tanam diurus sendiri tanpa ada bantuan dari Dinas Perkebunan dan Pertanian setempat. Justru yang selama ini melakukan pendampingan untuk penanaman dan budidaya cegnkeh berasal dari perusahaan yang membeli cengkeh dari para petani agar sesuai dengan kebutuhan industri. Pendampingan dari perusahaan pun sebenarnya tak menyeluruh, lebih berfokus pada kerja sama untuk uji coba pupuk dan pembibitan.\r\n\r\nNamun demikian, dengan segala keterbatasan dalam bentuk pendampingan, bantuan, ataupun perlindungan, petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa tetap dapat terus menjaga keberlangsungan perkebunan cengkeh. Komoditi yang selama ini memberikan penghidupan baik bagi mereka.","post_title":"Haji Sappa, Pemilik 800 Pohon Cengkeh di Samaenre, Bone, Sulsel","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"haji-sappa-pemilik-800-pohon-cengkeh-di-samaenre-bone-sulsel","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-27 14:51:25","post_modified_gmt":"2017-09-27 07:51:25","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=4023","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":3956,"post_author":"845","post_date":"2017-09-07 15:34:45","post_date_gmt":"2017-09-07 08:34:45","post_content":"
\"Sejak 1979, Nurjanah mengaku tidak ada satupun petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang memberikan penyuluhan tentang cengkeh. Bantuan pemerintah juga tidak pernah diberikan kepadanya.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n[dropcap]D[\/dropcap]uas areal perkebunan cengkeh di Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan, diperkirakan sebesar 16 ribu hektar yang tersebar di 20 kecamatan. Adapun Kecamatan Larompong, Larompong Selatan, Suli, dan Suli Barat merupakan penghasil cengkeh tertinggi. Dengan kemampuan produksi mencapai 9.000 ton dengan tingkat produktifitas 700kg\/ha, jumlah petani cengkeh di Luwu diperkirakan sebanyak 14 ribu orang.\r\n\r\nPada anggaran tahun 2017, sebesar Rp700 juta disiapkan oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Luwu yang secara umum diperuntukan bagi perkebunan. Dengan detail spesifik digunakan untuk pembagian bibit, pengembangan kopi di desa Latimonjong, pembagian bibit kakao, dan lain-lain. Sementara khusus untuk cengkeh memang belum memiliki plot khusus untuk tahun ini, namun akan dimasukan sebagai usulan pada tahun mendatang, dengan program peremajaan cengkeh yang mati akibat dari terserang penyakit jamur akar putih.\r\n\r\nDinas Perkebunan Kabupten Luwu sampai sekarang belum mendengar akan ada program dari Kementerian Pertanian untuk menggalakkan pengadaan bibit rempah (pala, lada, cengkeh, dll) senilai 2 triliun dari pemerintah pada tahun 2018.\r\n\r\n\"Ke depan kita bangkitkan komoditas yang strategis untuk ekspor, seperti dulu daerah rempah-rempah. Rempah itu seperti, merica, pala, lada, cengkih, dan kakao, kami siapkan bibit senilai Rp2 triliun pada 2018. Mudah-mudahan ada tambahan lagi,\" kata Menteri Pertanian (Mentan) Amran Sulaiman, seperti dikutip dari Antara, <\/em>di Kementan, Jakarta, Selasa 30 Mei 2017.\r\n\r\nCerita tentang rencana besar pemerintah mengembalikan kejayaan rempah (cengkeh) sepertinya masih dalam satu tahap wacana, mengingat struktur pemerintah di tingkat bawah belum mengetahui hal tersebut. Jika demikian, bisa saja ditingkat petani seperti Nurjanah (54) hal tersebut juga belum diketahui.\r\n\r\n
\r\n\r\nPerempuan yang tinggal di Dusun Tampumia, Desa Tampumia, Kecamatan Bupon, Kabupaten Luwu ini memiliki 500 pohon cengkeh. Ia menanam pohon cengkeh itu sejak 1979, tak semuanya tumbuh dengan baik karena banyak yang terkena hama dan kemudian roboh. Namun demikian hanya 100 pohon saja yang dapat dikatakan masih produktif. Cengkeh yang masih berbuah rata-rata pada saat panen menghasilkan 500 kilogram cengkeh. Sedangkan 400 lainnya masih berumur dua tahun.\r\n\r\nEmpat anak Nurjanah dua tahun yang lalu berinisiatif menanam sejumlah 400 pohon untuk Nurjanah dan suaminya, masing-masing anak menyumbang 100 pohon. Anak-anak Nurjanah berinisiatif menanam cengkeh untuk orang tuanyakarena mereka dahulu disekolahkan dari uang hasil penjualan cengkeh. Nurjanah sendiri mempunyai enam orang anak yang semuanya menjadi sarjana. Zulfikar, anaknya yang terakhir meskipun menyandang gelar sarjana memilih pulang ke kampung halaman, dan menekuni profesi sebagai petani.\r\n\r\nSelain menanam cengkeh di Dusun Tampumia, pada umumnya petani menanam jagung dan padi. Dari jumlah penduduk di Dusun Tampumia tempat Nurjanah tinggal, 75% penduduknya menanam cengkeh. Rata-rata mereka memliki lebih dari 200 batang pohon cengkeh. Pada masa Badan Penyangga Pemasaran Cengkeh (BPPC) orang-orang di Tampumia disuruh menebang pohon cengkehnya, bagi yang menebang akan diberikan ganti rugi sebesar 50 ribu rupiah. Namun Nurjanah dan suaminya tidak menebang satupun pohon cengkehnya.\r\n\r\nUntuk penanaman cengkeh di Tampumia biaya yang dikeluarkan cukup besar. Gambaran biaya dari penuturan Bu Nurjanah saat anak-anaknya akan menanam 400 batang pohon cengkeh yang diberikan kepada Nurjanah dan suaminya. Untuk upah pekerja buka lahan sebesar Rp2 juta untuk 5 orang. Pembukaan lahan ini dikerjakan satu hari.\r\n\r\nSetelah lahan dibuka kemudian sisa-sisa kayunya dibakar. Untuk pembakaran dan pembersihan lahan ini mengerahkan tenaga kerja sebanyak 3 orang, per orang diupah 100 ribu, dikerjakan selama 3 hari. Berarti biaya yang dikeluarkan sebesar 900 ribu rupiah. Untuk pembukaan lahan dan pembersihannya sudah menghabiskan biaya sebesar Rp2,9 juta.\r\n\r\nSetelah lahan dibersihkan kemudian melakukan pembuatan lubang untuk menanam cengkeh dan melakukan pemupukan. Pada tahap ini Nurjanah mempekerjakan dua orang selama empat hari. Setelah cengkeh ditanam, perawatan yang dilakukan adalah menyiram seminggu dua kali.<\/a>\r\n\r\nSejak 1979, Nurjanah mengaku tidak ada satupun petugas Penyuluh Pertanian Lapangan (PPL) yang memberikan penyuluhan tentang cengkeh. Bantuan pemerintah juga tidak pernah diberikan kepadanya. Sehingga jika wacana besar pemerintah untuk mengembalikan kejayaan rempah dengan anggaran yang besar, hal tersebut dapat tersampaikan dan terdistribusi dengan baik sampai di level paling bawah.","post_title":"Cerita Cengkeh Dari Kabupaten Luwu, Sulawesi Selatan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"cerita-cengkeh-dari-kabupaten-luwu-sulawesi-selatan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-07 15:35:19","post_modified_gmt":"2017-09-07 08:35:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=3956","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":3937,"post_author":"845","post_date":"2017-09-05 16:01:09","post_date_gmt":"2017-09-05 09:01:09","post_content":"
\"Namun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.\"<\/strong><\/em><\/h4>\r\n
\r\n\r\n[dropcap]N[\/dropcap]urbaya (40), bukanlah sosok yang istimewa. Ia seperti halnya lelaki dan perempuan lain di Desa Samaenre, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Perempuan ini sehari-hari bekerja sebagai buruh tani, dipekerjakan oleh tetangga sekitarnya yang memiliki sawah atau kebun. Memanen padi atau membersihkan kebun, adalah kerja sehari-hari yang dia lakukan.\r\n\r\nDua pekerjaan tersebut memiliki sistem pengupahan yang berbeda atas kerja buruh tani. Ketika dia memanen padi, dia tak diupah dalam bentuk uang, tapi diupah dengan pembagian hasil dari padi yang dia panen. Sebaliknya ketika ia bekerja untuk membersihkan kebun, dia diupah Rp50.000\/hari oleh sang pemilik kebun. Kebun cengkeh yang biasa dibersihkannya.\r\n\r\nDua pekerjaan tersebut memang bukan pekerjaan yang rutin dilakukannya setiap hari, biasanya panggilan pekerjaan itu datang menjelang musim panen tiba. Saat panen cengkeh tiba, Nurbaya akan dipanggil oleh tetangganya yang memiliki kebun untuk bekerja memetik cengkeh. \u201cSemua orang di Samaenre yang memiliki kebun pasti punya pohon cengkeh, dan pada saat panen raya tiba akan selalu kekurangan tenaga untuk memetik cengkeh,\u201d ujarnya pada kesempatan berbincang dengannya.\r\n\r\nPekerjaan itu telah dilakukannya selama lima tahun lebih. Pekerjaan yang harus dilakukan untuk menyambung hidup setelah suaminya tiada. Sebelumnya Nurbaya sempat mencoba menjadi buruh migran di Malaysia, namun hanya dijalani selama delapan bulan saja. Dia tak tega melihat ibunya harus merawat anaknya yang masih kecil seorang diri.\r\n\r\nSelama bekerja di Malaysia yang relatif singkat, sedikit uang yang dia bawa ke Samaenre sekadar cukup untuk memperbaiki rumahnya. Mimpinya untuk bisa membeli tanah untuk berkebun tak tercapai karena tak cukup uang yang dia miliki.\r\n\r\nKembali pada ceritanya ketika bekerja sebagai pemetik cengkeh, biasanya dia bekerja mulai pukul tujuh pagi hingga pukul satu siang. Pekerjaan tersebut dilakukan oleh laki-laki dan perempuan di sana, alat-alat untuk memetik biasanya juga disediakan oleh pemilik kebun.\r\n\r\nMungkin relatif tak besar penghasilan yang dia dapatkan dari memetik cengkeh, mengingat dia hanya mampu memanjat pohon cengkeh hingga ketinggian 15 meter saja, dengan rata-rata menghasilkan 20 liter cengkeh. Untuk setiap liter cengkeh yang berhasil dia petik, Nurbaya mendapatkan uang Rp5.000.\r\n\r\nNamun demikian, kerja keras dari perempuan ini mampu memberikan kehidupan bagi keluarganya. Uang yang didapatkannya sebagai buruh tani mampu memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari, bahkan juga cukup untuk menyekolahkan anak perempuannya yang masih berusia 7 tahun.\r\n\r\nNurbaya bukan perempuan satu-satunya yang bekerja memetik cengkeh, hampir 80% penduduk desa Samaenre memang bekerja sebagai pemetik cengkeh. Kekurangan tenaga pemetik cengkeh biasanya didatangkan pekerja dari daerah Bulukumba.\r\n\r\nWalau bukan satu-satunya perempuan buruh tani di Samaenre, namun sosok perempuan satu ini terbilang cukup tangguh. Bukan hanya semata karena harus melakukan pekerjaan yang cukup berat dengan memanjat pohon cengkeh pada ketinggian tertentu, namun juga sosoknya yang menjadi tulang punggung bagi kehidupan keluarganya.","post_title":"Kisah Perempuan Pemetik Cengkeh","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"open","ping_status":"open","post_password":"","post_name":"kisah-perempuan-pemetik-cengkeh","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2017-09-07 01:52:31","post_modified_gmt":"2017-09-06 18:52:31","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=3937","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};