REVIEW

Benda Antik dan Kronik Sejarah

Jam dinding kayu adalah merchandise Bal Tiga menempati posisi tertinggi yang diburu para kolektor. Jam dinding kayu ini konon dibagikan kepada para konsumennya kisaran tahun 1920-an, sebuah masa keemasan perusahaan kretek Nitisemito.

[dropcap]B[/dropcap]agi komunitas pemburu benda antik, tentu tak asing dengan barang-barang bertulisan “Tjap Bal Tiga M. Nitisemito”. Bahkan, notabene salah satu benda antik yang layak diburu dan dikoleksi. Baik itu berupa benda pecah belah berbahan porselin seperti piring, gelas, tempat gula, set cakir teh atau kopi, nampan, atau bahkan jam dinding kayu. Selain unik, antik dan langka, tentu juga usia barang-barang ini hampir menginjak satu abad lebih. Sebuah alasan tersendiri mengapa banyak dicari-cari orang.

Sementara bicara harga pasaran, benda-benda antik Nitisemito yang dulu sengaja dibuat sebagai merchandise perusahaan itu, tak mengenal standar harga. Ini lazim terjadi dalam dunia perdagangan barang antik. Seperti bisnis lukisan atau karya seni lainnya, ini wilayah ‘super-profit’, Bro! Nilai intrinsik tak lagi ditentukan dan diukur seberapa besar biaya produksinya beserta kegunaannya, melainkan mengerucut pada aspek kelangkaan, keunikan, keutuhan atau orisinalitasnya, dan tak terkecuali, narasi beserta nilai prestisiusnya secara sosial.

Jam dinding kayu adalah merchandise Bal Tiga menempati posisi tertinggi yang diburu para kolektor. Jam dinding kayu ini konon dibagikan kepada para konsumennya kisaran tahun 1920-an, sebuah masa keemasan perusahaan kretek Nitisemito. Laiknya sebuah promosi, merchandise ini tentu tak diberikan gratisan. Untuk mendapatkannya, syaratnya ialah menukarkan sejumlah tertentu bungkus kretek Tjap Bal Tiga. Konon jumlahnya mencapai ribuan bungkus.

Yang menarik ialah, jam tanpa merek itu, menurut salah satu sumber yang berhasil kami lacak, sesungguhnya bermesin buatan Jerman keluaran pabrik Mauthe diproduksi kisaran tahun 1905 – 1910. Artinya jam dinding kayu ini dulu sengaja diimpor dari Jerman oleh Nitisemito, kemudian dilabeli logo perusahaan Tjap Bal Tiga sebagai ajang promosi. Sebuah terobosan seni promosi dan marketing tersendiri pada zamannya.

Bisnis kretek Nitisemito dimulai antara tahun 1903-1905. Konon, awalnya Nitisemito pernah memberi merek: Rokok Tjap Kodok Mangan Ulo. Sumber lain menyebutkan, pernah dinamai dengan merek Soempil, kemudian berubah lagi menjadi merek Djeroek. Tapi, karena dirasa tetap tak membawa hoki, akhirnya digantinya dengan gambar Bulatan Tiga serta dicantumkan namanya M. Nitisemito. Karena logo mereknya adalah gambar bulatan mirip bola, maka sering disebut khalayak sebagai “Bal Tiga”. Akhirnya julukan inilah menjadi merek resminya.

Ini terjadi bertepatan dengan tahun berdirinya organisasi Budi Utomo (1908), di mana perusahaan itu resmi mendaftarkan diri dengan nama merek: Tjap Bal Tiga M. Nitisemito. Awalnya masih usaha rumahan. Menginjak tahun 1914, Nitisemito memperbesar usahanya menjadi skala pabrikan. Nama perusahaannya ialah Kretek Cigaretten Fabriek M. Nitisemito Koedoes. Sepuluh tahun kemudian, dia membangun pabrik besar dengan luas lahan 6 hektar. Sejarah mencatat, konon pada tahun 1938 perusahaan ini sanggup menampung 10.000 buruh dan memproduksi 10 juta batang rokok per hari.

Bisa jadi dialah Rockefeller-nya Tanah Jawa kala itu. Tak salah sekiranya Belanda menjuluki Nitisemito,  “Kretek Koning van Koedoes (Belanda: Raja Kretek dari Kudus).

Tokoh ini memang luar biasa. Meskipun Nitisemito adalah buta huruf, namun ia memiliki ide-ide cemerlang terkait seni promosi dan marketing penjualan. Selain mempekerjaan seorang akuntan asing, orang Belanda, dia sengaja memberikan hadiah atau bonus bagi para pelanggannya. Selain itu, Nitisemito juga membuat pentas keliling ke berbagai daerah dengan tak lupa selalu menyisipkan pesan-pesan sponsor produknya. Bahkan, ia tercatat sebagai satu-satunya pemilik perusahaan kretek yang menyewa pesawat terbang Fokker untuk menyebarkan pamflet promosinya ke Bandung dan Jakarta.

Sayangnya konflik keluarga menerpa perusahaan itu. Tak terkecuali kisah pengkhianatan pegawainya yang mencuri resep ramuan, mendirikan pabrik sendiri, dan sukses jadi pesaingnya. Alhasil, perusahaan Tjap Bal Tiga tertatih-tatih melintas dan mengarungi berbagai zaman. Menjelang akhir zaman pendudukan Belanda, perusahaan ini pernah hampir bangkrut terbelit kasus tunggakan pajak karena uang kas kosong dikorupsi anak mantunya sendiri. Memasuki zaman Jepang, lebih celaka, banyak asset perusahaan dirampas oleh pemerintah kolonial Jepang; memasuki zaman kemerdekaan produksinya sudah sering on-off, dan tahun 1962-an tercatat benar-benar berhenti berproduksi dan praktis tinggal nama.

Sisa-sisa kejayaan Raja Kretek dari Kudus itu kini tinggal tercermin pada barang-barang merchandise keluaran Tjap Bal Tiga M. Nitisemito, yang kini dimaknai sebagai benda-benda antik. Ya, benda-benda antik Tjap Bal Tiga M. Nitisemito diburu banyak kolektor karena naga-naganya dulu sengaja diproduksi dengan taste yang eksklusif, bukan sekadar merchandise abal-abal.

Apa yang membuat benda-benda merchandise keluaran Nitisemito menjadi bernilai tinggi, selain karena pada zaman itu merupakan produk berkualitas, tentu juga karena narasi sejarahnya. Benda antik itu mengingatkan kita pada bisnis pribumi yang dikelola secara modern sehingga berhasil moncer dan tumbuh besar.

Selain itu, dan yang lebih penting, benda antik itu juga bukti bahwa spirit enterpreuneurship sesungguhnya dimiliki pribumi Hindia Belanda, meski sepanjang kolonialisme Belanda berkuasa terus dan terus secara hegemonik mendera dengan stigma ” inlander bermental pemalas”.

Tinggalkan Balasan