PERTANIAN

Bukan Soal Rokok, Ini Hanya Soal Memprioritaskan Keuangan

Rokok selalu dikaitkan dengan kemiskinan, penyakit dan segala sesuatu yang kadang-kadang tidak masuk akal. Padahal antirokok salah kaprah menerapkan logika mereka.

Meminjam bahasanya Kiai Anwar Zahid Bojonegoro, dalam menjalani hidup, terkadang manusia sering menggunakan ilmu othak athik mathuk (mengotak-atik atau menyangkutkan sesuatu dengan sesuatu dengan tepat). Antirokok menggunakan ilmu ini untuk meyakinkan publik, bahwa rokok adalah benda buruk yang tiada manfaatnya sama sekali.

Seperti yang beberapa Minggu ini mereka lakukan, logika mengenai harga rokok di Indonesia terlalu murah jika dibandingkan dengan negara lain. Tentu saja, setelah diteliti secara mendalam, isu yang dihembuskan tersebut cuma permukaan air saja, alias hanya melihat nominal tanpa mempertimbangkan aspek yang lain yaitu, pendapatan dan daya beli masyarakat.

Ternyata setelah diteliti oleh banyak pihak, rokok di Indonesia lebih mahal ketimbang negara-negara lainnya, khususnya negara Asia. Ironisnya lagi, kemarin penulis melihat postingan infografis akun instagram  Luar Ruang yang ingin mengatakan bahwa merokok adalah aktivitas yang menghambat anak gunung membeli barang-barang gunung.

Dalam gambar itu dikatakan, jika anak gunung berhenti merokok selama 3 hari maka dapat membeli Consina Waistbag, 1 Minggu dapat membeli sandal eiger, 1 bulan dapat membeli Petzi Headlamp, 2 bulan dapat membeli tenda gunung, seterusnya hingga setahun dapat membeli tiket pesawat untuk pendakian Himalaya.

Boyah! Tentu saja jika dicermati secara sederhana, rentetan kalimat yang menjadi gambar tersebut terlihat luar biasa. Tapi, mari kita tengok fakta yang terjadi di lapangan. Saya sendiri adalah anak gunung karbitan, anak gunung yang kadang-kadang mendaki untuk memproduksi foto-foto kece demi mengisi akun instagram yang followernya masih kalah dengan Bowo, agak mengernyitkan dahi membaca infografis tersebut.

Begini, saya punya banyak teman pendaki, dan kesemuanya rata-rata merokok. Anehnya, dengan keistiqomahan merokok, mereka malah produktif membeli alat-alat gunung. Ya sepatu, ya jaket gunung, ya tas segede gaban, sampai alat masak di gunung, dan lucunya mereka yang tidak merokok kemudian ada agenda mendaki dari komunitas maupun kantornya, mereka malah meminjam alat-alat gunung dari teman-teman saya yang merokok.

Artinya, jika menggunakan logika teman-teman Luar Ruang tersebut, seharunya mereka yang tidak merokok mampu dong untuk membeli segala sesuatu yang mereka inginkan. Ternyata apa yang terjadi? Nggethebus.

Di sinilah diperlukan pikiran yang jernih dalam memandang segala sesuatu. Persoalan membeli sesuatu tidak berdasar dia merokok atau tidak. Ini tergantung prioritas individu dan bagaimana mengelola keuangan dengan baik. Kalaupun harus berhenti merokok, dan tidak memiki perencanaan keuangan yang baik, ya sama saja bohong.

Banyak orang merokok yang lebih bisa melakukan sesuatu ketimbang orang-orang yang tidak merokok, tentu saja dengan sehat dan riang gembira. Banyak perokok yang bisa berhaji dan memiliki keistimewaan berbagi dengan lainnya. Memiliki hidup yang tenteram, meski kadang orang-orang yang tidak merokok dan tidak pernah bersentuhan langsung dengan mereka, mereka akan bilang “Coba kalau berhenti merokok, pasti mereka lebih bahagia”.

Ya, karena persoalannya, mereka tidak pernah turun ke bawah dan merasakan frekuensi dengan para perokok, akhirnya mereka menggunakan tolok ukur yang ada di kepala mereka sendiri.

Seharusnya, Anda yang tidak merokok, bisa lebih baik ketimbang kami yang merokok. Jika kami peduli terhadap tetangga sebelah, Anda harus lebih peduli. Jika kami bahagia dengan rokok dan kesederhanaan, seharusnya Anda bahagia dengan tanpa rokok dan tabungan yang melimpah. Jika kami sehat dan dapat ke sawah setiap hari, seharunya Anda lebih produktif ketimbang kami-kami ini. Jika kami dapat mendaki gunung ke gunung untuk mendalami arti hidup, Anda seharusnya lebih dari itu: tidak mendaki hanya untuk gaya-gayaan dan sebagainya.