\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n
\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n
\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Tapi ya sudahlah, konser musik memang menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan sesuatu. Walau sejatinya malam tadi saya sedih bukan karena memori percintaan yang terungkit kembali akibat lagu Didi Kempot, melainkan tokoh pendiri Ngayogjazz yang juga seniman hebat Indonesia sala Yogyakarta, Djaduk Ferianto telah berpulang tepat tiga hari sebelum acara masterpiece yang ia bangun itu digelar. Malam itu, bulan mengintip genit di balik awan, dan ribuan doa dipanjatkan untuk Djaduk Ferianto, tanpanya mungkin kami semua tak akan bisa berkumpul di sini, menikmati acara sekeren ini.<\/p>\n","post_title":"Smokers Traveller: Bermalam Minggu di Ngayogjazz 2019","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smokers-traveller-bermalam-minggu-di-ngayogjazz-2019","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-19 10:56:34","post_modified_gmt":"2019-11-19 03:56:34","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6239","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6223,"post_author":"919","post_date":"2019-11-12 08:48:46","post_date_gmt":"2019-11-12 01:48:46","post_content":"\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Seteleh menikmati Nona Ria, kami kemudian menuju panggung utama, tempat di mana Lord of The Broken Heart alias Didi Kempot akan tampil. Sesuai dugaan saya, pasti akan ramai pengunjung dan betul saja massa mulai tersendat-sendat berbaris di jalan menuju panggung utama. Agaknya memang setahun belakangan ini kondisi ini selalu mewarnai ketika Didi Kempot manggung. Entah, kok tiba-tiba semua jadi ingin patah hati, menumpahkannya di depan panggung, dan mengingat-ingat kembali seseorang yang tak pernah mereka bisa jaga atau dapatkan.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ya sudahlah, konser musik memang menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan sesuatu. Walau sejatinya malam tadi saya sedih bukan karena memori percintaan yang terungkit kembali akibat lagu Didi Kempot, melainkan tokoh pendiri Ngayogjazz yang juga seniman hebat Indonesia sala Yogyakarta, Djaduk Ferianto telah berpulang tepat tiga hari sebelum acara masterpiece yang ia bangun itu digelar. Malam itu, bulan mengintip genit di balik awan, dan ribuan doa dipanjatkan untuk Djaduk Ferianto, tanpanya mungkin kami semua tak akan bisa berkumpul di sini, menikmati acara sekeren ini.<\/p>\n","post_title":"Smokers Traveller: Bermalam Minggu di Ngayogjazz 2019","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smokers-traveller-bermalam-minggu-di-ngayogjazz-2019","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-19 10:56:34","post_modified_gmt":"2019-11-19 03:56:34","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6239","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6223,"post_author":"919","post_date":"2019-11-12 08:48:46","post_date_gmt":"2019-11-12 01:48:46","post_content":"\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Nona Ria membuat malam itu sungguh menjadi sangat manis. Jujur, saya juga baru kali menyaksikan band dengan personil tiga perempuan ini secara langsung. Saya juga baru mengenal satu lagu mereka yaitu \u2018Tiga Nona Bersuka Ria\u2019. Lagu ini dibawakan di awal penampilan mereka, saya kira setelahnya saya akan bosan dengan lagu-lagu yang tak saya ketahui, tapi prasangka saya salah. Selesai lagu itu, saya makin menikmati lagu mereka yang memiliki nada yang manis serta lirik yang mudah untuk diingat, kukira warga lokal juga sangat menikmati Nona Ria.<\/p>\n\n\n\n

Seteleh menikmati Nona Ria, kami kemudian menuju panggung utama, tempat di mana Lord of The Broken Heart alias Didi Kempot akan tampil. Sesuai dugaan saya, pasti akan ramai pengunjung dan betul saja massa mulai tersendat-sendat berbaris di jalan menuju panggung utama. Agaknya memang setahun belakangan ini kondisi ini selalu mewarnai ketika Didi Kempot manggung. Entah, kok tiba-tiba semua jadi ingin patah hati, menumpahkannya di depan panggung, dan mengingat-ingat kembali seseorang yang tak pernah mereka bisa jaga atau dapatkan.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ya sudahlah, konser musik memang menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan sesuatu. Walau sejatinya malam tadi saya sedih bukan karena memori percintaan yang terungkit kembali akibat lagu Didi Kempot, melainkan tokoh pendiri Ngayogjazz yang juga seniman hebat Indonesia sala Yogyakarta, Djaduk Ferianto telah berpulang tepat tiga hari sebelum acara masterpiece yang ia bangun itu digelar. Malam itu, bulan mengintip genit di balik awan, dan ribuan doa dipanjatkan untuk Djaduk Ferianto, tanpanya mungkin kami semua tak akan bisa berkumpul di sini, menikmati acara sekeren ini.<\/p>\n","post_title":"Smokers Traveller: Bermalam Minggu di Ngayogjazz 2019","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smokers-traveller-bermalam-minggu-di-ngayogjazz-2019","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-19 10:56:34","post_modified_gmt":"2019-11-19 03:56:34","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6239","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6223,"post_author":"919","post_date":"2019-11-12 08:48:46","post_date_gmt":"2019-11-12 01:48:46","post_content":"\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Padahal, penampil-penampil yang ada membawakan lagu-lagu jazz baik lokal atau internasional yang mungkin para warga tidak mengenalinya. Tapi ini bukan masalah itu, saya percaya bahwa musik adalah bahasa universal yang golongan masyarakat mana pun pasti bisa menikmatinya. Toh buktinya malam itu semuanya berjalan lancar, tak sedikit pengunjung yang menikmatinya dengan duduk bersila bersama warga di selasar rumah. Banyak juga yang kemudian memilih untuk duduk di tengah sawah beralaskan potongan padi kering bekas panen sambil menatap bulan, semua sangat harmoni malam itu.<\/p>\n\n\n\n

Nona Ria membuat malam itu sungguh menjadi sangat manis. Jujur, saya juga baru kali menyaksikan band dengan personil tiga perempuan ini secara langsung. Saya juga baru mengenal satu lagu mereka yaitu \u2018Tiga Nona Bersuka Ria\u2019. Lagu ini dibawakan di awal penampilan mereka, saya kira setelahnya saya akan bosan dengan lagu-lagu yang tak saya ketahui, tapi prasangka saya salah. Selesai lagu itu, saya makin menikmati lagu mereka yang memiliki nada yang manis serta lirik yang mudah untuk diingat, kukira warga lokal juga sangat menikmati Nona Ria.<\/p>\n\n\n\n

Seteleh menikmati Nona Ria, kami kemudian menuju panggung utama, tempat di mana Lord of The Broken Heart alias Didi Kempot akan tampil. Sesuai dugaan saya, pasti akan ramai pengunjung dan betul saja massa mulai tersendat-sendat berbaris di jalan menuju panggung utama. Agaknya memang setahun belakangan ini kondisi ini selalu mewarnai ketika Didi Kempot manggung. Entah, kok tiba-tiba semua jadi ingin patah hati, menumpahkannya di depan panggung, dan mengingat-ingat kembali seseorang yang tak pernah mereka bisa jaga atau dapatkan.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ya sudahlah, konser musik memang menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan sesuatu. Walau sejatinya malam tadi saya sedih bukan karena memori percintaan yang terungkit kembali akibat lagu Didi Kempot, melainkan tokoh pendiri Ngayogjazz yang juga seniman hebat Indonesia sala Yogyakarta, Djaduk Ferianto telah berpulang tepat tiga hari sebelum acara masterpiece yang ia bangun itu digelar. Malam itu, bulan mengintip genit di balik awan, dan ribuan doa dipanjatkan untuk Djaduk Ferianto, tanpanya mungkin kami semua tak akan bisa berkumpul di sini, menikmati acara sekeren ini.<\/p>\n","post_title":"Smokers Traveller: Bermalam Minggu di Ngayogjazz 2019","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smokers-traveller-bermalam-minggu-di-ngayogjazz-2019","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-19 10:56:34","post_modified_gmt":"2019-11-19 03:56:34","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6239","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6223,"post_author":"919","post_date":"2019-11-12 08:48:46","post_date_gmt":"2019-11-12 01:48:46","post_content":"\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Setelah melewati jalan sempit tak beraspal dengan pemandangan sawah yang gelap tanpa penerangan di sana-sini. Kami akhirnya tiba juga di tempat acara yang terletak di Padukuhan Kwagon, Desa Sidorejo Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya memiliki impresi tersendiri ketika pertama kali sampai di venue. Tidak seperti acara jazz lainnya, Ngayogjazz memang lebih mirip seperti pasar rakyat di tengah-tengah perkampungan warga. Banyak warga yang menjajakan jualan khas pasar malam, ibu-ibu berkerudung dan bapak-bapak bersarung berseliweran, unik memang.<\/p>\n\n\n\n

Padahal, penampil-penampil yang ada membawakan lagu-lagu jazz baik lokal atau internasional yang mungkin para warga tidak mengenalinya. Tapi ini bukan masalah itu, saya percaya bahwa musik adalah bahasa universal yang golongan masyarakat mana pun pasti bisa menikmatinya. Toh buktinya malam itu semuanya berjalan lancar, tak sedikit pengunjung yang menikmatinya dengan duduk bersila bersama warga di selasar rumah. Banyak juga yang kemudian memilih untuk duduk di tengah sawah beralaskan potongan padi kering bekas panen sambil menatap bulan, semua sangat harmoni malam itu.<\/p>\n\n\n\n

Nona Ria membuat malam itu sungguh menjadi sangat manis. Jujur, saya juga baru kali menyaksikan band dengan personil tiga perempuan ini secara langsung. Saya juga baru mengenal satu lagu mereka yaitu \u2018Tiga Nona Bersuka Ria\u2019. Lagu ini dibawakan di awal penampilan mereka, saya kira setelahnya saya akan bosan dengan lagu-lagu yang tak saya ketahui, tapi prasangka saya salah. Selesai lagu itu, saya makin menikmati lagu mereka yang memiliki nada yang manis serta lirik yang mudah untuk diingat, kukira warga lokal juga sangat menikmati Nona Ria.<\/p>\n\n\n\n

Seteleh menikmati Nona Ria, kami kemudian menuju panggung utama, tempat di mana Lord of The Broken Heart alias Didi Kempot akan tampil. Sesuai dugaan saya, pasti akan ramai pengunjung dan betul saja massa mulai tersendat-sendat berbaris di jalan menuju panggung utama. Agaknya memang setahun belakangan ini kondisi ini selalu mewarnai ketika Didi Kempot manggung. Entah, kok tiba-tiba semua jadi ingin patah hati, menumpahkannya di depan panggung, dan mengingat-ingat kembali seseorang yang tak pernah mereka bisa jaga atau dapatkan.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ya sudahlah, konser musik memang menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan sesuatu. Walau sejatinya malam tadi saya sedih bukan karena memori percintaan yang terungkit kembali akibat lagu Didi Kempot, melainkan tokoh pendiri Ngayogjazz yang juga seniman hebat Indonesia sala Yogyakarta, Djaduk Ferianto telah berpulang tepat tiga hari sebelum acara masterpiece yang ia bangun itu digelar. Malam itu, bulan mengintip genit di balik awan, dan ribuan doa dipanjatkan untuk Djaduk Ferianto, tanpanya mungkin kami semua tak akan bisa berkumpul di sini, menikmati acara sekeren ini.<\/p>\n","post_title":"Smokers Traveller: Bermalam Minggu di Ngayogjazz 2019","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smokers-traveller-bermalam-minggu-di-ngayogjazz-2019","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-19 10:56:34","post_modified_gmt":"2019-11-19 03:56:34","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6239","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6223,"post_author":"919","post_date":"2019-11-12 08:48:46","post_date_gmt":"2019-11-12 01:48:46","post_content":"\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Ada sedikit kisah lucu dalam perjalanan menuju venue Ngayogjazz 2019. Karena kami tak tahu persis di mana lokasinya, kami mengandalkan google maps yang justru membawa kami ke desa lain. Sedikit informasi, Ngayogjazz memang dikonsepkan dibikin di tengah-tengah kawasan pedesaan. Mungkin, konsep ini dibuat agar pengunjung juga bisa merasakan kehangatan dari warga desa dan ramahnya penduduk asli Yogyakarta.<\/p>\n\n\n\n

Setelah melewati jalan sempit tak beraspal dengan pemandangan sawah yang gelap tanpa penerangan di sana-sini. Kami akhirnya tiba juga di tempat acara yang terletak di Padukuhan Kwagon, Desa Sidorejo Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya memiliki impresi tersendiri ketika pertama kali sampai di venue. Tidak seperti acara jazz lainnya, Ngayogjazz memang lebih mirip seperti pasar rakyat di tengah-tengah perkampungan warga. Banyak warga yang menjajakan jualan khas pasar malam, ibu-ibu berkerudung dan bapak-bapak bersarung berseliweran, unik memang.<\/p>\n\n\n\n

Padahal, penampil-penampil yang ada membawakan lagu-lagu jazz baik lokal atau internasional yang mungkin para warga tidak mengenalinya. Tapi ini bukan masalah itu, saya percaya bahwa musik adalah bahasa universal yang golongan masyarakat mana pun pasti bisa menikmatinya. Toh buktinya malam itu semuanya berjalan lancar, tak sedikit pengunjung yang menikmatinya dengan duduk bersila bersama warga di selasar rumah. Banyak juga yang kemudian memilih untuk duduk di tengah sawah beralaskan potongan padi kering bekas panen sambil menatap bulan, semua sangat harmoni malam itu.<\/p>\n\n\n\n

Nona Ria membuat malam itu sungguh menjadi sangat manis. Jujur, saya juga baru kali menyaksikan band dengan personil tiga perempuan ini secara langsung. Saya juga baru mengenal satu lagu mereka yaitu \u2018Tiga Nona Bersuka Ria\u2019. Lagu ini dibawakan di awal penampilan mereka, saya kira setelahnya saya akan bosan dengan lagu-lagu yang tak saya ketahui, tapi prasangka saya salah. Selesai lagu itu, saya makin menikmati lagu mereka yang memiliki nada yang manis serta lirik yang mudah untuk diingat, kukira warga lokal juga sangat menikmati Nona Ria.<\/p>\n\n\n\n

Seteleh menikmati Nona Ria, kami kemudian menuju panggung utama, tempat di mana Lord of The Broken Heart alias Didi Kempot akan tampil. Sesuai dugaan saya, pasti akan ramai pengunjung dan betul saja massa mulai tersendat-sendat berbaris di jalan menuju panggung utama. Agaknya memang setahun belakangan ini kondisi ini selalu mewarnai ketika Didi Kempot manggung. Entah, kok tiba-tiba semua jadi ingin patah hati, menumpahkannya di depan panggung, dan mengingat-ingat kembali seseorang yang tak pernah mereka bisa jaga atau dapatkan.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ya sudahlah, konser musik memang menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan sesuatu. Walau sejatinya malam tadi saya sedih bukan karena memori percintaan yang terungkit kembali akibat lagu Didi Kempot, melainkan tokoh pendiri Ngayogjazz yang juga seniman hebat Indonesia sala Yogyakarta, Djaduk Ferianto telah berpulang tepat tiga hari sebelum acara masterpiece yang ia bangun itu digelar. Malam itu, bulan mengintip genit di balik awan, dan ribuan doa dipanjatkan untuk Djaduk Ferianto, tanpanya mungkin kami semua tak akan bisa berkumpul di sini, menikmati acara sekeren ini.<\/p>\n","post_title":"Smokers Traveller: Bermalam Minggu di Ngayogjazz 2019","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smokers-traveller-bermalam-minggu-di-ngayogjazz-2019","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-19 10:56:34","post_modified_gmt":"2019-11-19 03:56:34","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6239","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6223,"post_author":"919","post_date":"2019-11-12 08:48:46","post_date_gmt":"2019-11-12 01:48:46","post_content":"\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Sebenarnya saya juga tak tahu rupanya ngayogjazz diselenggarakan, Sabtu (16\/11) kemarin. Berkat informasi dari teman, saya akhirnya ikut mereka pergi untuk menikmati acara keren tersebut. Kami bersama-sama pun berangkat bersama, meski sebenarnya sudah agak malam. Tapi untunglah beberapa penampil top masih bisa kami saksikan. Sebut saja nama-nama seperti, Nona Ria dan Didi Kempot. Meski pun ada penampil top lainnya yang terlewatkan yaitu, Tompi, Tohpati, Dewa Budjana dan yang lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Ada sedikit kisah lucu dalam perjalanan menuju venue Ngayogjazz 2019. Karena kami tak tahu persis di mana lokasinya, kami mengandalkan google maps yang justru membawa kami ke desa lain. Sedikit informasi, Ngayogjazz memang dikonsepkan dibikin di tengah-tengah kawasan pedesaan. Mungkin, konsep ini dibuat agar pengunjung juga bisa merasakan kehangatan dari warga desa dan ramahnya penduduk asli Yogyakarta.<\/p>\n\n\n\n

Setelah melewati jalan sempit tak beraspal dengan pemandangan sawah yang gelap tanpa penerangan di sana-sini. Kami akhirnya tiba juga di tempat acara yang terletak di Padukuhan Kwagon, Desa Sidorejo Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya memiliki impresi tersendiri ketika pertama kali sampai di venue. Tidak seperti acara jazz lainnya, Ngayogjazz memang lebih mirip seperti pasar rakyat di tengah-tengah perkampungan warga. Banyak warga yang menjajakan jualan khas pasar malam, ibu-ibu berkerudung dan bapak-bapak bersarung berseliweran, unik memang.<\/p>\n\n\n\n

Padahal, penampil-penampil yang ada membawakan lagu-lagu jazz baik lokal atau internasional yang mungkin para warga tidak mengenalinya. Tapi ini bukan masalah itu, saya percaya bahwa musik adalah bahasa universal yang golongan masyarakat mana pun pasti bisa menikmatinya. Toh buktinya malam itu semuanya berjalan lancar, tak sedikit pengunjung yang menikmatinya dengan duduk bersila bersama warga di selasar rumah. Banyak juga yang kemudian memilih untuk duduk di tengah sawah beralaskan potongan padi kering bekas panen sambil menatap bulan, semua sangat harmoni malam itu.<\/p>\n\n\n\n

Nona Ria membuat malam itu sungguh menjadi sangat manis. Jujur, saya juga baru kali menyaksikan band dengan personil tiga perempuan ini secara langsung. Saya juga baru mengenal satu lagu mereka yaitu \u2018Tiga Nona Bersuka Ria\u2019. Lagu ini dibawakan di awal penampilan mereka, saya kira setelahnya saya akan bosan dengan lagu-lagu yang tak saya ketahui, tapi prasangka saya salah. Selesai lagu itu, saya makin menikmati lagu mereka yang memiliki nada yang manis serta lirik yang mudah untuk diingat, kukira warga lokal juga sangat menikmati Nona Ria.<\/p>\n\n\n\n

Seteleh menikmati Nona Ria, kami kemudian menuju panggung utama, tempat di mana Lord of The Broken Heart alias Didi Kempot akan tampil. Sesuai dugaan saya, pasti akan ramai pengunjung dan betul saja massa mulai tersendat-sendat berbaris di jalan menuju panggung utama. Agaknya memang setahun belakangan ini kondisi ini selalu mewarnai ketika Didi Kempot manggung. Entah, kok tiba-tiba semua jadi ingin patah hati, menumpahkannya di depan panggung, dan mengingat-ingat kembali seseorang yang tak pernah mereka bisa jaga atau dapatkan.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ya sudahlah, konser musik memang menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan sesuatu. Walau sejatinya malam tadi saya sedih bukan karena memori percintaan yang terungkit kembali akibat lagu Didi Kempot, melainkan tokoh pendiri Ngayogjazz yang juga seniman hebat Indonesia sala Yogyakarta, Djaduk Ferianto telah berpulang tepat tiga hari sebelum acara masterpiece yang ia bangun itu digelar. Malam itu, bulan mengintip genit di balik awan, dan ribuan doa dipanjatkan untuk Djaduk Ferianto, tanpanya mungkin kami semua tak akan bisa berkumpul di sini, menikmati acara sekeren ini.<\/p>\n","post_title":"Smokers Traveller: Bermalam Minggu di Ngayogjazz 2019","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smokers-traveller-bermalam-minggu-di-ngayogjazz-2019","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-19 10:56:34","post_modified_gmt":"2019-11-19 03:56:34","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6239","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6223,"post_author":"919","post_date":"2019-11-12 08:48:46","post_date_gmt":"2019-11-12 01:48:46","post_content":"\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

\n

Berbicara tentang salah satu event yang paling ditunggu-tunggu Massyarakat Yogyakarta, Ngayogjazz adalah salah satunya. Acara tahunan ini dikemas dengan menarik, menghadirkan musisi Jazz top di tanah air dan juga diadakan dengan konsep yang menarik. Sudah hampir sebulan saya tinggal di kota ini, beruntungnya saya bisa menyaksikan acara Ngayogjazz, meski sebenarnya acara ini sudah diselenggarakan sejak November 2007 silam.<\/p>\n\n\n\n

Sebenarnya saya juga tak tahu rupanya ngayogjazz diselenggarakan, Sabtu (16\/11) kemarin. Berkat informasi dari teman, saya akhirnya ikut mereka pergi untuk menikmati acara keren tersebut. Kami bersama-sama pun berangkat bersama, meski sebenarnya sudah agak malam. Tapi untunglah beberapa penampil top masih bisa kami saksikan. Sebut saja nama-nama seperti, Nona Ria dan Didi Kempot. Meski pun ada penampil top lainnya yang terlewatkan yaitu, Tompi, Tohpati, Dewa Budjana dan yang lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Ada sedikit kisah lucu dalam perjalanan menuju venue Ngayogjazz 2019. Karena kami tak tahu persis di mana lokasinya, kami mengandalkan google maps yang justru membawa kami ke desa lain. Sedikit informasi, Ngayogjazz memang dikonsepkan dibikin di tengah-tengah kawasan pedesaan. Mungkin, konsep ini dibuat agar pengunjung juga bisa merasakan kehangatan dari warga desa dan ramahnya penduduk asli Yogyakarta.<\/p>\n\n\n\n

Setelah melewati jalan sempit tak beraspal dengan pemandangan sawah yang gelap tanpa penerangan di sana-sini. Kami akhirnya tiba juga di tempat acara yang terletak di Padukuhan Kwagon, Desa Sidorejo Kecamatan Godean, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta. Saya memiliki impresi tersendiri ketika pertama kali sampai di venue. Tidak seperti acara jazz lainnya, Ngayogjazz memang lebih mirip seperti pasar rakyat di tengah-tengah perkampungan warga. Banyak warga yang menjajakan jualan khas pasar malam, ibu-ibu berkerudung dan bapak-bapak bersarung berseliweran, unik memang.<\/p>\n\n\n\n

Padahal, penampil-penampil yang ada membawakan lagu-lagu jazz baik lokal atau internasional yang mungkin para warga tidak mengenalinya. Tapi ini bukan masalah itu, saya percaya bahwa musik adalah bahasa universal yang golongan masyarakat mana pun pasti bisa menikmatinya. Toh buktinya malam itu semuanya berjalan lancar, tak sedikit pengunjung yang menikmatinya dengan duduk bersila bersama warga di selasar rumah. Banyak juga yang kemudian memilih untuk duduk di tengah sawah beralaskan potongan padi kering bekas panen sambil menatap bulan, semua sangat harmoni malam itu.<\/p>\n\n\n\n

Nona Ria membuat malam itu sungguh menjadi sangat manis. Jujur, saya juga baru kali menyaksikan band dengan personil tiga perempuan ini secara langsung. Saya juga baru mengenal satu lagu mereka yaitu \u2018Tiga Nona Bersuka Ria\u2019. Lagu ini dibawakan di awal penampilan mereka, saya kira setelahnya saya akan bosan dengan lagu-lagu yang tak saya ketahui, tapi prasangka saya salah. Selesai lagu itu, saya makin menikmati lagu mereka yang memiliki nada yang manis serta lirik yang mudah untuk diingat, kukira warga lokal juga sangat menikmati Nona Ria.<\/p>\n\n\n\n

Seteleh menikmati Nona Ria, kami kemudian menuju panggung utama, tempat di mana Lord of The Broken Heart alias Didi Kempot akan tampil. Sesuai dugaan saya, pasti akan ramai pengunjung dan betul saja massa mulai tersendat-sendat berbaris di jalan menuju panggung utama. Agaknya memang setahun belakangan ini kondisi ini selalu mewarnai ketika Didi Kempot manggung. Entah, kok tiba-tiba semua jadi ingin patah hati, menumpahkannya di depan panggung, dan mengingat-ingat kembali seseorang yang tak pernah mereka bisa jaga atau dapatkan.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ya sudahlah, konser musik memang menjadi medium yang tepat untuk mengekspresikan sesuatu. Walau sejatinya malam tadi saya sedih bukan karena memori percintaan yang terungkit kembali akibat lagu Didi Kempot, melainkan tokoh pendiri Ngayogjazz yang juga seniman hebat Indonesia sala Yogyakarta, Djaduk Ferianto telah berpulang tepat tiga hari sebelum acara masterpiece yang ia bangun itu digelar. Malam itu, bulan mengintip genit di balik awan, dan ribuan doa dipanjatkan untuk Djaduk Ferianto, tanpanya mungkin kami semua tak akan bisa berkumpul di sini, menikmati acara sekeren ini.<\/p>\n","post_title":"Smokers Traveller: Bermalam Minggu di Ngayogjazz 2019","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smokers-traveller-bermalam-minggu-di-ngayogjazz-2019","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-19 10:56:34","post_modified_gmt":"2019-11-19 03:56:34","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6239","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6223,"post_author":"919","post_date":"2019-11-12 08:48:46","post_date_gmt":"2019-11-12 01:48:46","post_content":"\n

Sebagai seorang pekerja dengan tingkat intensitas tinggi untuk dinas ke luar kota, memilih tempat untuk bekerja sekaligus nongkrong adalah hal menjemukan. Terlebih apabila Anda adalah seseorang yang berasal dari sebuah kota besar contohnya Jakarta dan harus berkunjung ke sebuah daerah. Kadang Anda berpikir tak mempunyai banyak pilihan dan harus mengandalkan rekomendasi dari google<\/em> atau kawan dan masyarakat setempat. Begitu pula dengan apa yang terjadi pada saya saat mengunjungi Kota Kudus beberapa waktu lalu.<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus sejatinya bukanlah kota yang besar seperti tempat di mana saya tinggal yaitu Jakarta, lebih tepatnya Jakarta Selatan. Bicara soal daerah tempat saya tinggal, bisa dikatakan Jakarta Selatan atau Jaksel kini tengah naik daun akibat perbincangan di sosial media.\u00a0Some people say\u00a0<\/em>Jaksel saat ini adalah indikator dan standar anak gaul se-Indonesia,\u00a0huft<\/em>\u00a0seperti berlebihan walau nampaknya\u00a0sih<\/em>\u00a0tidak juga. Akan tetapi Jaksel juga mendapat olok-olokan akibat standar gaulnya yang konon katanya tergolong tinggi,\u00a0maybe<\/em>.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok<\/a><\/p>\n\n\n\n

Sebagai orang yang tinggal di Jaksel sejak 2007 silam, saya rasa pernyataan tentang Jaksel yang dinyatakan orang-orangnya nampaknya terlalu berlebihan. Tapi menurut saya Jaksel adalah tempat di Jakarta yang layak huni, kerja, nongkrong dibandingkan daerah di belahan Jakarta lainnya. Jika dihitung dari seluruh tempat yang pernah saya kunjungi, ada sekitar puluhan yang layak untuk jadi tempat nongkrong, pacaran, bekerja, menyendiri di Jaksel, entah itu kedai kopi atau tempat lainnya.<\/p>\n\n\n\n

Saya cukup paham betul daerah mana yang bisa saya jadikan rujukan untuk beberapa kegiatan yang sudah saya sebutkan di atas. Bahkan masjid sekali pun di Jaksel saat ini bisa digunakan untuk tempat kongkow pasca pulang mendengarkan pengajian, sungguh maha hebat Jaksel. Sekali lagi bukan bermaksud menyombongkan diri, kebiasaan yang saya alami di Jaksel harus sulit disesuaikan ketika harus berkunjung ke luar daerah, salah satunya Kota Kudus yang saya kunjungi. Pertama, Kudus memiliki kota yang kecil, kedua saya punya cukup waktu lama di sana, ketiga solusinya saya harus segera beradaptasi.<\/p>\n\n\n\n

Tapi ternyata proses adaptasi itu tak berlangsung lama. Alhamdulillah saya bisa berkeliling Kota Kudus dan menemukan teman di sana. Kesulitan pertama dan kedua yang saya tuliskan di atas pun ternyata tak berlangsung lama. Karena saya akhirnya saya menemukan tempat-tempat yang mengagumkan di Kudus. Alun-alun Kudus misalnya, saya merasakan kehangatan interaksi masyarakat di sana, dan juga bagaimana tata kota itu dibangun dengan sangat bagus. Alun-alun dibangun dekat dengan pusat perbelanjaan, pemerintahan, dan juga rumah ibadah, tentu di sana dikeliling juga oleh berbagai jajanan kaki lima, sungguh pilihan yang lengkap.<\/p>\n\n\n\n

Bicara soal khazanah kuliner, pengalaman dan literasi saya tentang makanan nusantara kian bertambah saat berkunjung ke Kudus. Teman mengajak saya untuk mencicipi beberapa kudapan khas di kota tempat berdakwahnya Sunan Muria dan Kudus tersebut. Pertama, untuk makan pagi kalian bisa menyantap Lentog, sebuah sajian lokal dengan isian lontong, tahu lodeh, dan nangka muda yang tentunya sudah dimasak. Uniknya, makanan ini disajikan dalam porsi yang kecil. Teman saya agak berat ketika merekomendasikan makanan ini, alasannya sederhana yaitu porsinya yang terlalu sedikit, tapi menurut saya ini porsi yang pas, sangat pas bahkan saya kira.<\/p>\n\n\n\n

Ketika siang tiba dan waktunya makan, teman saya kemudian merekomendasikan untuk menyantap tongseng entog. Kalian tahu apa itu entog, dia adalah unggas sejenis bebek dengan nama latin\u00a0Cairina Moschata<\/em>\u00a0yang sering dijumpai di persawahan. Untuk lebih lengkapnya silakan dicari saja di internet. Karena saya cukup bosan dengan makanan bersantan, saya akhirnya memilih entog goreng, Rupanya mereka menyajikan entog goreng yang sangat empuk dan gurih dalam bentuk potongan. Nasinya bisa diambil sendiri begitu juga dengan sambal gorengnya yang mantap.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Toleransi di Kota Kudus kabarnya memiliki indeks yang baik. Setidaknya toleransi itu sudah dilembagakan dalam bentuk makanan. Saat makan malam tiba, kami menikmati sajian soto dan sate kerbau. Kata teman saya, mengapa warga Kudus memilih kerbau sebagai sajian makanan karena leluhur mereka dulunya menghargai umat Hindu yang tak memakan sapi dan akhirnya kerbau yang dipilih. Fakta atau tidak, bagi saya niatannya cukup baik. Ohya<\/em>, Soto Kerbau rasanya mirip dengan berbagai soto lainnya, namun Sate Kerbau Kudus memiliki keunikan tersendiri. Sate Kerbau dibuat dari daging kerbau yang sudah digiling halus dicampur kelapa dan dibekap pada tusukan bambu. Sekilas mirip cara pembuatan sate lilit khas bali yang berbahan dasar ikan.<\/p>\n\n\n\n

Makan tiga kali sehari sudah, maka waktunya untuk nongkrong. Saya diajak oleh teman untuk pergi ke Blackstone Urban Lounge<\/em>. Disclaimer<\/em>, tulisan ini bukan bentuk promosi berbayar atas tempat tersebut, melainkan hanya review<\/em> salah satu tempat nongkrong yang asyik di Kota Kudus. Kalian bisa searching<\/em> sendiri di Internet di mana tempat ini berada. Ketika berkunjung ke sana, saya rasa ini tempat yang Jaksel banget di Kota Kudus. Lounge<\/em> besar yang nyaman, ruangan merokok juga sangat luas, pelayannya ramah, tempatnya bersih, menunya lengkap dan harganya sangat terjangkau!<\/p>\n\n\n\n

Saya rasa di Jaksel pun saya belum tentu menemukan tempat nongkrong yang enak dan nyaman seluas di Blackstone Urban Lounge<\/em>. Terlebih tempat ini ibarat sebuah komplek bagi anak muda Kota Kudus, ada kedai kopinya, ada pool biliar, lapangan futsal, dan badminton, sangat lengkap bukan?<\/p>\n\n\n\n

Kota Kudus membuka dimensi saya dalam banyak hal. Ternyata Jaksel bukanlah satu-satunya surga nongkrong dan tempat yang anak muda banget di Indonesia. Masih banyak di kota-kota lain yang memiliki keistimewaan serupa. Ah, atau jangan-jangan memang hanya anak-anak Jaksel saja yang selama ini mengglorifikasi tentang kerennya daerah yang mereka huni, mungkin saja. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menemukan \"Jaksel\" di Kota Kudus","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menemukan-jaksel-di-kota-kudus","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-12 08:48:55","post_modified_gmt":"2019-11-12 01:48:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6223","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6090,"post_author":"919","post_date":"2019-09-22 09:34:48","post_date_gmt":"2019-09-22 02:34:48","post_content":"\n

Semarang kini menjadi kota yang tak asing untuk saya kunjungi. Stereotip kuliner tentang daerah yang menjadi ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini pastinya adalah Lumpia. Kudapan berbahan tepung, ayam, dan rebung itu memang masih jadi idolanya turis ketika berkunjung ke Semarang, namun berkat intensitas saya yang semakin tinggi ke sana, akhirnya saya menemukan satu makanan istimewa. Mari saya perkenalkan makanan tersebut bernama Nasi Babat Gongso!<\/p>\n\n\n\n

Nasi Babat gongso boleh saya katakan adalah identitas makanan berat dari Kota Semarang itu sendiri. Saya cukup aneh ketika mendengar namanya, bagaimana mungkin sebuah babat sapi bisa menjadi aktor utama dalam sebuah kuliner. Bagi saya pribadi selama ini Soto Babat adalah sebuah keanehan, karena daging yang merupakan entitas utama dari protein hewani justru harus kalah dengan isi jeroan.<\/p>\n\n\n\n

Jika memang sebelumnya saya memang punya anggapan minor soal babat, maka saya kali ini justru berterima kasih kepada Warga Semarang. Karena mereka sebuah babat yang asing dan tak mungkin saya coba sebelumnya kini justru kebalikannya. Malahan saya kali ini cukup tergila-gila dengan kudapan tersebut, hingga akhirnya saya mempunya misi untuk mencari nasi babat gongso terenak yang ada di Kota Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan<\/a><\/p>\n\n\n\n

Disclaimer\u00a0<\/em>dari tulisan ini adalah saya memang baru dua kali mengunjungi warung yang menjual nasi babat gongso yang katanya terenak di Semarang. Dua tempat tersebut adalah nasi babat gongso Pak Karmin dan Sumarsono. Tentu saya berterima kasih juga kepada\u00a0google<\/em>\u00a0dan\u00a0Foodvloger<\/em>\u00a0kondang, Nex Carlos atas ragam rekomendasi soal gongso enak di Semarang.<\/p>\n\n\n\n

Oke, mari saya memulai bercerita tentang gongso pertama yang saya coba yaitu buatan tangan dari Pak Karmin. Ketika saya tiba di Stasiun Tawang Semarang, awal September ini, saya langsung menggunakan ojek online<\/em> menuju ke sana. Kebingungan pun terjadi karena sang pengendara menanyakan Warung Pak Karmin mana yang saya ingin kunjungi. Praktis karena saya tak paham daerah, saya sarankan dia untuk antarkan saya sesuai dengan peta.<\/p>\n\n\n\n

Singkat cerita akhirnya saya tiba di Warung Pak Karmin yang terletak di Jalan Pemuda, dekat dengan Kota Lama Semarang. Tempat ini cukup ramai dan terletak di tempat yang sangat strategis. Karena ramai orang yang ke sini dan dimasak dengan masih sangat tradisional, butuh waktu sekitar setengah jam lebih pesanan kami tiba di meja. Saya memesan nasi goreng gongso dan gongso polos tanpa nasi. Nasi goreng punya rasa yang kuat dan dimasak menggunakan beras pulen (sepertinya) tidak seperti nasi goreng di beberapa daerah yang menggunakan beras perah.<\/p>\n\n\n\n

Sayangnya, saya agak merasa enek ketika menikmati gongso polos. Sekilas saya merasa seperti nasi jagal yang saya makan di Tangerang beberapa waktu lalu. Entah dari babatnya yang masih terasa amis, atau memang yang lain. Walau demikian bumbu dan minyak gongso yang merendami babat terasa memiliki cita rasa yang kuat dan sedikit menutupi rasa amis. Di sisi lain soal harga, total saya mengeluarkan biaya sebesar 55 ribu rupiah untuk dua makanan yang saya pesan tersebut.<\/p>\n\n\n\n

Gongso kedua yang saya makan adalah milik Pak Sumarsono yang terletak di Jalan Puri Anjasmoro. Di daerah ini Anda tak akan kesulitan untuk menemukan ragam kuliner yang Anda inginkan karena sepanjang jalanan banyak warung-warung kaki lima berjejer. Warung Pak Sumarsono memiliki karakteristik yang berbeda dengan Pak Karmin. Pak Sumarsono memilih untuk menempatkan tempat memasaknya di depan, dan pengunjung bisa makan di bagian dalam dengan beberapa meja dan kursi yang disediakan.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a><\/p>\n\n\n\n

Pengunjung di Pak Sumarsono juga tak kalah dengan Pak Karmin, bahkan banyak juga yang memesannya untuk dibawa pulang. Soal kecepatan penyajian, saya rasa waktunya sebelas dua belas dengan Pak Sumarsono. Bedanya kali ini adalah soal rasa. Jika Pak Karmin memiliki cita rasa yang kuat maka berbeda dengan Pak Sumarsono yang cenderung lembut. Saya memesan menu yang sama dengan yang saya pesan di Pak Karmin, level kepedasannya pun saya pesan sama. Soal nasi goreng saya masih memilih Pak Karmin, karena entah kenapa milik Warung Pak Sumarsono terasa kurang menendang. Sebaliknya untuk rasa gongso polos, saya lebih menyukai milik Pak Sumarsono karena lebih lembut dan babatnya tidak terasa amis. Di sisi lain soal harga pun tak jauh beda dengan yang saya keluarkan ketika berkunjung ke Warung Pak Karmin.<\/p>\n\n\n\n

Kesimpulannya adalah Warung Pak Karmin adalah solusi tepat bagi kalian yang sedang berkunjung ke Kota Tua Semarang, letaknya pun strategis. Soal tempat rasanya di sana juga nikmat sambil melihat pemandangan Kota Tua Semarang dari kejauhan. Sedangkan Warung Pak Sumarsono lebih taste feels like home foods<\/em>, begitu juga dengan etalase meja tua yang tersedia. Keduanya memang bisa dikategorikan sebagai warung gongso legendaris dengan karakter berbeda dari Kota Semarang. Jika Anda memiliki agenda ke Kota Semarang silahkan berkunjung ke kedua warung tersebut!
<\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Perjalanan Mencari Gongso Ternikmat di Kota Semarang","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-perjalanan-mencari-gongso-ternikmat-di-kota-semarang","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-22 09:34:55","post_modified_gmt":"2019-09-22 02:34:55","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6090","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6017,"post_author":"919","post_date":"2019-09-04 07:32:17","post_date_gmt":"2019-09-04 00:32:17","post_content":"\n

Saya langsung mengiyakan untuk membeli tiket konser \u2018Tiba-tiba Sudddenly Pensi Road to Gudfest\u2019<\/em> saat diberitahu teman saya bahwa The Upstairs, The Adams, Goodnight Electric, dan Club Eighties akan manggung di sana. Kebetulan teman saya juga yang membelikan tiket tersebut untuk memastikan saya ikut hadir dan menemaninya datang pada perhelatan musik yang berlangsung di Ballroom Kuningan City, Jakarta, 27 Agustus 2019.
<\/p>\n\n\n\n

Boleh dikata saya termasuk orang yang jarang menikmati pentas musik di beberapa tahun belakangan ini. Selain faktor kesibukan, era digital yang merambah segala lini membuat saya mungkin lebih simpel untuk mendengarkan musik via spotify atau youtube. Tentu ada nilai minusnya yaitu euforia yang kurang saya dapatkan jika tak mendatangi konser musik secara langsung.
<\/p>\n\n\n\n

Karena jarang menikmati konser musik belakangan ini, ada satu peraturan yang cukup menarik perhatian saya yaitu dilarang merokok di dalam venue<\/em>. Pertama saya bisa memaklumi itu mengingat venue indoor<\/em> dan ber-ac. Pertanyaan dalam benak saya lalu tersirat, apa nikmatnya menikmati musik terutama saat konser tanpa menghisap rokok? Tapi bagi saya ini tentu jadi tantangan, karena saya juga bisa memastikan bahwa rokok bukanlah candu dan sebagai perokok juga bisa tertib mengikuti peraturan yang ada.<\/strong>
<\/p>\n\n\n\n

Saya kemudian tiba di tempat acara. Saya lantas membeli beberapa minuman dan asyik merokok serta ngobrol dengan teman saya di luar venue<\/em>. Ketika mendekati jadwal open gate<\/em>, kami berbaris rapih untuk masuk ke dalam. Ada satu hal yang menyita perhatian, ternyata rokok kami pun disita. Jika hanya korek kami bisa memaklumi, namun penyitaan terhadap rokok tentu tak masuk di akal. Akhirnya kami mengakalinya dengan menaruh rokok kami di luar, di tempat yang tak mencolok. Adegan ini jika direka ulang laiaknya seorang yang mencoba untuk menyembunyikan narkotika, padahal rokok sejatinya adalah barang legal.<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo<\/a>
<\/p>\n\n\n\n

Mungkin saya tidak memerhatikan peraturan yang ada apabila ternyata rokok tidak boleh di bawa masuk ke dalam. Namun jika dilarang, baiknya penyelenggara bisa menyediakan tempat penitipan rokok. Bukan apa-apa, mubazir rasanya jika satu bungkus harus dibuang, apalagi perokok yang hadir juga nampaknya mematuhi peraturan dilarang merokok di dalam. Peraturan ini juga nampaknya mesti dikaji ulang karena jika mengacu pada Perda KTR tentu tidak disebutkan.
<\/p>\n\n\n\n

Akhirnya kami pun mengikhlaskan, walau sejatinya harus jua bertindak licik dengan menyembunyikan rokok kami di luar. Bukan apa-apa ini lebih faktor mubazir. Tiba saatnya acara dan Ajis Doa Ibu serta Gilang Gombloh memecahkan suasana dengan dark jokes soal agama hingga lelucon soal Fiersa Besari. Goodnigh Electric kemudian menjadi band pembuka dengan membawakan tembang-tembang lawas seperti Am i Robot, Teenage Love and Broken Heart, The Supermarket I Am In, hingga lagu syahdu mereka yang saya tunggu-tunggu untuk dibawakan yaitu Im OK.\u00a0
<\/p>\n\n\n\n

Lagu ini pernah menjadi soundtrack <\/em>hidup saya kala menyukai seseorang. Semenjak mendengar dan suka dengan Goodnight Electric saat SMA, baru kali ini Im Ok dibawakan. Goodnight Electric juga kemudian menutup aksi panggung mereka dengan budaya yang tak pernah mereka lewatkan yaitu dengan lagu Rocket Ship Goes By dan tak lupa melemparkan pesawat kertas di dekat penghujung lagu.
<\/p>\n\n\n\n

Jika Goodnight Electric adalah pembukaan yang manis, seperti memberi rangsangan mengingat masa-masa SMA penuh dengan jadwal pensi, maka The Upstairs yang manggung selanjutnya adalah yang meledakkan pesta itu sendiri. Performa enerjik Jimi Multhaza sang vokalis masih saja seperti yang saya ihat 11 tahun lalu saat The Upstairs manggung di depan TVRI. Tak mau melewatkan momen, saya kemudian merapat ke tengah kerumunan dan berdansa resah didalamnya. Benturan-benturan moshpit tak terelakkan tapi saya nikmati karena adrenalin seperti ini jarang lagi bisa ditemukan.
<\/p>\n\n\n\n

Sama seperti Goodnight Electric, The Upstairs menutupnya dengan bijak. Romansa penonton yang hadir akan\u00a0 Pensi ala anak SMA di awal 2000an dan hingga sepuluh tahun setelahnya tak mereka kecewakan. Jimi dkk memilih lagu Matraman sebegai tembang penutup, lagu yang menurut Jimi (saat populer) bisa diputar hingga berulang kali dalam satu hari di radio-radio lokal. Lagu yang kemudian menjadi soundtrack skena persahabatan, cinta, dan tawuran anak SMA kala itu.\u00a0<\/p>\n\n\n\n

Baca: Smoker Traveller: Hero Coffe Kota Tua Semarang<\/a><\/p>\n\n\n\n

The Adams sebagai band ketiga yang tampil lalu datang meneduhkan suasana. Betul, penonton langsung terbuai saat itu oleh suara yang beradu-adu antara Saleh Husein dan Ario Hendarwan. Sing along kemudian jadi hal yang wajib dilakukan saat itu, semuanya menikmati karaoke masal dari lagu-lagu yang dibawakan seperti Hanya Kau, Berwisata, Konservatif, hingga Halo Beni. Suasana kala itu semakin manis saat sang pianis The Adams (hingga kini belum saya ketahui namanya) selalu melemparkan senyumnya ke arah penonton. Ah sial, saat itu saya berada di posisi yang sangat jauh darinya, itu saja sudah membuat saya bergetar.
<\/p>\n\n\n\n

Karena saya memarkir motor di luar area Kuningan City dan hanya dijaga sampai pukul 23:30, akhirnya kami pulang lebih cepat. Saat keluar venue saya memastikan tetap sebats dulu, mereview apa yang menarik terjadi di dalam sana. Saya lantas menarik kesimpulan bahwa dari pengalaman selama hampir tiga jam lebih menikmati konser tanpa rokok, tak terjadi apa-apa dari kami. Tak ada kekhawatiran berlebihan, perubahan mood karena tak merokok, atau keburukan lainnya. Semuanya sama saja dan normal-normal saja.
<\/p>\n\n\n\n

Hanya jika boleh memberi saran kepada pihak pengelola, perampasan rokok tentu mesti dipertimbangkan ulang. Sekali lagi rokok adalah produk legal dan mempunyai aturan yang sudah disepakati terkait pengkonsumsiannya. Lagian, saya kira para perokok sekarang juga sudah mulai tertib terhadap aturan dan tidak ingin merugikan terhadap yang lainnya.<\/p>\n","post_title":"Pengalaman Tiga Jam Lebih Menyaksikan Konser Musik Tanpa Asap Rokok","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"pengalaman-tiga-jam-lebih-menyaksikan-konser-musik-tanpa-asap-rokok","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-09-04 07:32:19","post_modified_gmt":"2019-09-04 00:32:19","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6017","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5834,"post_author":"919","post_date":"2019-06-30 10:37:17","post_date_gmt":"2019-06-30 03:37:17","post_content":"\n

Syahdan, daerah Medan nan elok dengan pemandangan indahnya merupakan tanah subur yang dielu-elukan umat manusia. Tak hanya rempah-rempah dan kopi yang merupakan primadona di sana, namun tanaman tembakau juga adalah mutiara yang pernah menjadi komoditi yang dielu-elukan masyarakat dunia.<\/p>\n\n\n\n

Sebutlah Tembakau Deli<\/a>, tanaman dan komoditi yang memberikan historis panjang tentang kemasyhuran Tanah Sumatera. Jika Tembakau Deli dikatakan sebagai salah satu warisan budaya maka pendapat tersebut bukan merupakan sesuatu yang berlebihan. Dari Tembakau Deli, sejarah interaksi nusantara dengan suku bangsa lain pun ada. Tembakau Deli pula lah yang menjadi salah satu pemicu kebangkitan ekonomi Sumatera Utara.<\/p>\n\n\n\n

Jika menengok kepada logo klub sepak bola asal Sumatera Utara yang musim lalu berlaga di Liga 1, PSMS Medan maka terpampang kehebatan dari Tembakau Deli. Saking terkenalnya tembakau Deli dan juga begitu melekatnya tembakau Deli bagi masyarakat Deli, bahkan juga masyarakat Sumatra Utara, tembakau kemudian dijadikan simbol-simbol publik.<\/p>\n\n\n\n

Bukan hanya PSMS Medan yang menggambarkan keagungan Tembakau Deli. Lepas dari kesebelasan berjuluk Ayam Kinantan tersebut, Mari sejenak berkunjung ke Masjid Raya Al-Ma\u2019shun atau yang lebih popular disebut dengan Masjid Raya Medan. Terletak di Jl. Sisingamangaraja No.61, sekilas tak ada aroma tembakau atau ornamen tanaman tersebut di dalamnya. Namun pembangunan rumah ibadah kebanggan umat muslim di Sumatera Utara itu ternyata berkaitan dengan Tembakau Deli.<\/p>\n\n\n\n

Menurut catatan sejarah, Masjid Raya ini dibangun tahun 1906 dan baru selesai tahun 1909. Seluruh biaya pembangunannya ditanggung oleh Sultan Maimun al Rasyid Perkasa Alamsyah, hasil dari penjualan tembakau. Konon, biaya sebesar satu juta gulden digelontorkan untuk membangun masjid yang menjadi pintu masuk ajaran agama Islam di Sumatera Utara itu.<\/p>\n\n\n\n

Arsitektur pembangunan Masjid Raya Medan awalnya diserahkan oleh orang Belanda bernama, Van Erp yang kebetulan juga menjadi otak di balik keindahan Istana Maimun Medan. Namun kemudian prosesnya dikerjakan oleh JA Tingdeman. Van Erp ketika itu dipanggil ke pulau Jawa oleh pemerintah Hindia Belanda untuk bergabung dalam proses restorasi candi Borobudur di Jawa Tengah<\/p>\n\n\n\n

JA Tingdeman, sang arsitek merancang masjid ini dengan denah simetris segi delapan dalam corak bangunan campuran Maroko, Eropa, Melayu dan Timur Tengah. Denah yang persegi delapan ini menghasilkan ruang bagian dalam yang unik tidak seperti masjid-masjid kebanyakan. Empat penjuru masjid masing-masing diberi beranda dengan atap tinggi berkubah warna hitam, melengkapi kubah utama di atap bangunan utama masjid. Masing-masing beranda dilengkapi dengan pintu utama dan tangga hubung antara pelataran dengan lantai utama masjid yang ditinggikan, kecuali bangunan beranda di sisi mihrab.<\/p>\n\n\n\n

Bangunan masjidnya terbagi menjadi ruang utama, tempat wudhu, gerbang masuk dan menara. Ruang utama, tempat sholat, berbentuk segi delapan tidak sama sisi. Pada sisi berhadapan lebih kecil, terdapat \u2018beranda\u2019 serambi kecil yang menempel dan menjorok keluar. Jendela-jendela yang mengelilingi pintu beranda terbuat dari kayu dengan kaca-kaca patri yang sangat berharga, sisa peninggalan Art Nouveau<\/em> periode 1890-1914, yang dipadu dengan kesenian Islam.<\/p>\n\n\n\n

Seluruh ornamentasi di dalam masjid baik di dinding, plafon, tiang-tiang, dan permukaan lengkungan yang kaya dengan hiasan bunga dan tumbuh-tumbuhan. di depan masing-masing beranda terdapat tangga. Kemudian, segi delapan tadi, pada bagian luarnya tampil dengan empat gang pada keempat sisinya, yang mengelilingi ruang sholat utama.<\/p>\n\n\n\n

Gang-gang ini punya deretan jendela-jendela tidak berdaun yang berbentuk lengkungan-lengkungan yang berdiri di atas balok. Baik beranda maupun jendela-jendela lengkung itu mengingatkan desain bangunan kerajaan-kerajaan Islam di Spanyol pada Abad Pertengahan. Sedangkan kubah masjid mengikuti model Turki, dengan bentuk yang patah-patah bersegi delapan.<\/p>\n\n\n\n

Kubah utama dikelilingi empat kubah lain di atas masing-masing beranda, dengan ukuran yang lebih kecil. Bentuk kubahnya mengingatkan kita pada Masjid Raya Banda Aceh. Di bagian dalam masjid, terdapat delapan pilar utama berdiameter 0,60 m yang menjulang tinggi untuk menyangga kubah utama pada bagian tengah. Adapun mihrab terbuat dari marmer dengan atap kubah runcing. Gerbang masjid ini berbentuk bujur sangkar beratap datar. Sedangkan menara masjid berhias paduan antara Mesir, Iran dan Arab.<\/p>\n\n\n\n

Hingga kini bangunan tersebut masih tampak gagah berdiri dan masih aktif untuk digunakan. Keindahan ornamennya juga membuatnya menjadi salah satu dari berbagai Masjid indah yang ada di tanah air. Jika tengah berkunjung ke Sumatera Utara, Masjid Raya Medan boleh menjadi salah satu destinasi wisata religi anda.<\/p>\n","post_title":"Smokers Travellers: Jejak Keemasan Tembakau Deli di Masjid Raya Al-Ma\u2019shun Medan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"jejak-keemasan-tembakau-deli-di-masjid-raya-al-mashun-medan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-30 10:37:28","post_modified_gmt":"2019-06-30 03:37:28","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5834","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":5806,"post_author":"919","post_date":"2019-06-23 08:33:39","post_date_gmt":"2019-06-23 01:33:39","post_content":"\n

Bandar undara Internasional Nyi Ageng Serang Kulon Progo dibangun di atas lahan seluas 637 hektar. Bandara ini memiliki landasan pacu sepanjang 3600 meter merski kini di tahap awal baru disediakan sekitar 3250 meter saja. Akses yang tinggi untuk masuk dan keluar dari Yogyakarta menggunakan jalur transportas udara menjadi salah satu alasan mengapa bandara ini dibangun. Pasalnya, bandara lainnya yang saat ini masih beroperasi yaitu Adi Sucipto sudah tak mampu lagi menerima 6 juta penumpang tiap tahunnya karena kapasitasnya yang hanya 1.2 juta penumpang saja.<\/p>\n\n\n\n

Pada Mei 2019 lalu bandara internasional Nyi Ageng Serang atau yang disingkat dengan NYIA resmi dioperasikan. Kode penerbangan YIA pun disematkan di bandara ini. Bandara yang diproyeksikan bakal bisa menampung 28 pesawat ini hingga saat ini sejatinya baru menerima dua maskapai penerbangan saja yaitu Batik Air dan Citilink dengan sekitar sepuluh maskapai saja per harinya. <\/p>\n\n\n\n

Kebetulan karena faktor pekerjaan di luar daerah membuat saya akhirnya bisa menikmati fasilitas bandara baru ini. Ketika saya mencari tiket balik ke Jakarta menggunakan pesawat dari Yogyakarta, masih banyak pilihan untuk naik dari Bandara Adi Sucipto. Jika alasannya efisiensi waktu mungkin saya akan mengambilnya, namun karena kesibukan saya yang belum terlalu padat akhirnya saya iseng untuk mencoba menggunakan pesawat Citilink dan naik dari Bandara NYIA.<\/p>\n\n\n\n

Salah satu yang masih menjadi kekhawatiran banyak orang terhadap Bandara NYIA adalah akses menuju ke sana. Jika dihitung menggunakan google maps, dari Kota Yogyakarta menuju ke bandara tersebut bisa memakan waktu sekitar satu jam, itu pun jika tak macet. Akses ke sana pun bisa menggunakan kendaraan umum mulai dari Bus Damri, travel, hingga fasilitas ojek online. Saya pagi itu ketika memulai start dari Ngaglik, Sleman memilih untuk menggunakan travel yang berangkat dari Hotel Grand Keisha di kawasan Condongcatur.<\/p>\n\n\n\n

Ketika mobil travel memasuki kawasan bandara, nampak masih ada pembangunan di sana-sini. Pohon-pohon baru ditanam untuk memperindang halamana, taman-taman juga terlihat baru ditata, serta masih ada beberapa bangunan yang dalam tahap pengerjaan, intinya bandara ini masih benar-benar belum jadi sepenuhnya. Saya diturunkan di pintu satu karena baru bangunan itu yang sudah jadi. Tak tampak banyak tennant di sana, tak begitu ramai, akan tetapi masih ada beberapa orang yang beraktivitas.<\/p>\n\n\n\n

Satu hal yang positif dari bandara ini adalah ketersediaan papan penunjuk informasi yang lengkap sehingga memudahkan para penumpang. Bagi para penumpang yang baru pertama kali menaiki pesawat mungkin tak akan kesulitan untuk check-in hingga masuk di ruang tunggu. Hal positif lainnya adalah ketersediaan ruangan merokok yang memang sudah dilindungi dalam peraturan. Ketika baru tiba yang saya cari adalah ruangan merokok, para petugas menyarankan saya untuk masuk dan check-in terlebih dahulu lalu menikmati fasilitas itu yang ada di dekat ruang tunggu.<\/p>\n\n\n\n

Setelah segala prosedurnya sudah saya lakukan, saya kemudian naik ke lantai dua bandara dan mencari di mana ruangan merokok itu berada. Baru saja naik papan semidigital besar bertuliskan arah letak ruangan merokok sudah berada di depan saya, ini satu nilai plus lainnya. Letak ruangan merokok di ruang tunggu Bandara Nyia terletak di pojok dekat dan dengan pemandangan yang mengarah langsung ke luar meski ditutupi oleh kaca. Ketika saya masuk ke sana, hanya ada satu orang yang menggunakan fasilitas itu.<\/p>\n\n\n\n

\"\"
tampak muka ruangan merokok di bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Ruangannya cukup lega meski hanya bisa digunakan maksimal sekitar sepuluh orang saja. Di dalamnya ada lima tempat sampah dengan asbak diatasnya dan juga tiga bangku kayu memanjang yang ditaruh membentuk pola letter L. Sembari menikmati beberapa batang rokok di dalam saya mengamati tiap aspek di ruangan tersebut. Hexos di ruangan itu bekerja baik mungkin karena tergolong baru, cahaya matahari pun bisa masuk ke dalam meski terpantul melewati kaca. Hal ini juga baik karena ruangan merokok tak boleh ada di tempat yang gelap dan pengap. <\/p>\n\n\n\n

\"\"
suasana di dalam ruangan merokok bandara nyia<\/figcaption><\/figure>\n\n\n\n

Saya pribadi cukup nyaman dengan fasilitas ruangan merokok yang bersih ini namun jika boleh memberi masukan, pihak pengelola yaitu PT Angkasa Pura I  bisa sedikit memperluas area ruangan merokok itu atau ditempatkan di tempat yang lebih terbuka. Tak ada salahnya untuk mencontoh Bandara Soekarno-Hatta yang menurut saya sudah bagus dalam menyediakan ruangan merokok. Ruangan merokok di sana tersebar di berbagai ruangan tunggu dan menyatu dengan taman. Posisinya pun dibuat terbuka dan dengan fasilitas kafetaria yang ada ditengahnya, sambil merokok, kami para perokok pun bisa memesan minuman sambil menunggu pesawat yang terkadang kerap tertunda penerbangannya.<\/p>\n\n\n\n

Namun jika boleh membandingkan fasilitas ruangan merokok dengan Bandara Halim Perdanakusuma, tentu masih lebih baik Bandara NYIA. Saya mengkritik fasilitas ruangan merokok di Bandara Halim Perdanakusuma yang sempit, namun masih bisa memakluminya  karena keterbartasan wilayah. Begitu juga dengan Bandara NYIA yang penilaian saya mesti perlu ada pembenahan tak hanya di ruangan merokok namun berbagai fasilitas lainnya.Asyik berada di ruangan merokok sambil membaca berita-berita baru, announcer <\/em>di bandara mengumumkan bahwa saya sudah bisa menaiki pesawat yang akan mengantarkan saya ke Jakarta. Mungkin setahun lagi bandara ini akan benar-benar rampung proses pembangunannya. Jika ada kesempatan saya akan mampir lagi kemari dan berharap fasilitas di sana sudah betul-betul disediakan secara layak dan nyaman untuk para penumpang. <\/p>\n","post_title":"Smoker Travellers: Menengok Fasilitas Ruangan Merokok di Bandara Kulon Progo","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"smoker-travellers-menengok-fasilitas-ruangan-merokok-di-bandara-kulon-progo","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-06-23 09:41:32","post_modified_gmt":"2019-06-23 02:41:32","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=5806","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};

Paling Populer

Paling Populer