EKSPEDISI CENGKEH

Cengkeh Maluku: Antara Anugerah dan Petaka

“Cengkeh yang menjadi kekayaan Maluku, di sisi lain juga telah menjadi petaka bagi masyarakat Maluku. Penguasa berganti penguasa selalu mengincar cengkeh, dan menjadikan rakyat Maluku menjadi korban.”

[dropcap]F[/dropcap]aktor sejarah sangat mempengaruhi keberlangsungan perkebunan cengkeh di Maluku. Tanaman cengkeh di Maluku merupakan warisan dari leluhur. Cengkeh yang menjadi kekayaan Maluku, di sisi lain juga telah menjadi petaka bagi masyarakat Maluku. Penguasa berganti penguasa selalu mengincar cengkeh, dan menjadikan rakyat Maluku menjadi korban.

“Semasa penjajahan, cengkeh asli Maluku hampir punah,” begitu kisah yang diceritakan secara turun-menurun, terang Toni Tabeary, petani Negeri Hunitetu, Inamosol, Seram Bagian Barat.

Keinginan penjajah memonopoli perdagangan cengkeh sangat kuat, hingga melakukan pembakaran besar-besaran lahan cengkeh milik rakyat. Alkisah ada seorang raja yang menanam cengkeh di pedalaman hutan di daerah Seram, sehingga luput dari pemusnahan. Kemudian tanaman cengkeh inilah diyakini masyarakat Seram sebagai tanaman asli, dan menjadi cikal bakal tanaman yang dibudidayakan masyarakat Maluku hingga saat ini.

Di Kabupaten Maluku Tengah, dan di Kabupaten Seram bagian Barat masih banyak pohon cengkeh yang sudah berumur ratus tahun, dan masih produktif. Petani di Maluku, menamai cengkeh tersebut dengan sebutan “Tuni”.

Monopoli dan penguasaan cengkeh yang pernah terjadi di masa lalu, sempat terulang kembali pascakemerdekaan. Tepatnya pada masa Orde Baru berkuasa. Pada tahun 1992 petani cengkeh di Nusantara mendapat guncangan ketika pemerintah memperlakukan kebijakan baru perihal cengkeh, dengan membentuk Badan Penyangga dan Pemasaran Cengkeh (BPPC).

Badan ini bertugas menyalurkan cengkeh dari petani ke industri. Keberadaan BPPC ini sangat mempengaruhi kehidupan masyarakat di Maluku yang menggantungkan hidupnya dari cengkeh. Contoh kasus di Negeri Haruku, masyarakat tidak bisa menyekolahkan anaknya, bahkan ada yang sudah bersekolah terpaksa berhenti karena faktor biaya.

Dengan harga cengkeh per kilogram hanya Rp2.000 – jauh dari pagu yang ditetapkan pemerintah sebesar Rp6.000 per kg – petani sangat dirugikan, dan untuk kesekian kalinya menjadi korban. Harga tersebut tentu tidak sebanding dengan biaya operasional yang dikeluarkan untuk panen cengkeh, biaya transportasi, dan kebutuhan lain selama proses panen. Petani pun memutuskan tidak melakukan aktivitas pemetikan cengkeh.

Di masa BPPC, rata-rata petani di Maluku memilih membiarkan tanaman cengkehnya tak terurus, namun mereka juga ingin menggantikan cengkeh dengan tanaman lain yang memiliki nilai ekonomi lebih baik. Bagi masyarakat Maluku, tanaman cengkeh adalah bagian dari jati diri mereka, mempunyai rentetan sejarah yang amat panjang, sebagai tanaman warisan para leluhur, dan merupakan tanaman yang memberikan berbagai manfaat untuk mereka.

Cengkeh segera menjadi perhatian lagi setelah BPPC dibubarkan pascareformasi, hingga terjadi kenaikan harga cengkeh. Ketika itu Alm. Abdurrahman Wahid menjabat sebagai Presiden, ia berani pasang badan untuk menjamin kebebasan petani menjual cengkeh dan membatasi impor.

Harga cengkeh kering naik hingga Rp70.000 per kg. Kenaikan harga dan kebebasan menjual hasil cengkeh masih dirasakan petani Maluku sampai sekarang dengan harga Rp105.000 per kg.

Keberlangsungan tanaman cengkeh di Maluku juga semakin kuat setelah ditetapkan sebagai lokasi pengembangan kawasan pertanian nasional komoditas prioritas perkebunan cengkeh melalui Keputusan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 830/kpts/Rc.040/12/2016 Tentang Lokasi Pengembangan Pertanian Nasional. Keputusan tersebut mendorong pemerintah daerah untuk membuat kebijakan berbasis kawasan.

Cengkeh Hari Ini
Pola budidaya petani cengkeh di Maluku hingga saat ini bisa dikatakan masih tradisional, tidak ada perlakuan khusus seperti pemupukan, atau perawatan lainnya. Pengetahuan tentang budidaya, warisan dari nenek moyangnya. Cengkeh ditanam dan dibiarkan hidup sendiri dengan alam, hanya sesekali dibersihkan.

Hal inilah yang memungkinkan cengkeh jenis tuni bertahan hidup hingga sekarang. Dengan tanpa dipupuk (pestisida), dan daun yang gugur dibiarkan saja di tanah menjadikan lahan perkebunan petani Maluku tetap subur.

Cengkeh yang banyak diserap oleh industri kretek, ternyata juga memiliki ragam manfaat lainnya bagi keseharian kehidupan masyarakat. Clifford Kissya, petani Negeri Haruku menceritakan bahwa cengkeh juga digunakan sebagai media pengobatan. “Salah satunya untuk memulihkan organ tubuh bagi wanita setelah melahirkan,” tuturnya.

Cengkeh dan pala diletakan dalam tempat yang terbuat dari tanah, kemudian dibakar dan digunakan untuk mengasapi pinggang belakang. Tradisi ini masih berlangsung sampai sekarang yang diyakini masyarakat jika tidak dilakukan pengasapan akan mengalami gangguan organ tubuh yang biasa masyarakat menyebutnya kancing.

Nilai-nilai cengkeh yang tak selalu tentang ekonomi, benar-benar telah menjadi anugerah kehidupan bagi masyarakat Maluku. Pasca-BBPC hingga hari ini, cengkeh belum lagi mendapatkan tantangan berupa monopoli dan penguasaan yang tak adil bagi petani. Harapannya tentu BPPC adalah kelembagaan terakhir yang menggeogoti kehidupan petani cengkeh.

Tinggalkan Balasan