logo boleh merokok putih 2

Cengkeh Pernah Menjadi Media Dakwah Para Kiai Jawa Tengah

Sembari membagikan bibit cengkeh, K.H. Hasan Mangli berkata, “iki wineh emas”, “ini bibit emas”. Bibit emas yang dimaksud adalah bibit tanaman yang lebih menghasilkan nilai ekonomi dari pada tanaman lainnya.

[dropcap]T[/dropcap]anaman cengkeh lazim ditemukan hampir diseluruh wilayah Nusantara, dan banyak yang mengatakan cengkeh sebagai tanaman asli Nusantara. Menurut Roem Topatimasang, tanaman cengkeh yang terkenal dan mendunia berasal dari empat pulau di Maluku, yaitu Ternate, Tidore, Moti, dan Makian.

Cengkeh dari empat pulau gunung Maluku mempunyai sejarah yang sangat panjang mewarnai Nusantara. Hingga Roem Topatimasang mengatakan jika saja tak ada cengkeh di Maluku, mungkin sejarah kepulauan Nusantara akan berbeda.

Lain halnya dengan di Maluku, di Jawa Tengah tanaman cengkeh punya cerita tersendiri. Selain mempunyai nilai ekonomi, tanaman cengkeh juga sebagai media dakwah, dan sebagai media mendekatkan diri pada Tuhan, seperti yang telah dilakukan oleh K.H. Hasan Mangli.

Diceritakan oleh Kiai Nur Siddiq asal desa Sinanggul, Kabupaten Jepara, dahulu sekitar pada tahun 1970-an, di Jepara terdapat banyak majelis ta’lim (tempat mengaji) yang dilaksanakn tiap satu bulan sekali dan didatangi K.H. Hasan Mangli dari Kabupaten Magelang.

K.H. Hasan Mangli adalah salah satu ulama kharismatik di Jawa Tengah. Bahkan sebagian masyarakat Jawa Tengah menganggap sebagai wali (kekasih Tuhan), dengan perbedaan-perbedaan yang dimilikinya, tidak seperti manusia biasa. Cerita yang beredar di tengah-tengah masyarakat, K.H. Hasan Mangli bisa mendatangi beberapa tempat pengajian yang berbeda dalam waktu yang bersamaan.

K.H. Hasan Mangli satu generasi dengan K.H. Sya’roni Ahmadi Kudus, bahkan ceritanya pernah satu kelas pada saat sekolah di Kudus. Ada yang mengatakan K.H. Hasan Mangli lahir di Kediri Jawa Timur, namun banyak yang mengatakan asli kelahiran Jepara, dan setelah menikah bertempat tinggal di daerah Mangli, Magelang, hingga terkenal dengan sebutan “Hasan Mangli”. Sampai akhir hayatnya, beliau terkadang bertempat tinggal di daerah Kudus Kulon (500 meter arah utara menara Kudus).

Lanjut cerita, Kiai Nur Siddiq, bahwa K.H. Hasan Mangli setiap kali datang dalam pengajian selalu membawa bibit cengkeh dan dibagikan ke jamaah pengajian (orang yang mengikuti pengajian). Bibit cengkeh yang dibawa tidaklah banyak, berkisar 10-20 biji, sehingga penerima bibit (jama’ah) bergantian. Sembari membagikan bibit cengkeh, K.H. Hasan Mangli berkata, “iki wineh emas”, “ini bibit emas”. Bibit emas yang dimaksud adalah bibit tanaman yang lebih menghasilkan nilai ekonomi dari pada tanaman lainnya, jelas Kiai Nur Siddiq.

Di lain waktu, saat Kiai Nur Siddiq mendatangi K.H. Hasan Mangli di kediamannya di Kudus. Menceritakan tentang alasan membagikan bibit cengkeh, adalah agar jamaahnya sejahtera. Jika jamaahnya sejahtera, masyarakat yang belum ikut mengaji, akan tertarik untuk ikut mengaji.

Harga cengeh kering saat itu mencapai Rp16.000 per kg. Nilai yang sangat tinggi dibandingkan dengan tanaman lainnya seperti padi yang hanya dihargai Rp3.000-5.000 per kg, atau ketela yang hanya dihargai Rp300-600 per kg. Cengkeh kemudian menjadi tanaman primadona bagi masyarakat Jepara pada waktu itu.

Kiai Nur Siddiq juga membenarkan bahwa tiap pengajian, jamaah yang datang selalu bertambah. Selain ingin mendengarkan pengajian K.H. Hasan Mangli yang terkenal dengan sebutan kekasih Tuhan, juga rata-rata menginginkan barakoh (bertambahnya kebaikan dan keberuntungan) dengan mendapatkan bibit cengkeh yang dibagikan.

Pembagian bibit cengkeh oleh K.H. Hasan Mangli tidak hanya di Jepara, di kota lainnya pun begitu, seperti Pati, Temanggung, Wonosobo, Salatiga, Kudus dan kota lainnya.

Lanjut tutur Kiai Nur Siddiq, bahwa K.H.Abdullah Salam asal Kajen, Kabupaten Pati pernah bercerita pada tahun 1970-an hampir semua kiai daerah Jawa tengah berdagang tembakau, cengkeh, dan produksi rokok kretek. Di mana cengkeh merupakan salah bahan baku utama untuk membuat kretek.

K.H. Abdullah Salam menceritakan ada seorang Mursyid Thoriqoh (seorang maha guru aliran Thoriqoh) asal Magelang yang jamaahnya menyebar di daerah Pantura, berpendapat bahwa dengan merokok kretek bisa sebagai media mendekatkan diri kepada Tuhan. Orang merokok kretek hatinya menjadi tenang dan konsentrasi untuk selalu mengingat Tuhan.

Tutur Kiai Nur Siddiq lagi, pada tahun 1990-an kejayaan cengkeh di Jepara mulai meredup, dan usaha para kiai pedagang cengkeh mulai hancur karena harga cengkeh turun draktis sampai pada harga Rp1.500 per kg. Harga yang tidak sebanding dengan tenaga dan biaya perawatan yang dikeluarkan setiap hari. Pada akhirnya masyarakat Jepara membiarkan tanaman cengkeh, dan tidak sedikit yang ditebang.

Turunnya harga cengkeh di Jepara, disinyalir sangat dipengaruhi adanya kebijakan penguasa saat itu. Di mana pada tahun 1990-an pemerintah Orde Baru memberlakukan kebijakan dalam rangka memonopoli perdagangan cengkeh dalam negeri, melalui Badan Penyanggah dan Pemasaran Cengkeh (BPPC), yang kemudian sangat merugikan petani cengkeh. Harga cengkeh kering dan berkualitas hanya dihargai Rp2.000-3.000 per kg.

Cengkeh adalah endemik asli dan hampir merata tumbuh di bumi nusantara yang seharusnya diperhatikan oleh pemerintah. Tiap wilayah tanaman cengkeh mempunyai latar dan sejarah berbeda. Namun mempunyai kesamaan dari sisi nilai ekonomi dan kesejahteraan, khususnya bagi masyarakat petani cengkeh, dan masyarakat Indonesia pada umumnya.

Cengkeh menjadi bahan pokok yang amat penting untuk membedakan rokok dan kretek. Berdasar hasil cerita di atas, cengkeh dapat menjadi media yang sangat efektif untuk hubungan antar manusia dan hubungan manusia dengan sang pencipta.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Udin Badruddin

Udin Badruddin

Seorang santri dari Kudus. Saat ini aktif di Komite Nasional Penyelamatan Kretek (KNPK).