CUKAI

Cukai Rokok Sumbang 153 Triliun Rupiah pada 2018, Sudahkah Pemerintah Bersikap Adil?

Cukai rokok kembali menjadi salah satu penyumbang terbesar bagi pendapatan negara. Tercatat sepanjang 2018 sumbangan cukai rokok mencapai Rp 153 triliun dari total realisasi penerimaan Bea Cukai yang mencapai Rp 205,5 triliun.

Direktur Jenderal Bea Cukai Heru Pambudi mengungkapan, penerimaan terbesar Bea Cukai 2018 disumbang oleh penerimaan cukai rokok.

“Cukai itu capai Rp159,7 triliun terdiri dari cukai rokok Rp 153 triliun, minuman (beralkohol) Rp 6,4 triliun dan etil alkohol Rp 0,1 triliun dan cukai lainnya Rp 0,1 triliun,” ujarnya di Kantor Kementerian Keuangan, Jakarta, Rabu (2/1/2019).

Pemerintah sendiri di Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2018 menargetkan penerimaan negara dari cukai rokok sebesar Rp 150 triliun. Artinya cukai rokok berhasil memenuhi target yang dipatok oleh pemerintah.

Padahal sepanjang tahun 2018 kondisi industri rokok sedang tidak bagus-bagus amat. Bahkan terbebani dengan banyak faktor, seperti kebijakan kenaikan cukai yang eksesif di awal tahun, kampanye negatif antirokok, hingga pembatasan-pembatasan iklan dan konsumsi rokok di daerah-daerah melalui Peraturan Daerah Kawasan Tanpa Rokok (Perda KTR).

Berdasarkan data yang dihimpun oleh Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Industri Hasil Tembakau terus mengalami penurunan volume produksi dengan rerata penurunan hingga 2%. Penurunan produksi rokok pada 2018 diprediksi sebesar 9,8 miliar batang atau menjadi 321,9 miliar batang.

Di hulu petani tembakau dan cengkih ,meskipun cukai rokok terus dinaikan, persoalan Dana Bagi Hasil Cukai Tembakau (DBHCHT) masih belum dinikmati dengan baik oleh para petani. Serapan tembakau dan cengkih pun kian berkurang seiring dengan banyaknya pabrikan rokok yang tumbang akibat tidak kuat membayar cukai.

Sejak 2006 jumlah unit usaha IHT di Indonesia sebanyak 4.669 hingga delapan tahun kemudian menurun drastis hanya tinggal 754 unit di tahun 2014. Setahun kemudian, jumlahnya berkurang kembali menjadi 600 unit. Industri yang gulung tikar adalah industri kecil menengah (produsen rumahan, pabrikan kecil).

Banyaknya pabrik rokok yang gulung tikar tentunya berimbas kepada PHK masal para pekerja pabrik rokok. Dan kita sama-sama tahu bahwa industri rokok adalah industri yang padat karya, sebanyak jutaan orang bergantung di dalamnya pada industri ini.

Jika hal ini terus-menerus terjadi, sektor ketenagakerjaan akan terpukul akibat dari jutaan orang yang kehilangan pekerjaan di sektor Industri Hasil Tembakau.

Di hilir ada pedagang dan konsumen rokok juga turut terbebani akibat kondisi ini. Ditambah, di banyak daerah terdapat Perda KTR yang menjadi momok menakutkan dan alat diskriminasi Industri Hasil Tembakau.

Perda KTR melarang iklan, promosi dan penjualan rokok yang sebenarnya bertentangan dengan hukum perundang-undangan di atasnya. Hal tersebut kemudian membuat gaduh para pelaku usaha di sektor Industri Hasil Tembakau.

Ketidakadilan ini juga terjadi pada konsumen. Konsumen rokok atau perokok kini haknya dibatasi secara berlebihan. Akses ruang merokoknya dibatasi, bahkan ruang merokoknya ditiadakan. Selain itu perokok juga dibayang-bayangi dengan penerapan sanksi tidak masuk akal yang dicetuskan pemerintah daerah dalam Perda KTR.

Melihat fakta kondisi Industri Hasil Tembakau di atas, kini pertanyaannya adalah: Industri hasil tembakau melalui cukai rokoknya memberikan manfaat yang besar bagi perekonomian negara, tapi kenapa justru selalu ditekan oleh pemerintah? Kalau seperti ini lebih baik tutup saja Industri Hasil Tembakau di Indonesia. Biarkan pemerintah dan kelompok anti-antian ke depannya memikirkan bagimana mencari ratusan triliun setiap tahunnya bagi kas negara.