rokok
CUKAI

Di Balik Kasus Somasi Rohayani dan Arti Merokok Sebagai Pilihan

Di Balik Kasus Somasi Rohayani dan Arti Merokok Sebagai Pilihan

“Setiap perokok memiliki kemerdekaan untuk menghentikan kebiasaan merokok, juga mengganti jenis dan merek dagang rokok yang dikonsumsi. Dengan begitu, hubungan antara perokok dan produsen hanyalah hubungan dagang biasa. Tidak ada unsur paksaan,”. (Suhardi Suryadi, Pengamat Sosial)

Pascakasus somasi Rohayani terhadap dua perusahaan rokok nasional, Gudang Garam dan Djarum, berbagai komentar publik yang menanggapi somasi tersebut bermunculan. Ada yang menanggapi dari sudut pandang hukum, sosial, maupun ekonomi-politik. Dari berbagai komentar tersebut, terlihat publik mengkritisi kasus somasi Rohayani.

Salah satu point yang menjadi sorotan komentar publik adalah persoalan konsumsi rokok adalah pilihan, dan pilihan mengonsumsi rokok tidak pernah menjadi sebuah paksaan. Apalagi rokok menjadi sebuah produk yang disertai dengan peringatan-peringatan resiko mengonsumsinya.

Dari point tersebut, kita dapat menilai bahwa kasus somasi Rohayani adalah sebuah kejanggalan. Karena perokok mengonsumsi rokok dengan penuh kesadaran, membelinya karena kemauan yang datang dari dirinya, dan ia sudah tahu resiko atas apa yang dikonsumsinya, maka kasus somasi Rohayani lemah secara hukum.
Ahmad Suyono, dosen Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Jember, mengatakan kasus Rohayani harus mampu mengajukan bukti-bukti materil. Menurut Suyono, kasus somasi Rohayani bersifat sangat subyektif, sehingga sulit dibenarkan secara hukum ketika di pengadilan.

Senada dengan Ahmad Suyono, pengajar hukum perdata Universitas Sebelas Maret, Anjar Sri Ciptorukmi Nugraheni juga mengatakan bahwa hal yang paling krusial dalam kasus somasi tersebut adalah pembuktian bahwa memang perusahaan yang salah atas pilihan konsumsi rokok Rohayani yang sudah terjadi bertahun-tahun lamanya.
Tentu saja pembuktian ini menjadi tidak masuk akal. Pertama, rokok adalah barang legal yang diperjual belikan, dan oleh pemerintah sudah diperintah kepada perusahaan rokok untuk memberikan peringatan resiko dalam mengonsumsinya. Kedua, konsumen tidak pernah dipaksa untuk mengonsumsi rokok, sebagaimana yang tertera pada Undang-Undang mengenai Perlindungan Konsumen.

Klausul “Konsumen bebas menentukan pilihan konsumsinya” dalam Undang-Undang Perlindungan Konsumen menjadi kontradiktif dengan tuntutan meminta ganti rugi kepada perusahaan atas apa yang dikonsumsinya. Dikarenakan, keputusan sepenuhnya ada di tangan konsumen sendiri. Dan kalau melihat fakta yang terjadi, banyak juga perokok yang memutuskan untuk berhenti atau tidak merokok lagi.

Publik akhirnya bertanya-tanya, ada apa sebenarnya dibalik kasus somasi Rohayani?

Kalau kita tinjau ulang lebih dalam lagi, kasus somasi Rohayani tidak benar-benar murni membela hak konsumen, seperti yang selama ini digaungkan pada kasus tersebut. Selain argumentasi yang mengkritisi logika konsumen dan hukum, mungkin ada yang luput dari pengamatan publik, yaitu “Siapa sih Rohayani ini?”.

Rohayani tak pernah ditampilkan dalam kasus somasi ini, hanya namanya saja yang muncul ke permukaan. Ia disebut-sebut sebagai seorang ibu berusia 51 tahun, kalau mau kita hitung berdasar tahun 2018, Rohayani seorang perempuan kelahiran 1967.

Seorang perempuan kelahiran 1967 menyebut dirinya sudah merokok sejak 1975, artinya perempuan ini merokok sejak umur 8 tahun. Loh, bukannya produk rokok itu sudah diberikan peringatan batas umur untuk dikonsumsi umur 18 tahun ke atas? Lalu mengapa Rohayani mengindahkan peringatan tersebut?

Oke, fokus lagi kepada pokok persoalan. Jadi kasus somasi ini adalah replika dari kejadian yang pernah terjadi di Amerika Serikat. Kasusnya sama persis, pada tahun 2014, pengadilan AS memenangkan gugatan seorang warga terhadap RJ Reynolds, dan perusahaan itu harus membayar ganti rugi sebesar Rp316 miliar.

Tujuannya adalah untuk menyulut para konsumen rokok lainnya untuk melakukan hal serupa, menyomasi perusahaan rokok. Tergiur? Tentu saja, gelimangan uang miliaran rupiah hanya dengan sekedar mengaku-ngaku dirugikan oleh perusahaan rokok sangatlah mudah. Tinggal sakit batuk-batuk, layangkan somasi, gandeng antirokok, minta ganti rugi, mudah kan?
Tapi sebenarnya, ada hal lain yang lebih besar lagi, yaitu melanggengkan jalan mulus aksesi FCTC (Framework Convention on Tobacco Control) di Indonesia. Nantinya, setelah perusahaan rokok kewalahan menanggapi banyaknya somasi, setelah itu kelompok antirokok akan melakukan cap bahwa rokok adalah produk yang dilarang dikonsumsi. Sehingga mereka mendorong pemerintah untuk melakukan pengendalian terhadap tembakau dan produk hasil tembakau lainnya.

Ini sangat berbahaya karena Indonesia memiliki produk hasil tembakau yang sangat khas: Kretek. Jika aksesi FCTC ini dilakukan di Indoensia, maka kretek dan produk hasil tembakau lainnya akan dihilangkan secara paksa di Indonesia. Apakah kita mau melihat kretek hilang? Bagaimana nasib orang-orang yang menggantungkan hidupnya dari Industri Hasil Tembakau?

Kami para perokok sadar bahwa merokok adalah pilihan. Lebih dari sekedar pilihan, karena dalam pilihan kami terdapat “Menjaga Kedaulatan Bangsa”.

Tinggalkan Balasan