PERTANIAN

Dokter dan Obat

Sumber foto: Majalah Tempo Edisi 2-8 November 2015, hal. 64-65

 


“The medical establishments has become a major threat to health” ( Ivan Illich, 1975)

 

[dropcap custom_class=”normal”]D[/dropcap]

ua Puluh Sembilan tahun lalu, menjelang peringatan Hari Kesehatan Nasional, Harian Kompas menurunkan tulisan berjudul “Obat, Penyelamat atau Laknat?”. Tulisan itu kemudian disusul oleh Tajuk Rencana berjudul Kunci Penggunaan Obat di Tangan Dokter (Kompas, 11/11/1986). Harian Kompas ketika menulis topik ini tentu menyadari fakta bahwa kesehatan masyarakat telah menjadi sebuah industri, sementara fakta lain juga muncul kolusi industri farmasi dan para dokter yang lazim dikenal sebagai “industrio-medical complex” itu telah mengundang banyak kritik sejak 1970-an.

Duapuluh sembilan tahun berselang sejak kegusaran Harian Kompas, kini terbukti gamblang. Investigasi Tempo (2 – 8/11/2015) mengungkap panjang-lebar perihal perselingkuhan dokter dan pabrik obat. Sebenarnya bukan hal baru, tapi tetap saja mencengangkan. Mencengangkan lebih karena nilainya sangat besar. Pada kasus dokter yang praktek di Jakarta dan Bekasi, misalnya, dari satu perusahaan farmasi PT Interbat saja setiap dokter pada 2014 menerima kisaran antara 5 juta sampai 1 milyar. Menurut Tempo, tercatat ada 327 dokter di Jakarta dan 95 dokter di Bekasi, plus 40 rumah sakit, menerima kucuran gratifikasi. PT Interbat menghabiskan puluhan milyar per-tahun untuk menyuap para dokter.

Modusnya sederhana, para dokter meresepkan obat yang diproduksi oleh pabrik obat tertentu itu, dan kemudian pabrik obat mengembalikan seluruh nilai transaksi obat itu secara akumulatif. Lazimnya dihitung tiap periode satu tahunan, diberikan dalam bentuk fee penjualan atau diskon harga kepada dokter. Atau juga dalam bentuk sponsorship seminar di dalam atau luar negeri, tanpa terkecuali juga liburan, biaya perjalanan dinas, bahkan memberi fasilitas mobil, dsbnya.

Ya, obat memang berada di wilayah abu-abu. Di satu sisi obat adalah komoditas komersial, namun juga sekaligus mengemban fungsi sosial yaitu menolong manusia. Menurut Tempo, tahun ini omzet bisnis farmasi di Indonesia mencapai angka 69 trilyun. Sedang dana yang dipakai perusahaan obat untuk menyogok para dokter supaya mempromosikan produk obatnya mencapai 45% dari harga obat. Sementara pada tingkat global, komoditas obat dan teknologi kesehatan adalah komoditi nomer 4 dunia yang mampu memberikan keuntungan di bursa-bursa saham.

Celakanya, karena tujuan kesehatan manusia itu sendiri telah menjadi industri dan ladang bisnis, para dokter pun bekerja dengan logika serupa itu. Bukan aneh misalnya, kita jumpai sakit seorang pasien sebenarnya cukup diobati dengan istirahat dan makan asupan buah semata, namun dokter sengaja meresepkan vitamin dan obat anti-biotik. Kasus lain lagi misalnya, seorang pasien membutuhkan obat anti-biotik dan dokter sebenarnya bisa memberikan jenis obat generik, tapi dokter justru tak memberikan jenis itu, melainkan lebih memilih obat bermerek yang harganya bisa mencapai 80 kali lipat.

Tak hanya itu, dokter bekerja dengan logika bisnis mudah kita jumpai pada kasus persalinan, terlebih di kalangan kelas menengah. Banyak kasus dokter terkesan menghalang-halangi proses persalinan normal dan sengaja mendorong pasiennya melakukan operasi cesar. Jelas, alasan-alasan tertentu sengaja dikemukakan sebagai basis pertimbangan rasionalnya, meski seringkali asumsi itu sebenarnya sudah berada di luar pertimbangan keselamatan ibu dan anak itu sendiri. Mudah diduga, selain biaya dokter terang dibandrol lebih mahal, penggunaan piranti teknologi operasi, pemakaian produk anestesi, konsumsi obat pasca operasi, dsbnya., tentu memberi income dan keuntungan besar bagi dokter ketimbang persalinan normal. Tak aneh kelahiran dengan proses cesar pernah disebut-sebut menjadi sebuah trend tersendiri di kalangan kelas menengah.

Adalah Ivan Illich, salah seorang kritikus sosial paling brilian masa ini, yang lewat bukunya yang berjudul “Batas-Batas Pengobatan—Perampasan Hak Untuk Sehat” menyatakan, “Industri kesehatan telah menjadi ancaman besar terhadap kesehatan.” Illich menelanjangi profesi kedokteran yang selama ini dianggap profesi mulia, dan mengungkap terjadinya kasus-kasus iatrogenesis, yaitu jenis penyakit baru yang dibuat oleh para dokter. Dalam bahasa Greek, iatros artinya ‘dokter’ dan genesis membawa makna ‘asal-usul’. Setidaknya dia mencatat adanya tiga bentuk penyakit baru yang muncul dari profesi dokter itu, yakni iatrogenesis klinis, sosial dan budaya.

Iatrogenesis klinis adalah penyakit baru yang muncul akibat mal-praktek klinis kedokteran atau rumah-sakit. Kasus sebenarnya tentu banyak, akan tetapi karena otonomi profesi dokter kelewat tinggi karena adanya monopoli pengetahuan sedemikian rupa, maka dokter pun dapat dengan mudah berkelit dari tudingan telah melakukan kesalahan. Iatrogenesis sosial yaitu penyakit yang diciptakan oleh profesi dokter karena tersebarnya informasi yang tidak sepenuhnya benar sehingga malah tercipta “ketakutan” yang berlebihan. Contoh kasus adalah munculnya trend persalinan secara cesar di kalangan kelas menengah. Atau kasus lain yaitu isu bahaya merokok dan dijualnya produk berhenti merokok.

Sementara iatrogenesis budaya ialah melemah atau bahkan menghilangnya keinginan seseorang individu atau masyarakat untuk memahami dan mengalami rasa sakit yang menimpanya. Penyakit, yang sejatinya merupakan respon alamiah tubuh ketika mencari proses keseimbangan organiknya, menjadi sesuatu yang sangat menakutkan dan dikira hanya bisa disembuhkan oleh para tenaga profesional medis, dan bukan oleh upaya pribadi meningkatkan elan vital dan daya tahan tubuhnya.

Ivan Illich tentu tak hanya menggugat profesi kedokteran, namun juga menyasar masyarakat modern dan bentuk ketergantungannya pada sistem pemeliharaan kesehatan modern, yang secara sewenang-wenang telah “merampas” kemerdekaan individu dan masyarakat. Bukan hanya semata uang, melainkan juga merampas harkat dan bahkan daya dorong kehidupan itu sendiri.

Menyimak kasus PT Interbat yang menyogok para dokter itu membawa ingatan kita kembali pada film dokumenter “Healthy Business” yang dibuat pada 1981 oleh Belbo Film Production Belanda atas pesanan sebuah lembaga NGO besar, Novib-Oxfam. Dalam film itu terceritakan bagaimana penutupan sebuah seminar kedokteran di Filipina, sebuah seminar yang disponsori perusahaan obat Ciba-Geigy, diwarnai hiburan glamour dengan menampilkan gadis-gadis cantik berselempang tulisan merek obat. Dalam film itu, Manager Pemasaran Ciba-Geigy Filipina berbicara kepada para dokter: “Karena Anda telah membantu kami, maka kami pun tentu tak segan membantu Anda. Itulah yang namanya partnership. Untuk masa-masa mendatang kami yakin akan dapat lebih banyak membantu Anda, tak lain berkat penulisan resep-resep Anda yang lebih banyak pula.”

Ya, sudah menjadi kaidah umum dalam bisnis farmasi, bahwa obat-obatan yang dipromosikan secara besar-besaran cenderung banyak pula ditulis dalam resep para dokter. Ya, kolusi perusahaan farmasi dan para dokter yang diinvestigasi dan ditulis Tempo adalah sebuah kisah lama yang tak mudah usang.

Tinggalkan Balasan