PERTANIAN

Freeport dan Uang Rokok

309 trilyun nilai kontrak 20 tahun plus share keuntungan rata-rata 1,3 trilyun per tahun, tapi dengan berbagai potensi persoalan yang sedikit banyak sudah bisa kita prediksi berdasarkan pengalaman 48 tahun bekerjasama dengan Freeport-McMorran Copper & Gold Inc (FCX), jelas adalah angka yang kecil.

freeport-dan-uang-rokok

[dropcap]F[/dropcap]reeport-McMorran Copper & Gold Inc (FCX) mulai membangun investasi di area pegunungan terpencil di Papua Barat awal 1967. 48 tahun sudah melalui Freeport Indonesia Incorporated atau biasa disingkat PT FI memperoleh konsesi pertambangan mineral logam di Erstberg dan Grasberg. Berdasarkan info dari Business News, 22 Januari 1997, Freeport kini menguasai areal konsesi penambangan setara 40 kali luas kota Jakarta, bahkan lebih luas daripada Jawa Barat.

Tahun 1996, George A. Maley, salah satu eksekutif FCX, menulis buku berjudul “Grasberg”. Buku itu memaparkan jika tambang emas di Papua memiliki deposit terbesar di dunia dan bijih tembaganya urutan ketiga. Dari data tahun 1995, Maley menunjukkan di areal ini tersimpan cadangan bijih tembaga sebesar 40,3 miliar pon dan emas sebesar 52,1 juta ons. Nilai jualnya 77 miliar dollar AS dan masih akan menguntungkan hingga 45 tahun ke depan. Ironisnya, Maley dengan bangga juga mengatakan jika biaya produksinya adalah termurah di dunia.

Lebih ironisnya, sepanjang eksploitasi pertambangan PT FI selama ini ternyata proporsi pengalihan saham ke Indonesia masih sangat minim yaitu 9,36%. Pemerintah baru menjadi pemegang saham pada Juli 1976. Pengusaha swasta nasional yaitu PT Indocopper Investama juga sempat memiliki saham 9,36%, tapi kepemilikan saham itu dianggap default dan dibeli kembali oleh FCX. Artinya, praktis modal asing kini hampir sepenuhnya masih menguasai saham PT FI yaitu sebesar 90,64%.

Terang berdasarkan ketentuan UU Minerba kepemilikan saham oleh Pemerintah Indonesia jauh di bawah standar divestasi minimal 51% saham. Juga jika merujuk KK (Kontrak Karya) perpanjangan 1991, sebenarnya telah disebutkan ketentuan perihal kewajiban divestasi PT FI, terdiri atas dua tahap. Tahap pertama adalah melepas saham ke pihak nasional sebesar 9,36% dalam 10 tahun pertama sejak 1991. Setelah itu, tahap kedua yaitu mulai 2001 PT FI harus menjual sahamnya sebesar 2% per tahun hingga kepemilikan nasional mengambil porsi 51%. Tapi, hampir seperempat abad sejak ditanda tanganinya KK 1991 itu, kepemilikan saham nasional terhadap PT FI tak jua bertambah. Dengan jomplangnya porsi kepemilikan saham oleh Indonesia jelas mustahil bagi pemerintah melakukan pengawasan internal secara memadai, apalagi maksimal.

Selain divestasi saham, isu lain yang mengemuka dalam renegoisasi perpanjangan kontrak karya adalah perbaikan nilai royalti. Merujuk PP No. 13 Tahun 2000 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No. 58 Tahun 1998, iuran tetap yang telah ditetapkan adalah US$ 4/Ha/tahun, sementara royalti untuk tembaga sebesar 4%, emas 3,75% dan perak 3,25% dari nilai harga jual. Kenyataannya, Freeport masih membayarkan tarif royalti kepada Indonesia sesuai dengan KK 1991, yaitu US$ 3/Ha/tahun, di mana royalti untuk tembaga sebesar 1,5%, sedang emas dan perak sebesar 1%.

Sementara perbandingan penerimaan Negara dan Freeport Indonesia, merujuk data Kementerian ESDM, dari tahun 2006 – 2015 rata-rata penjualannya pertahun adalah sebagai berikut: Angka penjualan PT FI secara rata-rata pertahunnya berkisar 4.629,58 juta US$. Sementara penerimaan pertahunnya bagi negara 1.298,56 juta US$ dan penerimaan PT FI adalah 1.482,39 juta US$.

Namun demikian banyak pihak menilai PT FI tak jujur melaporkan hasil penjualan dan membagi keuntungannya. Menurut ICW, audit BPK tahun 2004 dan 2005 menemukan bahwa penetapan pembayaran royalti oleh PT FI didasarkan pada perhitungan harga jual rata-rata pertriwulan yang notabene tidak sesuai dengan prinsip akuntansi, yaitu berdasarkan harga jual pertransaksi. Selain itu, ICW juga menemukan tunggakan royalti sepanjang tahun 2002 – 2010 yang belum dibayarkan PT FI senilai 176,884 juta US$. Perusahaan ini juga sering dikritik tidak membayarkan royalti mineral ikutan seperti belerang sebesar 3,5% dan besi 3%. Sementara menurut penelitian ELSAM (2003), secara general laba yang diperoleh PT FI tiga kali lipat dari yang diterima Indonesia.

Banyak pihak beranggapan bahwa besarnya ekspor berbentuk konsentrat mineral mentah membuat kapasitas dan komposisi kandungan mineral sesungguhnya susah dipastikan sekaligus susah dihitung total nilainya. Ketimbang membangun smelter di Indonesia, PT FI terang lebih memilih memasang pipa-pipa sepanjang 100 km langsung ke Laut Arafuru, tempat tunggu kapal-kapal besar yang akan mengangkut kosentrat mineral mentah dari Papua ke Amerika.

Terkait itu, pokok soal lain ialah pembangunan smelter atau “hilirisasi.” Benar, bahwa PT FI sudah membangun perusahaan pengolahan di dalam negeri yaitu PT Smelting Gresik. Produksi konsentrat PT FI sekitar 70% diolah diluar negeri atau diekspor, dan baru sisanya sekitar 30% diolah di dalam negeri. Pembangunan PT Smelting-Gresik sendiri dapat dikatakan berawal dari keterpaksaan, yakni kewajiban PT FI terkait tuntutan dalam ketentuan perpanjangan KK kedua tahun 1991.

Merujuk ketentuan UU Minerba Pasal 103 ayat (1), regulasi itu menetapkan kewajiban pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) yang berada dalam masa produksi untuk melakukan proses pengolahan dan pemurnian di dalam negeri. Pasal 170 memberikan tenggat waktu hingga 5 tahun sejak aturan ini diundangkan yaitu 12 Januari 2014. Dengan maksud memberikan nilai tambah industrial, konsentrat material mentah dilarang diekspor.

Meskipun demikian UU Minerba berikut PP-nya nampak mendua dan tak konsiten sehingga masih mentolerir berbagai kontrak seperti KK, PKP2B (Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara) atau KP (Kuasa Pertambangan) dsbnya, yang ditandatangani sebelum diundangkannya PP No. 23 Tahun 2010 dinyatakan tetap berlaku hingga jangka waktu kontrak berakhir. Celakanya lagi, merujuk Permen ESDM No. 1 Tahun 2014 Pemerintah malah kembali memberi kelonggaran ekspor mineral dalam bentuk material mentah hingga tahun 2017, asalkan para pelaku usaha pertambangan benar-benar berkomitmen membangun smelter. Banyak pihak mengkritik, lahirnya Permen ESDM ini adalah bentuk ketidakseriusan Pemerintah mendorong kebijakan hilirisasi dan melindungi kepentingan pemain besar seperti PT FI dan PT Newmont.

Di sisi lain, PT FI sendiri mengatakan komitmennya membangun smelter. Investasi yang akan ditanamkan 2,3 milyar dolar AS. Rencana pembangunan smelter mengambil lokasi sebelah PT Smelting-Gresik di Jawa Timur dan bukan Papua. Sedang terkait rencana perpanjangan kontrak 20 tahun ke depan yang dimulai 2021, PT FI berencana menginvestasikan modal 15 milyar dolar AS plus 4 milyar dolar AS yang telah ditanamkan sebelumnya sebagai realisasi pengembangan kompleks tambang bawah tanah di Papua. Artinya bicara total nilai investasi yang hendak ditanamkan PT FI untuk jangka waktu 20 tahun (2021 – 2040), besarannya menyentuh kisaran 22 milyar dolar AS atau jika dikonversi dengan asumsi 1 dolar AS adalah Rp. 14.000,- maka didapati angka 309 trilyun rupiah.

Sementara terkait isu divestasi saham, PT FI berencana melepas sahamnya sebesar 10% dan melakukan IPO sebesar 5% di Indonesia. Rencana PT FI sebenarnya sudah mengemuka pada zaman Pemerintah SBY. Andai komitmen ini benar, berarti realisasi divestasi saham ke Pemerintah Indonesia baru mencapai kisaran 20% dan ke publik 5%. Artinya masih jauh di bawah ketentuan UU Minerba, yakni penguasaan oleh Indonesia sebesar 51%. Padahal sudah 24 tahun sejak ditandatanganinya KK 1991, maka merujuk ketentuan tersebut seharusnya realisasi divestasi saham ke Indonesia sudah mencapai kisaran angka 38%.

Sekilas 309 trilyun rupiah adalah angka yang fantastis bagi sebuah investasi, lebih-lebih pada saat krisis ekonomi global sekarang. Tapi, andai kita mau kritis, dengan menimbang banyak persoalan dan terlebih mengingat kebohongan serta pelanggaran kontrak PT FI, plus kerusakan alam dan lingkungan serta pemiskinan bagi masyarakat adat suku Amungme, 309 trilyun bukanlah angka memadai untuk menutupi semua kerugian Indonesia selama ini. Nilai 309 trilyun untuk 20 tahun dengan berbagai potensi persoalan yang sedikit banyak sudah bisa kita prediksi berdasarkan pengalaman 48 tahun selama ini jelas adalah angka yang kecil.

Terlebih 309 trilyun sebenarnya hanyalah angka yang besarannya mudah didapat dari tiga tahun penarikan cukai, yang notabene 95 persennya dipungut dari uang rokok masyarakat Indonesia. Jadi, saran saya buat Pemerintah khususnya Presiden Jokowi, tegas. Akhiri saja kontrak karya Freeport-McMorran Copper & Gold Inc di Indonesia pada tahun 2021, tolak proposal perpanjangan kontrak dan segera lakukan negoisasi pengambilalihan PT Freeport Indonesia sepenuhnya bagi Indonesia.

Jika ditanyakan sumber pendanaanya berasal dari mana? Mudah, Pak Presiden! Bapak Presiden tinggal keluarkan beleid untuk mengalokasikan uang rokok selama beberapa waktu buat mendanai pembelian tersebut. Dengan demikian selain Bapak Presiden telah mengembalikan Papua sepenuhnya ke dalam pangkuan kedaulatan Republik, lebih jauh Bapak Presiden juga mengukuhkan sebuah kebanggaan kepada kami para perokok.

Tinggalkan Balasan