EKSPEDISI CENGKEH

Haji Sappa, Pemilik 800 Pohon Cengkeh di Samaenre, Bone, Sulsel

“Jika menanyakan siapa petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa, orang-orang di dua desa itu akan merujuk pada satu nama, Haji Sappa. Haji Sappa ini adalah panggilan saja, nama aslinya Drs. H. Abdul Basyir.”

Haji Sappa (kiri, baju putih) bersama dengan Zulvan Kurniawan peneliti dari KNPK dan istri Haji Sappa.

[dropcap]B[/dropcap]isa dibilang, ia adalah orang kaya dan terpandang di desa tersebut, seorang dengan status pemilik pohon cengkeh terbanyak di Samaenre.

Ia memiliki pohon cengkeh sebanyak 800 batang, dan juga dikenal sebagai pedagang cengkeh terutama di Kecamatan Tonra dan Kecamatan Cina. Lelaki asli Bone, Sulawesi Selatan ini sempat mengenyam pendidikan di Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Bone. Kebun cengkeh yang luas itu adalah warisan dari orang tuanya yang kemudian ia teruskan sampai saat ini.

Pada kisaran tahun 70-an, orang tua Haji Sappa membeli tanah di Samaenre, dan menanaminya dengan pohon cengkeh. Kala itu penduduk Desa Samaenre belum mengetahui tentang tanaman cengkeh. Bisa dikatakan pula bahwa orang tuanya adalah pelopor penanaman cengkeh di Samaenre. Hingga 17 tahun kemudian, penduduk Desa Samaenre dan Rappa mulai berduyun-duyun menanam cengkeh. Pada saat itu harga cengkeh Rp12.000 per kilo gramnya. Jika dibandingkan dengan kopi yang harganya saat itu hanya Rp.7.000 per kilo gram, orang-orang lebih memilih menanam cengkeh.

Sebagai orang yang mewarisi tanahnya dari orangtua yang berada diluar kawasan hutan lindung, Haji Sappa saat ini menghadapi masalah dengan tanah yang dibelinya sendiri dari hasil berdagang cengkeh. Ia sempat membeli tanah dari tetangganya seluas 4 hektar dengan motivasi menolong tetangga tersebut karena butuh uang, setelah dicek di kantor ATR/BPN ternyata tanah tersebut masuk zona kawasan hutan lindung, sehingga tidak bisa diurus sertifikatnya.

Menurut pengakuan Haji Sappa, sebagian besar saat ini tanah di Samaenre dan Rappa yang ditanami Cengkeh berada didalam kawasan. Meskipun begitu dari pengawas hutan tetap mengenakan biaya sewa sebesar 100 ribu rupiah per hektar per tahun bagi masyarakat yang menanam tanaman perkebunan didalam kawasan.

Dari pohon cengkeh yang sudah berumur lebih dari 40 tahun milik Haji Sappa buahnya dibeli oleh sebuah perusahaan untuk pembibitan. Per biji dihargai Rp500, dengan syarat panjangnya minimal 1,8 cm. Dari hasil jual beli buah cengkeh ini, Haji Sappa menandatangani kontrak senilai Rp.7,5 juta, namun dari kontrak senilai itu yang dibayarakan hanya Rp1,5 juta karena sebagian besar buah cengkeh Haji Sappa gagal dalam proses pembibitan.

Haji Sappa sendiri tidak mau dibilang petani karena beliau sudah jarang ke kebun, ia hanya mau disebut sebagai pengepul cengkeh. Kebunnya secara bertahap dia berikan kepada anaknya yang bungsu dan menantunya. Sekitar 90% petani cengkeh di Samaenre menjual cengkeh kepadanya. Cengkeh kemudian ia jual ke Makassar, tepatnya dijual ke Sampoerna, dan selain itu dijual ke BAT selama tiga tahun terakhir. Dua perusahaan raksasa di industri rokok Indonesia.

Seperti halnya cerita dari para petani cengkeh di banyak tempat, Haji Sappa juga mengaku bahwa selama ini cengkeh yang ia tanam diurus sendiri tanpa ada bantuan dari Dinas Perkebunan dan Pertanian setempat. Justru yang selama ini melakukan pendampingan untuk penanaman dan budidaya cegnkeh berasal dari perusahaan yang membeli cengkeh dari para petani agar sesuai dengan kebutuhan industri. Pendampingan dari perusahaan pun sebenarnya tak menyeluruh, lebih berfokus pada kerja sama untuk uji coba pupuk dan pembibitan.

Namun demikian, dengan segala keterbatasan dalam bentuk pendampingan, bantuan, ataupun perlindungan, petani cengkeh di Desa Samaenre dan Rappa tetap dapat terus menjaga keberlangsungan perkebunan cengkeh. Komoditi yang selama ini memberikan penghidupan baik bagi mereka.

Tinggalkan Balasan