REVIEW

Herman Hesse dan Siddhartha

HermannHesse1927mitZigarre

Herman Hesse, novelis Jerman yang menulis Siddhartha

Ya, Siddhartha banyak belajar dari kekasihnya. Tak hanya belajar mengenal pribadi seorang wanita yang tak pernah diketahuinya sepanjang hidupnya saat itu, namun juga perihal pengalaman rasa jatuh cinta dan kasmaran yang diagung-agungkan manusia. Dalam diri Kamala, Siddhartha bukan saja menemukan kesenangan badani juga hangat persahabatan. Lebih jauh dia juga belajar berdagang dan berbisnis dari Kamaswami, saudagar besar kota itu, dikenalkan Kamala dan berhasil membuatnya kaya raya. Dan dia sepenuhnya larut, hanyut, dalam ritmis duniawi yang selama ini disingkirinya. Siddharta mengakrabi anggur, wanita, dan ketamakan yang menghancurkan jiwanya perlahan-lahan. Hedonisme jadi lakon utama drama hidupnya kini. Dalam fase ini Siddhartha sepenuhnya menjalani sisi sebaliknya dari kehidupannya selama ini. Keberadaannya sangat kontras dari wujud dirinya sebagai putra brahmin dan seorang samana. Siddhartha putra brahmin sekaligus samana, telah mati.

MELAMPAUI KATA-KATA

Samsara, demikian kata yang tepat untuk memberi judul pada fase kehidupan baru Siddhartha. Samsara adalah keyakinan umum masyarakat Hindustan, bahwa semua makhluk hidup yang ada di dalam semesta ini akan terus menerus mengalami proses tumimbal lahir selama belum mencapai pencerahan sejati. Alam kelahiran kembali itu ditentukan oleh karma. Bila ia baik maka dia terlahir di alam bahagia, bila ia jahat dia akan terlahir di alam duka. Kehidupan baru sebagai orang awam dan hidup di antara orang-orang awam, tergila-gila pada Kamala, dan hanyut dalam berbagai bentuk kesenangan duniawi telah menghantar Siddhartha pada penemuan akan kesadaran spiritualitas baru. Kesadaran rohani yang lebih komplit dan lebih utuh sebagai manusia, dibanding ketika dia masih menyandang atribut putra brahmin sekaligus samana.

Dilahirkan dari keluarga brahmin yang sejak kecil diajarkan taat pada serangkaian dogma liturgis dan ritus religi, plus laku sebagai samana karena anggapan hidup adalah ilusi, bagi Siddhartha saat itu, tanpa dia sadari sepenuhnya sebenarnya malah jadi pengukuh ego kesadaran dirinya secara terkamuflase. Tanpa disadari sepenuhnya dia telah memandang rendah kehidupan duniawi tanpa pernah paham kenyataan senyatanya. Tanpa sadar dia juga telah membangun benteng tebal dan tinggi bagi keamanan dan kenyamanan pandang dunianya sendiri. Kini ego selaku putra brahmin, ego seorang samana, ego yang begitu halus karena mengejawantah sebagai bentuk praktik dharma, semua identitas itu mati terkubur bersama kelahiran Siddharta, kelahirannya sebagai seorang hedonis!

Itu semua terefleksikan demikian jernih ketika Siddhartha tiba pada titik balik kesadaran rohaninya. 20 tahun menjalani kehidupan sebagai orang awam, tanpa pernah perduli suara jiwanya sendiri. Hasilnya Siddhartha merasa muak dengan semua itu. Muak dengan seluruh capaian duniawinya. Bahkan muak terhadap dirinya sendiri hingga tiba pada rasa frustasi sedemikian hebat mengguncang batinnya. Menyadari seluruh kebodohan itu, pada malam yang larut Siddhartha beranjak meninggalkan semuanya, meninggalkan Kamala yang tengah hamil tanpa sepengetahuannya, dan pergi tanpa pernah hendak kembali.

Hingga sampailah Siddhartha di pinggir sungai dekat hutan itu. Sungai yang sama, yang 20 tahun lalu diseberanginya dalam perjalanannya menjadi orang awam. Juga ditemuinya seorang juru sampan yang sama, Vasudeva. Mereka berdua masih saling mengenal satu sama lain. Akhirnya bahkan keduanya saling mengasihi sebagai seorang sahabat. Tinggal di pondok Vasudeva di pinggir sungai hutan itu, Siddharta memutuskan belajar mengayuh sampan, dia bermaksud menjadi juru sampan seperti sahabat barunya itu.

Hari dan bulan serta tahun berlalu cepat dan tak terasa. Seperti sahabatnya Siddhartha belajar banyak dari sungai. Dari sungai dia belajar cara mendengarkan suara-suara alam secara apa adanya, bagaimana mendengarkan dengan hati damai, dengan sebuah jiwa terbuka, tanpa keinginan, tanpa penilaian, tanpa pendapat. Mendengarkan saja dengan apa adanya. Dari sungai juga Siddharta belajar mendengarkan ribuan suara, di mana suara semua makhluk hidup terdengar di sana. Namun ketika ribuan suara dari sungai itu terdengar bersamaan maka muncullah lantunan suara mantra suci. Ya, Siddhartha belajar banyak tentang kehidupan dari Vasudeva, dan terutama dari sungai.

Tahun-tahun pun berlalu hingga terbetik kabar Sang Buddha Gautama tengah sakit, dan segera akan mangkat dari kematian terakhirnya sebagai manusia untuk memasuki Parinirvana. Layaknya upacara penobatan seorang raja, orang-orang berdatangan dari segala tempat, dari segala arah, beriring-iringan seperti semut menuju suatu tempat di mana manusia suci itu tengah menunggu ajal. Tak kecuali adalah Kamala, bersama anaknya berada di tengah iring-iringan manusia tersebut. Tapi, mujur tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak, Kamala digigit ular berbisa sehingga membawanya bertemu kekasihnya, Siddhartha. Meski akhirnya Kamala meninggal karena racun ular, namun dari pertemuan singkat itu Siddharta serasa mendapat anugrah besar. Bertemu anak laki-laki satu-satunya yang berusia 11 tahun.

Ilustrasi

Ilustrasi

Tapi kebahagiaan karena hadirnya putra terkasihnya enggak berlangsung lama. Seiring berjalannya waktu, anak lelaki itu tetap enggak bisa direngkuhnya sebagai anaknya. Kekerasan hatinya, kesombongan dan sikap tak hormat bahkan kasar pada Siddhartha jelas membuat hatinya kembali muram. Menolak rengkuhan cinta kasih ayahnya, anak lelaki itu berujar: “Dengarlah! Demi kesengsaraanmu, aku lebih baik menjadi seorang penjahat dan seorang pembunuh serta pergi ke neraka daripada menjadi seperti dirimu! Aku benci padamu! Kamu bukanlah ayahku, bahkan sekalipun kau adalah kekasih ibuku lebih dari sepuluh kali lipat” sambil meludah.” Lantas anak itu melarikan diri dengan sampan dan tak pernah kembali.

Ditemani Vasudeva berbagai upaya dilakukan untuk mencarinya, tapi tetap saja nampaknya takdir tak jua mempertemukannya kembali. Jelas, Siddhartha merasakan hal itu sebagai duka, tenggelam dalam kekosongan, membiarkan dirinya tenggelam, sepenuhnya tenggelam dalam duka dan tak melihat jalan keluar sama sekali. Namun pada saat bersamaan dia tak bermaksud menolak duka itu. Bukan dengan tujuan berkubang dalam duka, tapi justru dengan maksud menerima duka sepenuh kesadaran agar berbuah menjadi bunga. Ya, pada saat Siddhartha berhenti menentang takdir dirinya, berhenti menentang takdir dengan seluruh keinginan dan harapan-harapannya, berhenti pulalah penderitaan itu.

Singkat kata, dituntun proses ‘pembidanan’ oleh Vasudeva juru sampan itu, refleksi duka itu berbuah manjadi bunga, dan, lebih jauh, bunga itu mekar hingga Siddhartha akhirnya mengalami pencerahan total dan penyatuan dengan semesta raya.

Kisah Siddhartha tak berakhir di sini. Govinda sahabatnya dulu mendatanginya, setelah mendengar kabar perihal keberadaan juru sampan tua yang sehari-harinya hidup di atas sampan dan dianggap banyak orang sebagai seorang Guru. Govinda merasa harus bertemu tukang sampan itu karena dia merasa belum juga berhasil mengalami pencerahan sejati, menembusi kasuyatan, sekalipun telah bertahun-tahun menjadi murid Pangeran Siddhartha. Kini Sang Buddha gurunya telah mangkat, ke mana lagi dia harus bertanya? Seperti pertemuan pertama setelah perpisahan di Taman Jeta dulu, dalam pertemuan kedua ini, di tempat yang sama yaitu tepi sungai pinggir hutan itu, pada awalnya Govinda juga tak ingat bahwa juru sampan itu adalah sahabatnya, Siddhartha. Malam itu Govinda memutuskan menginap di pondok Siddharta dan selama semalam terjadilah dialog panjang antara keduanya.

Siddharta menceritakan Guru-gurunya. Gurunya bukan hanya ayahnya yang brahmin juga samana di hutan dulu; tapi pelacur cantik Kamala dan saudagar besar Kamaswami serta para pemain dadu adalah Gurunya. Juga Pangeran Gautama yang memberi kesan demikian mendalam pada Siddharta meskipun dialog itu sebenarnya hanya teramat singkat. Guru utama bagi Siddharta adalah sungai, dan juru sampan sebelumnya yaituVasudeva.

Meskipun Govinda merasa tuturan sahabatnya itu tak sepenuhnya sejalan dengan ajaran Pangeran Gautama, tapi dia yakin sahabat masa kecilnya itu sudah mengalami transformasi kesadaran sebagaimana Sang Buddha. Sikap welas asih Siddhartha, tutur katanya, tatapan matanya, senyumnya, dan semua keanggunan dirinya mengisyaratkan capaian pembebasan spiritual itu.

“Pengetahuan dapat diungkapkan dan diajarkan, Govinda! Tapi, kebijaksanaan sejati tidak pernah bisa diungkapkan dan diajarkan,” ujar Siddharta ketika diminta sepatah dua patah ajaran oleh Govinda.

Lebih jauh, menurut Siddharta kebenaran sejati tak pernah bisa diungkapkan dalam kata-kata. Ketika kebenaran itu masih bisa diungkapkan dalam serangkaian kata-kata dan kalimat, maka sebenarnya dia hanya memotret satu sisi saja. Ini juga berarti hanya separuh dari kebenaran. Karena semua pemikiran itu senyatanya tak pernah memiliki keutuhannya, kepenuhan dan kesatuannya. Karen itu kata-kata atau gagasan tak berharga untuk makna yang utuh dan tersembunyi. Sebaik apapun kata-kata atau gagasan tentang dunia, dia tak pernah sanggup mewakili kenyataan secara apa adanya. Namun begitu kita merasakan keutuhan dan kepenuhan serta kemenyatuan diri dengan sesuatu, lebih-lebih itu entitas alam semesta atau kebenaran atau Tuhan, kata-kata atau gagasan dengan sendirinya akan menghilang.

Selain itu, cinta dan welas asih adalah hal utama. Menurut Siddharta, kemampuan mencintai dunia, tanpa terbersit sikap memandang rendah padanya, apalagi membencinya dan, lebih dari itu, mampu menghargai dan menghormati semua makhluk hidup dengan sepenuh cinta dan welas asih, adalah kata kunci penting mencapai pencerahan sejati bagi seorang pejalan. Pelajaran paling berharga dari Pangeran Gautama dan orang suci pada umumnya ialah bahwa mereka mencintai manusia, mencintai kehidupan, sehingga mereka mau menghabiskan seluruh sisa hidupnya untuk menolong dan mengajar umat manusia.

Akhir kisah, mendengar tuturan sahabatnya itu Govinda juga mengalami pencerahan spiritual yang selama ini dicari-cari dan dirindukannya, melalui transmisi langsung dari Siddharta.

Pertanyaannya, siapakah tokoh Siddhartha ini? Ya, dia adalah tokoh utama novel karya Hermann Hesse. Berjudul “Siddharta”, novel ini menceritakan kisah perjalanan dan penemuan spiritual seorang manusia hingga mencapai pencerahan rohani sejati.

Tinggalkan Balasan