logo boleh merokok putih 2

Jokowi: Petruk dadi Ratu?

Ada dua tafsiran dalam lakon wayang Petruk Dadi Ratu. Pertama, lakon ini muncul sebagai bentuk gugat atau narasi protes kawula alit terhadap penguasa dan jalannya kekuasaan. Kedua, lakon ini dianggap sebagai kisah yang menggambarkan ketidakbecusan seorang pemimpin mengelola Negara. Ketika Joko Widodo menjadi presiden Indonesia, ada anggapan dia adalah wujud lakon tersebut. Pertanyaannya, tafsiran yang mana?

[dropcap]P[/dropcap]etruk Dadi Ratu adalah lakon carangan yang tidak hanya menerjang pakem umum, melainkan juga keluar dari arus utama. Petruk bersama para punakawan lainnya yaitu Semar, Gareng, dan Bagong diposisikan sebagai penghibur dan penasihat raja. Mereka juga representasi kaum jelata namun sekaligus pengejawantahan Dewa. Pada saat-saat momen genting yang dinilai sudah melampaui kewajaran, para punakawan tak sekali dua bersikap membangkang. Salah satu puncak pembangkangan terjadi ketika Petruk melabrak Kahyangan Jonggring Saloko. Berbekal jimat Kalimasada, Petruk menjelma menjadi Prabu Kanthong Bolong, melabrak semua tatanan yang menjadi arus utama model kekuasaan di mayapada.

Demikianlah secara substantif lakon ini memberikan gambaran realitas hari ini, yakni mekarnya iklim demokrasi dan kebebasan bersuara: bahwa rakyat biasa memiliki hak memimpin negeri dan sanggup lantang menyuarakan aspirasinya. Jokowi pun muncul dalam suasana ini.

Tentu saja jalannya tidak akan mudah. Jokowi mau tidak mau harus berhadapan dan bernegosiasi dengan kepentingan ekonomi-politik oligarki. Runtuhnya Orde Baru tidak serta merta menghapus kekuatan oligarki yang sudah terbangun selama tiga dasawarsa. Celakanya kekuatan oligarki ini tidak hanya berada di luar, melainkan juga membonceng di dalam kekuasaan Jokowi.

Kebijakan Presiden Jokowi menaikkan BBM dan membuka investasi asing (direct investment) secara besar-besaran tentu gampang diduga lahir dari artikulasi kepentingan modal asing ketimbang nasib bangsa sendiri. Pertanyaannya ialah apakah Jokowi adalah anasir neolib? Kesimpulan ini sebenarnya terkesan gegabah dan tergesa. Orang Jawa mengatakan “bener ning ora pener”. Pasalnya kesimpulan ini adalah buah dugaan klise yang muncul dari analisis dan pemahaman Marxisme-ortodoks, yang barangkali saja kini sebenarnya sudah tidak cukup relevan membaca peta dan tahap kapitalisme muthakir. Sehingga di sini penting bersikap kritis dan tidak terjebak dogmatisme secara teoritis, bahkan meskipun terhadap teori kritis itu sendiri.

Setidaknya pengalaman Korea Selatan dan China justru membuktikan sebaliknya. Pembangunan dan industrialisasi yang didorong investasi modal asing secara besar-besaran pada kasus kedua negara itu senyatanya berbuah lain. Kini mereka tidak hanya tumbuh sebagai negara industri baru dalam waktu sangat singkat, melainkan, lebih dari itu, Korea Selatan dan China tumbuh sebagai kekuatan ekonomi dunia di Asia Timur sekaligus motor penggerak pertumbuhan dunia.

Jadi, dalam konteks kebijakan Jokowinomic kita harus melihat seberapa besar kebijakan investasi asing itu memberi keuntungan Indonesia, yakni seberapa jauh investasi itu dapat memperluas dan memperdalam struktur industrialisasi; membuka serapan tenaga kerja massal, memodernisasi teknologi disertai proses alih daya kompetensi bagi masyarakat luas. Andai semua itu terjadi, sebagaimana kasus Korea Selatan dan China, maka kita patut mengendurkan kesimpulan analisis bahwa Jokowinomic adalah buah kebijakan neolib. Sabar, wait and see, Bro!

Politik Oligarki vs Politik Voluntarisme

Namun melihat karut marut dan berlarutnya proses penyelesaian geger KPK – Polri, banyak orang belakangan mulai meragukan ketegasan Jokowi. Petruk Dadi Ratu kemudian lebih sinonim makna dengan ketidakbecusan Presiden Jokowi mengelola negara. Petruk Dadi Ratu juga berarti Jokowi adalah “presiden boneka”. Lakon ini menggambarkan kuasa Presiden Jokowi lahir sebelum waktunya. “Nggege mangsa” ujar orang Jawa.

Ini sesungguhnya rumor lama menjelang Pilpres, namun kini seolah tercitra sebagai fakta. Benarkah ada dalang di balik seluruh kebijakan Presiden Jokowi? Atau malah adakah skenario lain dibalik keributan KPK – Polri? Sas-sus beredar, di balik kebisingan isu KPK – Polri telah lahir perpanjangan izin ekspor mineral mentah Freeport selama enam bulan ke depan oleh Kementerian ESDM, meski janji Freeport membangunan smelter belum direalisasi.

Di balik ingar bingar kisruh KPK – Polri, sebenarnya ada kata kunci penting yang patut disimak Presiden Jokowi. Yaitu, munculnya fenomena politik voluntarisme yang mendorong partisipasi aktif masyarakat luas mendukung KPK, yang pada masa Pilpres tahun lalu sebenarnya juga merupakan gelombang kuat sekaligus kekuatan besar pemenangan dan kemenangan Jokowi. Presiden Jokowi harus ingat, politik voluntarisme sejatinya muncul dari political trust masyarakat luas terhadap karakter personal Jokowi.

Sementara, political trust sejatinya merangkum modal sosial penting bagi seorang pemimpin, yaitu adanya nilai-nilai kepercayaan yang tinggi, sikap kesukarelaan dan bentuk partisipasi aktif, disertai tumbuhnya harapan besar dan baru. Demikianlah political trust adalah jimat Kalimasada-nya Petruk, yaitu kesaktian yang membuatnya tak tertandingi kekuatan elit oligarki, meski adalah para ksatria Pandawa, sehingga memungkinkan melakukan sebuah dobrakan kebijakan baru.

Karena itu Presiden Jokowi tidak hanya harus memegang teguh mandat yang diberikan rakyat, melainkan juga mesti jumbuh (lebur-menyatu) dengan agregrasi kekuatan political trust itu. Lebih dari itu, pun harus berhasil menerjemahkannya dalam seluruh produk kebijakannya. Jumbuh di sini ialah sinkronasi antara political will dari ‘atas’ (negara) dan dorongan kekuatan politik voluntarisme beserta partisipasi aktif dari ‘bawah’ (masyarakat sipil).

Sementara, bersamaan dengan itu derajat sinkronasi antara harapan dan realisasi tindakan Presiden Jokowi mewujudkan amanah yang diembannya, dipahami sebagai jalinan timbal balik yang menganyam kadar dan bentuk kepercayaan masyarakat itu sendiri (per se). Tingkat kepercayaan tumbuh semakin tinggi tentunya bila penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakannya semakin kecil. Sebaliknya, kepercayaan semakin rendah seandainya tingkat penyimpangan antara harapan dan realisasi tindakan justru semakin besar. Bagaimana jawabnya? Wait and see, Bro!

Waktu masih panjang, segeralah berbenah, Pak! Silahkan, manjing ajur ajer selaku seorang reformis sejati!

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Waskito Giri

Waskito Giri

Penulis, pemilih Jokowi, dan meyakini Nusantara sebagai asal-usul peradaban dunia. Kolektor keris.