rokok
OPINI

Keadilan untuk Rokok

Berbagai macam perspektif (sudut pandang) menyebutkan hampir tidak ada keuntungan yang didapatkan dari aktivitas merokok. Tinjauan medis mengatakan bahwa rokok positif mengandung berbagai macam zat kimia berbahaya yang dapat berdampak buruk bagi kesehatan, khususnya paru-paru. Penelitian medis ini ditindaklanjuti dengan munculnya gambar-gambar penyakit mengerikan yang banyak beredar di bungkus rokok sebagai upaya pemerintah dalam mengurangi konsumsi rokok masyarakat. Upaya pemerintah ini kemudian diikuti oleh barbagai macam Peraturan Daerah (Perda) yang membatasi ruang gerak perokok dalam melakukan aktivitas merokoknya. Di sisi lain, lembaga agama ikut mengamini program pemerintah yang satu ini. Kita ambil sebagai contoh, Lembaga Fatwa Muhammadiyyah (Majelis Tarjih) dan Majelis Ulama Indonesia (MUI) yang dengan “latah” ikut memberikan fatwa haram melalui pertimbangan medis dan madharat yang banyak ditimbulkan dari rokok.

Tidak cukup sampai di sini, kalkulasi ekonomi juga banyak menyebutkan dampak negatif rokok bagi finansial. Melalui kalkulasi ekonomi, perokok menghabiskan setidaknya satu bungkus rokok dengan asumsi harga Rp. 10.000. Maka dalam hitungan 1 tahun, perokok menghabiskan setidaknya Rp. 3.660.000 dan Rp. 36.600.000 dalam sepuluh tahun. Dengan nominal yang demikian besar, akan lebih bijak apabila mengalokasikan uang rokok untuk keperluan-keperluan yang lebih pokok dan urgen.

Berbagai macam justifikasi buruk terhadap rokok nampaknya tidak berpengaruh terhadap kebiasaan masyarakat dalam menghisap asap tembakau yang satu ini. Merokok memang telah menjadi kebiasaan yang mendarah daging pada diri rakyat Indonesia, bahkan membudaya. Aturan tentang merokok, fatwa haram, dan asumsi kalkulasi sebagaimana disebutkan di atas tidak mampu membendung kebiasaan merokok pada diri masyarakat Indonesia. Menjadi lebih menarik ketika Nahdhatul Ulama (NU) sebagai salah satu organisasi masyarakat berbasis Islam juga tidak mau dengan ceroboh memberikan fatwa haram merokok meskipun para ulama dari NU juga sadar akan dampak negatif rokok.[1] Agaknya NU sadar betul akan konspirasi-konspirasi di balik fatwa medis dan fatwa beberapa ormas Islam yang terindikasi merupakan “fatwa pesanan” dan atau fatwa yang dibuat secara tergesa-gesa.

Membahas hukum rokok melalui tinjauan hukum Islam memang tidak bisa hanya menggunakan satu sudut pandang. Dalam menentukan hukum sasuatu (istinbath), fiqh memberikan banyak jalan (metode) dimana setiap metode bisa memiliki kesimpulan yang berbeda dengan metode yang lain. Sebut saja sumber hukum Islam (baik yang disepakati maupun tidak)[2], kaidah fiqhMaqashid Syariah, asbab an-Nuzul, asbab al-Wurud, Ta’wil al-Quran dan sebagainya. Perbedaan metode ini tidak lain merupakan bentuk rahmat dan kebijaksanaan dari syara’. Konsekuensinya, justifikasi terhadap sesuatu akan lebih bijak dan tidak merugikan kepentingan orang lain.

Rokok dan Kretek: Kajian Historis

Sebelum membahas sejarah rokok, agaknya perlu membahas perbedaan antara rokok dengan kretek. Dua kata ini identik sama, namun sejatinya memiliki perbedaan yang pokok. Persamaannya adalah bahwa keduanya merupakan tembakau yang dirajang (dicacah) dan dibakar kemudian dimanfaatkan asapnya untuk konsumsi dengan cara dihisap. Perbedaan antara rokok dan kretek adalah adanya campuran cengkeh pada kretek sehingga menimbulkan bunyi “kretek..kretek[3], serta saus-saus lain yang menjadi ciri khas rokok kretek.[4] Pada awalnya rokok kretek dikenal sebagai rokok cengkeh untuk membedakannya dengan rokok biasa (rokok tembakau tanpa campuran).

Konsumsi tembakau untuk merokok pertama kali dilakukan oleh etnis Indian di Amerika untuk keperluan ritual dan kemudian diimpor ke eropa hingga akhirnya sampai ke Nusantara pada abad ke XVII melalui penjelajah Portugis yang masuk ke Indonesia.[5] Pada Awalnya rokok memang merupakan konsumsi raja-raja dan identitas kebangsawanan, sebut saja Sultan Agung yang menjadi raja Mataram pada abad ke-16 merupakan perokok berat. Namun, seiring berjalannya waktu rokok menjadi konsumsi masyarakat umum.[6]

Kreatifitas bangsa Nusantara memang tidak dapat dipungkiri dan telah dikenal sejak zaman dahulu. Pun pada rokok yang menjadi objek eksperimen bangsa Nusantara di zaman dahulu. Adalah Haji Djamhari dari Kudus yang pada awalnya menemukan rokok kretek melalui eksperimennya.[7] Eksperimen ini berasal dari penderitaanya yang terkena penyakit dada (sesak nafas). Untuk mengobati penyakitnya, dia selalu menggosokkan minyak cengkeh ke dadanya dengan hasil kesembuhan yang baik. Terbersit dalam pikirannya untuk memasukkan ramuan cengkeh ke dalam tubuhnya dengan cara dikunyah. Semakin hari penyakitnya berangsur membaik. Inisiatif selanjutnnya, ia menjadikan cengkeh menjadi campuran tembakau untuk merokok, dan hasilnya di luar dugaan, penyakitnya sembuh total. Informasi ini menyebar luas dalam waktu yang relatif singkat hingga akhirnya rokok cengkeh mulai dikenal di masyarakat luas. Uniknya, rokok kretek pada masa itu di jual di toko obat sebagai obat penyakit batuk.[8]  Perlahan industri kretek menumbuhkan industri rumahan di Kudus karena mengikuti langkah Haji Djamhari.[9]

Industri kretek di Indonesia mengalami perkembangan yang pesat dengan ditandai eksistensi berbagai macam perusahaan rokok kretek yang berkibar. Sebagai contoh adalah Gudang Garam dan Djarum Super yang masih eksis dan masih merajai dunia rokok nasional. Tidak ketinggalan rokok kretek Bentoel, Sampoerna dan Cap Bal Tiga milik Nitisemito. Masih banyak merek-merek kretek lokal yang sebagian telah pasang surut bahkan bangkrut karena mengalami persaingan ketat dengan rokok lokal (kretek) maupun rokok putih.[10]Rokok putih sendiri merupakan rokok yang konon berasal dari Hongaria.[11] Rokok putih masuk ke Indonesia sekitar era 80-an dengan gencar dan melalui propaganda rokok elegan. Rokok putih menjadi simbol sosial karena dari segi kemasan, bungkus dan lintingan rokok putih lebih bersih dan rapi sehingga menimbulkan kesan elegan. Meski demikian, konsumsi kretek masih juga masih dilakukan meskipun dengan cara sembunyi-sembunyi karena alasan prestise (gengsi).

Konspirasi dan Politik Dagang Rokok

Pembahasan ini menurut penulis dirasa perlu mengingat industri rokok tidak sebatas berada dalam persaingan lokal, melainkan sudah mengglobal dan melintasi batas negara. Tidak menutup kemungkinan adanya beragam konspirasi dan propaganda untuk memuluskan misi para pelaku usaha dalam mencari keuntungan yang sebesar-besarnya. Secara sederhana dalam ruang yang lebih sempit dan sering kita temui dalam kehidupan sehari-hari, dimana pelaku usaha akan mendapatkan beragam isu dan wacana (baca: gosip) negatif dari pesaing bisnis dalam rangka membunuh “warung” lawan dan memperbesar “warung” sendiri. Begitupun pada industri-industri besar berskala nasional  maupun internasional. Industri rokok nasional juga tidak luput dari konspirasi dan propaganda demikian, tidak lain bermotif persaingan usaha.

Belajar dari sejarah, dimana pembunuhan industri nasional tidak hanya terjadi pada industri rokok kretek yang tengah terjadi. Kita punya pengalaman pahit  menjadi korban pembunuhan industri dalam persaingan bisnis internasional, sebut saja industri garam, kopra (kelapa), jamu dan gula. Garam dan kelapa adalah contoh yang sangat “lucu”, dimana di negara dengan bibir pantai terpanjang ke-2 di dunia mengimpor garam[12] dan masyarakatnya bukan menjadi konsumen minyak kelapa melainkan minyak sawit.[13] Usut punya usut, Indonesia pernah menjadi negara penghasil dan eksportir garam terbesar pada era 90an serta pernah menggantungkan komoditasnya pada industri kelapa sejak abad ke-18. Runtuhnya industri garam nasional bermula sejak Akzo Nobel, sebuah perusahaan multinasional, mengkampanyekan penggunaan garam beryodium di Indonesia. Kampanye ini kemudian diamini oleh berbagai macam peraturan perundang-undangan yang membuat standarisasi garam dan mengakibatkan semakin terpuruknya industri garam Nasional.[14]Tidak jauh berbeda, melalui fatwa medispun industri kelapa menjadi salah satu sasaran penghancuran. Tersebut pada era 90an, minyak goreng mandar pernah menjadi primadona industri minyak. Tidak lupa, pulau Selayar di selatan jazirah Sulawesi juga pernah menjadikan emas hijau (baca: kelapa) ini sebagai  komoditas utama pada 1930an dan 1960an. Namun semenjak muncul penelitian bahwa minyak jenuh seperti minyak kelapa dapat meningkatkan jumlah kolestrol dalam darah dan menyebabkan penyakit jantung, industri kelapa nasional perlahan menurun dan mencapai titik terburuk pada tahun 1990an. Beberapa lembaga dan organisasi dagang dan kesehatan melakukan kampanye tidak sehatnya minyak kelapa.[15] Namun, beberapa tahun belakangan muncul hasil riset yang menepis riset-riset lama yang memberikan stigma negatif terhadap kelapa dan menyebutkan keunggulan minyak kelapa.

Dapat disimpulkan bahwa minyak paling sehat adalah minyak kelapa karena mengandung asam lemak jenuh yang baik untuk kesehatan tulang, hati, paru-paru dan otak. Sedang asam lemak tak jenuh baik tunggal maupun ganda memiliki manfaat bagi kesehatan dengan syarat dikonsumsi tanpa dipanaskan.[16] Dengan demikian, meskipun penelitian terbaru menepis hasil riset lama, namun untuk kembali menghidupkan industri kelapa nasional adalah hal yang sulit mengingat industri kelapa nasional telah terlanjur terpuruk dan minimnya dukungan dari pemerintah. Nasib serupa juga dialami oleh gula dan jamu dengan dalih, modus dan metode yang kurang lebih sama.

Belajar dari sejarah perindustrian garam, kelapa, jamu dan gula, industri rokok juga agaknya mengalami hal serupa. Berbagai fatwa medis membeberikan stigma negatif terhadap rokok kretek merupakan upaya pembunuhan industri nasional dan kebudayaan lokal bangsa Indonesia. Keterpurukan ini bisa dibilang bermula dari munculnya rokok putih di Indonesia pada era 1960an yang dipelopori oleh BAT.

Dengan cepat, rokok putih telah menguasai 40% pasar rokok Indonesia. Dengan dukungan pemerintah pada masa itu, rokok kretek dapat berjaya kembali melalui berbagai mekanisme pembaharuan. Pada masa ini pula rokok kretek mulai menggunakan filter seperti rokok putih.[17]Namun pada tahun 1999 isu kontrol tembakau mulai muncul ke permukaan. Pembatasan iklan, kadar kandungan Tar dan Nikotin serta ruang merokok dilakukan. Industri kretek kian terpukul, namun tidak bagi Industri rokok putih (rokok asing) karena kadar Tar dan Nikotin rokok ini memang rendah. Pembatasan ini memunculkan reaksi protes keras dari Gappri dan Gaperindo.[18] Melalui pembatasan ini, Gappri dipaksa mengganti tembakau lokal dengan tembakau Virginia yang mengandung kadar Tar dan Nikotin lebih rendah. Namun, Gappri menolak karena khawatir pergantian komposisi ini dapat mengubah citarasa yang menjadi ciri khas rokok kretek. Karena pembatasan ini pula, Gappri menjadi curiga akan adanya konspirasi industri rokok putih untuk menghancurkan industri kretek nasional dengan membonceng isu kesehatan melalui slogan “low tar-low nikotin”.[19]

Selain itu, Abisham kembali mengutip pernyataan Wanda Hamilton yang menelanjangi persaingan bisnis tembakau ini melalui bukunya yang berjudul Nocotine War, bahwa perang melawan tembakau tidak terlepas dari kepentingan bisnis obat-obatan NRT (Nicotine Replacement Therapy)[20] yang gagal mempatenkan nikotin dalam tembakau. [21] Melalui program Tobacco Free Initiative dariWorld Health Organization (WHO-TFI) dan berbagai sponsor dan penggelontoran dana dari berbagai perusahaan farmasi Internasional[22], lahirlah WHO Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) sebagai landasan hukum internasional memerangi tembakau. FCTC yang lahir pada 1998 ini tercatat menjadi perjanjian yang memiliki pengaruh besar dalam sejarah PBB dan tercatat 172 negara yang telah meratifikasinya, termasuk Indonesia.

Rokok dalam Perspektif Hukum Islam

Melalui berbagai macam pertimbangan medis, penulis sangat sepakat terhadap hukum haram merokok. Berbagai macam penelitian ilmiah memang menyebutkan merokok memberikan madharat yang tidak sedikit baik pada perokok aktif maupun pasif. Meskipun secara tegas al-Quran dan hadis tidak menyebutkan dalil keharaman rokok, namun dalil madharat rokok sebenarnya sudah cukup untuk memberikan justifikasi haram terhadapnya.[23] Namun sebagaimana telah penulis sebutkan sebelumnya bahwa untuk menentukan hukum sesuatu akan menjadi tidak bijak bila hanya menggunakan satu kacamata saja. Sebab dalam tataran empirik, bahaya rokok tidak menjangkit semua orang (baik perokok aktif maupun pasif). Di sisi lain, dengan melihat pertimbangan mashlahat dapat diketahui bahwa industri rokok menyumbang devisa kepada negara dengan jumlah yang tidak sedikit.[24] Berkaitan dengan bahaya merokok terhadap kesehatan individu, hukum haram rokok juga tidak dapat digeneralisir kepada setiap person (individu) mengingat kondisi tubuh individu yang berbeda serta reaksi dari asap rokok yang berbeda pula. Memang banyak orang yang terkena penyakit karena merokok, namun jumlah perokok aktif yang tidak terkena penyakit juga tidak sedikit dan tidak boleh diabaikan (harus ikut diperhitungkan). Artinya hukum haram merokok tidak bisa digeneralisir dan harus menyesuaikan dengan kondisi masing-masing individu sebagaimana kaidah fiqh yang berbunyi:

الحكم يدر مع علته وجودا او اداما[25]

Pembicaraan seputar hukum merokok menjadi lebih menarik saat beberapa ulama seperti Syaikh Ikhsan Jampes dan al-Bajuri yang tidak memberikan hukum haram secara mutlak. Hukum merokok tidak bisa digeneralisir dan dapat berubah tergantung pada konteks hukumnya. Penjelasan lebih rinci antara lain sebagai berikut:

  1. Hukum rokok adalah haram apabila secara terang memberikan dampak negatif terhadap kesehatan, keuangan dan sebagainya. Hal ini disebabkan karena rokok membawa pada kerusakan, kemafsadatan dan kemadharatan.
  2. Hukum Rokok adalah makruh apabila membawa dampak negatif namun tidak terlalu signifiakan. Artinya merokok akan lebih baik apabila ditinggalkan, namun tetap boleh dilakukan.
  3. Hukum Rokok adalah mubah apabila memang tidak membawa dampak apa-apa (baik positif maupun negatif). Hal ini disebabkan karena hukum asal segala sesuatu adalah mubah sepanjang tidak ada aturan nash yang mewajibkan atau mengharamkan.[26]
  4. Hukum Rokok adalah Sunnah, apabila rokok dapat membawa pada kemanfaatan namun kemanfaatan bisa diperoleh dari hal lain selain rokok.
  5. Hukum Rokok adalah wajib apabila rokok membawa pada kesempurnaan sesuatu yang wajib. Sebagai contoh, merokok dibawah ancaman apabila merokok akan dibunuh dan sebagainya.[27]

Selain itu, Bahtsul Masail Nahdlatul ulama juga menyebutkan berbagai macam ulasan illat hokum merokok sebagai berikut:[28]

  1. Sebagian besar ulama’ terdahulu berpandangan, bahwa merokok itu mubah atau makruh. Mereka pada masa itu lebih bertendensi pada bukti, bahwa merokok tidak membawa mudarat, atau membawa mudarat tetapi relatif kecil. Barangkali dalam gambaran kita sekarang, bahwa kemudaratan merokok dapat pula dinyaakan tidak lebih besar dari kemudaratan durian yang jelas berkadar kolesterol tinggi. Betapa tidak, sepuluh tahun lebih seseorang merokok dalam setiap hari merokok belum tentu menderita penyakit akibat merokok. Sedangkan selama tiga bulan saja seseorang dalam setiap hari makan durian, kemungkinan besar dia akan terjangkit penyakit berat.
  2. Berbeda dengan pandangan sebagian besar ulama’ terdahulu, pandangan sebagian ulama sekarang yang cenderung mengharamkan merokok karena lebih bertendensi pada informasi (bukan bukti) mengenai hasil penelitian medis yang sangat detail dalam menemukan sekecil apa pun kemudaratan yang kemudian terkesan menjadi lebih besar. Apabila karakter penelitian medis semacam ini kurang dicermati, kemudaratan merokok akan cenderung dipahami jauh lebih besar dari apa yang sebenarnya. Selanjutnya, kemudaratan yang sebenarnya kecil dan terkesan jauh lebih besar itu (hanya dalam bayangan) dijadikan dasar untuk menetapkan hukum haram. Padahal, kemudaratan yang relatif kecil itu seharusnya dijadikan dasar untuk menetapkan hukum makruh. Hal seperti ini kemungkinan dapat terjadi khususnya dalam membahas dan menetapkan hukum merokok. Tidakkah banyak pula makanan dan minuman yang dinyatakan halal, ternyata secara medis dipandang tidak steril untuk dikonsumsi. Mungkinkah setiap makanan dan minuman yang dinyatakan tidak steril itu kemudian dihukumi haram, ataukah harus dicermati seberapa besar kemudaratannya, kemudian ditentukan mubah, makruh ataukah haram hukumnya.
  3. Hukum merokok itu bisa jadi bersifat relatif dan seimbang dengan apa yang diakibatkannya mengingat hukum itu berporos pada ‘illah yang mendasarinya. Dengan demikian, pada satu sisi dapat dipahami bahwa merokok itu haram bagi orang tertentu yang dimungkinkan dapat terkena mudaratnya. Akan tetapi merokok itu mubah atau makruh bagi orang tertentu yang tidak terkena mudaratnya atau terkena mudaratnya tetapi kadarnya kecil.
  4. Kalaulah merokok itu membawa mudarat relatif kecil dengan hukum makruh, kemudian di balik kemudaratan itu terdapat kemaslahatan yang lebih besar, maka hukum makruh itu dapat berubah menjadi mubah. Adapun bentuk kemaslahatan itu seperti membangkitkan semangat berpikir dan bekerja sebagaimana biasa dirasakan oleh para perokok. Hal ini selama tidak berlebihan yang dapat membawa mudarat cukup besar. Apa pun yang dikonsumsi secara berlebihan dan jika membawa mudarat cukup besar, maka haram hukumnya. Berbeda dengan benda yang secara jelas memabukkan, hukumnya tetap haram meskipun terdapat manfaat apa pun bentuknya karena kemudaratannya tentu lebih besar dari manfaatnya.

Kesimpulan

Pada akhirnya kita tidak bisa melihat suatu permasalahan dari satu kacamata saja. Penulis sangat sepakat apabila ada yang mengatakan bahwa rokok dalam kacamata fiqh hukumnya haram karena alasan kesehatan. Namun  penulis sangat tidak sepakat apabila hukum haram rokok kemudian menjadi kaku, diabsolutkan dan tidak dapat berubah. Berbagai macam pertimbangan dari mashlahat, madharat, illat hukum, politik dagang dan sebagainya sudah cukup menjadi pelajaran bagi kita bahwa menjustifikasi rokok dengan melulu kesan negatif adalah sikap yang tidak bijak karena mengabaikan aspek-aspek lain dari rokok. Dengan kajian ini diharapkan akan muncul sikap saling menghargai antara perokok dan yang tidak merokok mengingat sebuah teori hanya dianggap sebagai sebuah kebenaran sebelum ada teori lain yang meruntuhkannya. Sikap tidak adil kita dalam menjustifikasi rokok dikhawatirkan akan menjadi bumerang bagi diri, agama maupun negara kita sendiri.

 

 

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Dahlan, Abdurrahman, Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010.

Abisham, dkk. Membunuh Indonesia (Konspirasi Global Penghancuran Kretek). Jakarta: Kata-Kata

Ma’arif, Samsul, Kaidah-Kaidah Fiqh.Bandung: Pustaka Ramadhan, 2005.

 

Internet dan lain-lain

http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,15696-lang,id-c,syariah-t,Bahtsul%2BMasail%2Btentang%2BHukum%2BMerokok-.phpx+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id, akses tanggal 15 Juni 2015dan pada 24 juni 2015.

http://kbbi.web.id/keretek, akses pada 21 Juni 2015

https://id.wikipedia.org/wiki/Kretek, akses pada 21 Juni 2015.

https://id.wikipedia.org/wiki/Rokok_filter, akses pada 21 juni 2015).

http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/31/174159426/Tahun.Ini.Impor.Garam.Cuma.Separuh, akses pada 24 juni 2015)

http://www.antaranews.com/berita/487732/garis-pantai-indonesia-terpanjang-kedua-di-dunia, akses 24 juni 2015).

 http://rumahkanker.com/pencegahan/pencegahan/69-minyak-goreng-yang-aman, askses pada 24 Juni 2015.

http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/04/26/391537/penyumbang-devisa-terbesar-menperin-perjuangkan-industri-rokok , akses 15 Juni 2015).

 

[1] Lebih lengkap baca http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,15696-lang,id-c,syariah-t,Bahtsul%2BMasail%2Btentang%2BHukum%2BMerokok-.phpx+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id, akses tanggal 15 Juni 2015.

[2] Sumber Hukum Islam yang disepakati meliputi al-Qur’an, hadis, ijma’ danqiyas. Sedang sumber hukum Islam yang tidak disepakati meliputi istihsan, istishab, istishlah (maslahah mursalah), ‘urf, sadz adz-dzariah, madzhab sahabi, syar’u man qablana dan sebagainya. Penjelasan lebih lengkap lihat buku Abdurrahman Dahlan, Ushul Fiqh. Jakarta: Amzah, 2010. Hal. 113 – 241.

[3] Dalam Kamus besar bahasa indonesia menyebutkan bahwa kata “kretek” berasal dari “ke-re-tek” yang berarti bunyi daun terbakar. Makna lain adalah kretek merupakan rokok yang tembakaunya dicampuri serbuk cacahan cengkeh. (http://kbbi.web.id/keretek, akses pada 21 Juni 2015)

[4] Lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Kretek, akses pada 21 Juni 2015.

[5] Berawal dari Christoporus Colombus yang ingin menuju kota legendaris di benua barat (China dan Jepang) karena mendengar kisah dari teman-teman pelautnya. Alih-alih sampai di benua barat, Colombus malah mendarat di benua Amerika (tepatnya San Salvador, Kep. Bahama) dan menemukan masyarakat Indian yang memiliki kebiasaan menghisap tembakau untuk keperluan ritual. Sepulangnya Colombus dari san Salvador, dia membawa tembakau dan tanaman lain yang tidak dikenal di daerahnya, hingga pada perempat akhir abad ke 16 tembakau mulai dikenal di Eropa dan menjadi konsumsi dan identitas bangsawan. Dari Portugis, tanaman tembakau dibawa ke Indonesia dan ditanam secara besar-besaran oleh Belanda di Jawa, Sumatra, Bali dan Lombok. (Lihat buku Abisham, dkk. Membunuh Indonesia (Konspirasi Global Penghancuran Kretek). Jakarta: Kata-Kata. Hal. 31-32)

[6] Ibid, hal. 35.

[7] Sebelum kretek, sebenarnya masih banyak rokok-rokok lain yang telah menyebar dan menjadi konsumsi rakyat seperti  klobot (tembakau dengan bungkus daun jagung kering), klembak menyan, rokok kawung (aren) dan sebagainya.

[8] Entah mitos atau bukan, yang jelas kepercayaan masyarakat tentang kretek sebagai obat batuk masih ada hingga sekarang. Banyak perokok yang membuktikan bahwa batuk dapat disembuhkan melalui konsumsi rokok kretek.

[9] Ibid, hal. 65 -67.

[10] Ibid, hal 70-72.

[11]  Rokok putih ditemukan oleh Boris Aviaz pada 1925, yang membedakan adalah tidak adanya campuran tembakau sebagaimana rokok kretek dan disertai dengan filter. Konon rokok ini lebih sehat karena mengandung kadar Tar dan Nikotin yang lebih rendah. (lihat https://id.wikipedia.org/wiki/Rokok_filter, akses pada 21 juni 2015).

[12] Impor garam di tahun 2014 konon mencapai 2 juta Ton, lebih baik di tahun 2015 karena impor garam menurun (dipangkas) 50% dalam rangka swasembada garam nasional. (lihat http://bisniskeuangan.kompas.com/read/2015/03/31/174159426/Tahun.Ini.Impor.Garam.Cuma.Separuh, akses pada 24 juni 2015)

[13] Indonesia memiliki garis pantai sepanjang sekitar 99.093 km dan merupakan yang terpanjang kedua setelah kanada. (lihat http://www.antaranews.com/berita/487732/garis-pantai-indonesia-terpanjang-kedua-di-dunia, akses 24 juni 2015). Dengan pantai yang sedemikian panjangnya, Indonesia berpotensi menjadi negara penghasil garam dan kelapa terbesar di dunia mengingat garam dan kelapa menjadi komoditas masyarakat pesisir selain perikanan.

[14] Berbagai macam peraturan perundang-undangan itu antara lain: KepPres No. 69 tahun 1994 yang dijabarkan dengan SK Kemenperin No. 29/M/SK/2/1995 dan No. 77/M/SK/5/1995. Taring Akzo Nobel ini memang dikarenakan keberhasilan merangkul UNICEF dan seolah memaksa pemerintah kita membuat standarisasi terhadap garam. (lihat Abisham, Op.Cit. Hal.14-15)

[15] Lembaga yang dimaksud seperti American Soybean Association (ASA),Corn Product Company (CPC International), Food and Drug Administration (FDA USA), Center for Science in the Public Interest (CSPI), American Heart Savers Association (AHSA) diikiuti oleh FAO melalui Codex Alimentarius. (lihat Abisham, Op.Cit.Hal. 5 -7)

[16] Lebih lengkap lihat http://rumahkanker.com/pencegahan/pencegahan/69-minyak-goreng-yang-aman, askses pada 24 Juni 2015.

[17] Abisham, Op.Cit. Hal. 96.

[18] Gappri merupakan singkatan dari Gabungan Perserikatan Pabrik rokok Indonesia yang mewakili  industri kretek, ssedang Gaperindo merupakan singkatan dari gabungan Pengusaha rokok Putih Indonesia.

[19] Abisham, Op.Cit. Hal 107-108.

[20] Produk NRT antara lain permen karet nikotin, koyok, zyban, obat hirup dan sebagainya yang merupakan produk-produk untuk menghentikan kebiasaan merokok.

[21] Sudah menjadi rahasia umum bahwa nikotin mempunyai manfaat medis yang beragam. Namun karena secara alami terkandung dalam tembakau, nikotin tidak dapat dipatenkan sehingga mendorong perusahaan farmasi untuk melakukan riset bahaya tembakau.

[22] Beberapa perusahaanyang dimaksud antara lain: Pharmacia Upjohn, Novartic, Glaxowelcome, Smith Kline Beecham, Pfizer dan Johnson&Johnson. Penggelontoran dana untuk program FCTC ini diduga dilakukan untuk memerangi tembakau dan merupakan salah satu strategi marketing produk-produk anti merokok.

[23] Dalil yang sering digunakan untuk mengharamkan rokok adalah ayat al-Qur’an yang melarang manusia membawa dirinya pada kerusakan, kemafsadatan dan kemadharatan, yakni QS. Al-Baqarah (2): 195 yang artinya “Dan janganlah kamu menjatuhkan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan, dan berbuat baiklah, karena sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berbuat baik”.

[24] Devisa negara yang didapat dari rokok pada tahun 2014 adalah sebesar Rp. 140 Triliyun dan berhasil menyerap sekitar 6,1 juta tenaga kerja. Dibanding dengan Minyak dan Gas Bumi (Migas), industri rokok menyumbang devisa negara yang jauh lebih besar. (lihat http://ekonomi.metrotvnews.com/read/2015/04/26/391537/penyumbang-devisa-terbesar-menperin-perjuangkan-industri-rokok , akses 15 Juni 2015).

[25] Kaidah ini berarti “hukum menyesuaikan ada atau tidak adanya illat hukum”. Lihat buku Samsul Ma’arif, Kaidah-Kaidah Fiqh.Bandung: Pustaka Ramadhan, 2005. Hal. 59.

[26] Kaidah fiqh yang dimaksud adalah   الاصل الاشياء الاباحه   Samsul Maarif, Op.Cit. Hal. 19.

[27] Hal ini sesuai dengan kaidah fiqh yang berbunyi   ما لا يتم الواجب الا به فهو واجب   Samsul Maarif, Op.Cit. Hal. 61.

[28] Lihat http://www.nu.or.id/a,public-m,dinamic-s,detail-ids,11-id,15696-lang,id-c,syariah-t,Bahtsul%2BMasail%2Btentang%2BHukum%2BMerokok-.phpx+&cd=1&hl=id&ct=clnk&gl=id, akses tanggal 24 Juni 2015.

Tinggalkan Balasan