PERTANIAN

Kretek dan Sirih sebagai Perlawanan

Ketika menginjak usia sekolah dasar dan kerap berkunjung ke kediaman kakek dan nenek saya –yang berjarak sekitar 500 meter saja dari rumah orang tua saya, saya selalu tertarik memandang benda-benda unik yang diletakkan di meja ruang keluarga. Sebuah wadah berbentuk kerucut berwarna emas berbahan kuningan berisi daun sirih, dan beberapa wadah kecil yang mengelilingi wadah utama, tiap wadah berisi kapur, pinang, gambir dan tembakau yang telah di rajang. Buyut saya (ibu dari kakek) dan adik perempuan dari kakek saya adalah dua orang yang kerap meracik bahan-bahan yang ada dalam wadah-wadah itu.

Satu atau dua helai daun sirih mereka ambil, kemudian kapur dioleskan ke daun sirih. Selanjutnya gambir dan pinang diletakkan di tengah daun sirih. Sirih yang sudah dicampur bahan-bahan tersebut mereka gulung untuk kemudian dikunyah. Terkadang tembakau rajang ikut dalam racikan. Lebih sering tembakau dikunyah sendiri usai racikan sirih tersebut mereka kunyah. Sesekali saya minta untuk mencoba, dengan senang hati mereka mengizinkan saya mencoba. Baru sebentar mengunyah, saya lekas melepeh apa yang saya kunyah karena rasanya yang asing bagi mulut kecil saya.

Sebuah wadah besar yang dikenalkan kepada saya dengan nama tempolong selalu tersedia ketika mereka menyirih. Gunanya untuk menampung ludah berwarna kemerahan yang sesekali mereka keluarkan ketika menyirih. Hingga saat ini, peralatan lengkap untuk ritual menyirih sehari-hari masih tersimpan di kediaman kakek saya. Namun peralatan itu sudah tidak lagi digunakan selepas wafatnya ibu dari kakek disusul adik perempuan kakek. Peralatan tersebut kini sebatas sebagai hiasan semata.

Saya kembali teringat peralatan dan ritual menyirih di rumah kakek saya itu selepas membaca makalah berjudul ‘Kapur Sirih, Tembakau, dan Kretek: Tinjauan Sistem Pemaknaan’ yang ditulis oleh Melissa C. Mitchell.

Tradisi menyirih yang dilakukan masyarakat Nusantara sudah ada jauh sebelum penjajah Belanda datang ke Nusantara. Pada awalnya, tradisi menyirih dilakukan untuk mengisi waktu senggang sembari bercengkerama dengan keluarga dan tetangga. Selain itu, dalam setiap ritual spiritual yang transenden, sirih dan kawan-kawan selalu tersedia sebagai bahan perlengkapan sesaji. Masyarakat Nusantara memanfaatkannya sebagai pelengkap upacara keagamaan yang rutin mereka lakukan.

“Lewat budidaya sirih, masyarakat secara aktif mempermudah hubungan antara alam materi dan spiritual.” Tulis Mitchell dalam makalahnya. Menurut Rooney, masih dalam makalah yang ditulis Mitchell, kapur sirih dan nasi adalah sesajen yang biasa digunakan untuk menjalin hubungan dengan para leluhur. Sesajen sirih terdapat dalam praktik ritual keagamaan Buddha, Hindu, dan agama-agama pribumi di seluruh Nusantara.

Pada praktik selanjutnya, menyirih juga digunakan sebagai bentuk pengobatan di Nusantara. Dalam peristiwa kehamilan dan kelahiran misal, seorang dukun bersalin akan meludahkan air liur sirih untuk dioleskan ke perut ibu hamil agar memudahkan proses persalinan dan meludahkannya juga ke tubuh bayi yang baru dilahirkan.

Saat penjajah Belanda datang dan mengkoloni wilayah-wilayah di Nusantara, klaim tunggal untuk kebersihan dan estetika mereka memandang buruk tradisi menyirih yang dilakukan masyarakat Nusantara. Ludah dari orang-orang yang menyirih, serta tampilan mulut dan bibir mereka yang menyirih dianggap kotor dan merusak pemandangan. Aktivitas menyirih dicemooh, penertiban-penertiban dilakukan, kemudian mengisap tembakau diperkenalkan untuk mengganti kebiasaan menyirih masyarakat. Pada akhirnya, kebiasaan menyirih dijadikan simbol perlawanan dan penolakan terhadap penjajah Belanda.

Menjadi sesuatu yang umum meludahkan air liur hasil menyirih ke gaun-gaun perempuan Belanda yang merupakan istri dari pejabat Belanda ketika mereka berkunjung ke pasar. Ini dimaksud sebagai simbol perlawanan dan penolakan kehadiran mereka ke Nusantara. Bentuk perlawanan menggunakan sirih yang paling terkenal dan tercatat dalam sejarah adalah apa yang dilakukan oleh I Gusti Ketut Jelantik, seorang patih di Bali. Ia meludahkan sirih ke surat izin berlayar Belanda sebagai bentuk pernyataan perang kepada pihak Belanda. Pada masa itu, sirih dan aktivitas menyirih adalah bentuk ekspresi kemarahan terhadap kolonial Belanda.

Ketika aktivitas menyirih pelan-pelan dilarang dan digantikan dengan aktivitas mengisap tembakau, ragam bentuk perlawanan baru kembali muncul. Awalnya secara tidak sengaja, Djamhari yang sakit asma mencampur tembakau dengan cengkeh untuk mengobati penyakitnya. Ternyata apa yang Ia lakukan itu efektif, penyakitnya bisa disembuhkan dengan rutin mengonsumsi tembakau yang dicampur dengan cengkeh.

Perlawanan awal adalah lewat penamaan. Masyarakat ketika itu menolak penamaan yang diberikan oleh pihak Belanda terhadap temuan baru itu, mereka lebih memilih menamakan temuan itu dengan ‘kretek’ sesuai dengan bunyi yang ditimbulkan ketika campuran tembakau dan cengkeh dibakar kemudian diisap. Penemuan kretek ini kemudian menjadi penerus sirih sebagai simbol perlawanan terhadap kolonial. Kretek ketika itu langsung diposisikan untuk berhadapan dengan rokok putih yang biasa dikonsumsi penjajah Belanda.

Lewat produksi kretek ini pula bentuk perlawanan industri terhadap Belanda dilakukan. Industri rumahan yang memproduksi kretek berkembang pesat di Kudus, kemudian Malang dan Kediri sebagai bentuk perlawanan terhadap industri yang dikembangkan kolonial di Nusantara.

Dalam sepuluh hingga limabelas tahun terakhir, ketika ramai kampanye antirokok yang pada dasarnya semata untuk menekan industri kretek di Indonesia, perlawanan yang dilakukan industri kretek pra-kemerdekaan saya kira menemukan medan perjuangan baru. Antirokok lewat FCTC saya kira tidak murni sebagai usaha untuk mengerem konsumsi rokok. Ia lebih bertujuan agar kretek yang menjadi ciri khas Nusantara dan menjadi konsumsi terbesar produk tembakau di Indonesia diredam pangsa pasarnya. Lewat FCTC yang terus menerus didengungkan agar Indonesia meratifikasi undang-undang FCTC yang membatasi kandungan produk rokok, kretek hendak disingkirkan.

Mengapa hendak disingkirkan? Karena jelas, konsumen produk kretek di Indonesia tinggi dan ini adalah pasar yang menggiurkan bagi industri produk tembakau. Lalu jika kretek tersingkir, sudah barang tentu rokok putih tak ada pesaing. Jika ini terjadi, bisa ditebak dengan mudah siapa yang akan meraup keuntungan dari hilangnya produk kretek di Indonesia.

Tinggalkan Balasan