PERTANIAN

Kritik untuk Bu Mega

Pidato Megawati dalam pembukaan Kongres PDIP pekan lalu, menarik kita simak. Selain diduga banyak orang mengekspresikan ketegangan hubungan politik antara Presiden Jokowi dan Megawati beserta PDIP, jika didedah lebih mendalam sebenarnya juga mencerminkan paradoks logika kekuasaan dalam bingkai demokrasi multipartai dan pemerintahan sistem presidensial.

Ini terlihat dalam pidato yang menyoroti hubungan presiden, wakil presiden, dan partai pendukungnya itu, Megawati menggarisbawahi pentingnya “Presiden menjalankan garis politik partai karena kebijakan partai segaris dengan rakyat”. Pidato itu juga menandaskan bahwa, bagaimanapun Presiden Jokowi adalah petugas partai. Maka kebijakan Presiden Jokowi harus seiring sejalan dengan instruksi dan garis ideologis partai.

Setidaknya ada empat poin kritis dapat kita cermati. Aspek kritis pertama yaitu, Megawati tampaknya lupa bahwa bentuk pemerintahan adalah sistem presidensialisme dan bukan parlementerisme. Dalam sistem presidensialisme, meskipun presiden diusung oleh partai atau gabungan partai, namun posisi institusi presiden secara konstitusional berkedudukan lebih tinggi daripada partai. Merujuk pasal 10, 11, 12, 13, 14, dan 15 UUD 1945, posisi presiden jelas bukan hanya Kepala Pemerintahan melainkan Kepala Negara sekaligus. Presiden selaku Kepala Negara adalah simbol nasional bangsa Indonesia. Terlebih sejak 2004 seorang presiden notabene dipilih dengan mekanisme pemilihan secara langsung oleh rakyat (popular elected).

Dalam sistem ini seorang presiden, termasuk Presiden Jokowi, sebenarnya secara konstitusional bisa dikata tidak bertanggungjawab kepada lembaga parlemen, lebih-lebih kepada organisasi kepartaian. Dengan demikian pada sistem presidensial seharusnya menjadi lebih mudah seorang presiden mengimplementasikan diktum politik John F. Kennedy ”my loyality to the party end when loyality to the state began”. Diktum ini menegaskan, seorang presiden hendaknya memperjuangkan kepentingan seluruh rakyat dan bukan hanya kepentingan golongan atau partai-partai pendukungnya. Dikatakan lebih mudah karena dalam sistem ini, Presiden bukan bagian dari parlemen, berkedudukan setara, dan tidak dapat diberhentikan oleh parlemen, kecuali melalui pemakzulan (impeachment).

Sementara mekanisme pemakzulan Presiden merujuk Pasal 7B UUD 1945  harus melalui forum previlegiatum di MK (Mahkamah Konstitusi). Dengan begitu presiden tidak lagi bisa diberhentikan berdasarkan alasan-alasan politis semata seperti pada kasus Presiden Gus Dur, melainkan harus benar-benar terbukti secara hukum bersalah melakukan pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, sehingga dianggap tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden.

Sistem presidensial memiliki karakteristik berbeda dengan pemerintahan sistem parlementer. Di sini lembaga parlemen atau legislatif memiliki kewenangan mengangkat atau menghentikan perdana menteri. Dalam hal ini, pemerintah bisa dikata hanyalah sekadar gerbong atau representasi parlemen. Sehingga seorang perdana menteri atau kanselir selaku Kepala Pemerintahan beserta jajaran menteri kabinet yang dipimpinnya bertanggungjawab sepenuhnya kepada DPR. Oleh karena itu sistem parlementer sejak dulu memiliki tradisi dapat menjatuhkan pemerintah melalui mosi tidak percaya atau karena alasan-alasan politis.

Pidato Megawati baru menjadi lebih relevan dan kontekstual dalam sistem parlementer. Namun serta merta menjadi dislokasi secara politis ketika dikontekskan pada ruang sistem presidensial. Baik itu dalam kerangka Presiden Jokowi harus menjalankan garis politik partai maupun hanya berposisi sebagai petugas partai.

Aspek kritis kedua yaitu, pidato Megawati mengesankan diri sebagai representasi sebuah partai yang berhasil mendulang suara mayoritas. 18,95% perolehan suara PDIP pada Pileg 2014 tentu sangat jauh merepresentasikan jumlah seluruh rakyat Indonesia. Mega menyederhanakan persoalan ketika mengatakan, “kehendak partai sejalan dengan kehendak rakyat”. Ia seolah-olah menutup mata terhadap banyaknya kepentingan individual yang mengeram di balik partai. Sementara, merujuk pendapat Kwik Kian Gie, mantan Ketua Litbang PDIP, suka-atau-tidak-suka justru PDIP-lah terbukti merupakan partai terkorup. Mudah diduga, dalam pidatonya Megawati secara over confident tengah mengklaim mewakili kesemestaan politik orang banyak.

Ketiga, paradoks substansi ‘isi’ pidato Megawati tentu bukanlah muncul dari ruang hampa, melainkan sebenarnya lahir dari rahim perpaduan sistem presidensial dan struktur multiparti yang telah menciptakan logika kekuasaan yang paradoks. Kekhawatiran terhadap model sistem presidensial a-la negara otoriterian Orde Baru kemudian memunculkan antitesanya, yaitu pergeseran dari ‘executive heavy’ menjadi ‘legislative heavy’ dengan akibat sistem presidensial berjalan tidak efektif.

Celakanya kekuatan politik di parlemen sebagai hasil pemilu paska Orde Baru cenderung terdistribusi merata. Sebagaimana hasil Pemilu 1955, empat kali pemilu legislatif yaitu tahun 1999, 2004, 2009, dan 2014 praktis gagal menghasilkan perolehan suara partai pemenang dengan hasil suara mayoritas. Konsekuensinya sebuah partai atau gabungan partai yang berhasil memenangkan pilpres harus melakukan koalisi, baik di pemerintahan maupun di parlemen. Celakanya lagi, karena partai-partai cenderung berpolitik tanpa ideologi alias bersifat pragmatis, maka ikatan politis yang terbangun akhirnya bersifat rapuh. Praktik sistem presidensial di atas fondasi struktur politik multipartai yang pragmatis, merujuk tulisan Hanta Yuda, akhirnya menciptakan sistem presidensial yang kompromis (compromise-presidentialism).

Muara sistem presidensial yang kompromis tentu membawa konsekuensi lebih jauh. Yaitu, keempat, ikatan politis menjadi lebih terbentuk didasarkan pada agregasi kepentingan pragmatisme dan skema like and dis-like secara personal, ketimbang sebuah persekutuan gagasan atau ideologi. Fenomena kutu loncat atau perpecahan partai karena rivalitas atau sengketa personal nampak sering mengemuka. Jika tendensi ini “benar” dan menjadi sebuah keniscayaan wajah politik kita, bukan mustahil ke depan atmosfir apatisme masyarakat luas terhadap keberadaan partai semakin menggumpal kuat.

Dalam konteks isu deparpolisasi atau menguatnya sentiment anti partai yang disinggung dalam pidato Ketum PDIP di Bali, nampaknya justru Megawati dan PDIP harus terlebih dahulu merefleksikan diri secara jujur dan obyektif serta berbenah secara mendasar, ketimbang buru-buru menuding adanya kerumunan orang-orang liberalis yang sengaja mendesain munculnya gerakan anti partai.

Tinggalkan Balasan