CUKAI

Lokalisasi Indonesia di Kampung Saya

Hari-hari ini, tema nasionalisme barangkali terasa kian genting, tapi juga makin seksi. Orang-orang kampus kerap kerepotan—atau malah bergabung—dengan proyek “akhir sejarah”, “kampung global”, atau “gelombang ketiga”. Banyak aktivis kemanusiaan mengkhawatirkan maraknya kekerasan dan pemaksaan yang meruak di mana-mana. Para penganjur agama puyengmeladeni fundamentalisme agama. Sastrawan dan seniman banyak yang kembang-kempis menghidupi khazanah budaya. Dan semacamnya. Dan seterusnya. Semuanya menyimpan asumsi yang sama, betapapun kecilnya, Indonesia mungkin masih ada.

Maka, kemurungan sering jadi tempat harapan bisa dilahirkan. Kadang ia jadi tujuan, kadang jadi pembenaran. Sebutlah, kini, tengah terjadi banjir produk-produk luar negeri. Apa saja diimpor mulai gadget canggih Blackberry hingga barang sederhana macam peniti. Di sisi lain, yang dilanggengkan Pemerintah justru “ekspor” TKI. Di banyak tempat, gairah produksi seperti mati-kutu, sementara syahwat konsumsi justru terus terpacu. Dalam suasana selesu itu, pekik Industri rokok sebagai satu-satunya industri nasional yang menegakkan kedaulatan ekonomi jelas terdengar merdu.

Dan itulah yang membuat Pak Toha terhenyak sore itu. Pak Lurah tengah berpidato. Ia mengajak berdemonstrasi ke Senayan. Kata Pak Lurah, mereka yang memberangus rokok ialah antek kepentingan asing, yakni bisnis farmasi. Memberangus rokok dan tembakau sama artinya dengan menginjak harga diri bangsa Indonesia. Ayo lawan Jakarta, ayo selamatkan Indonesia. Demikian kurang lebih isi orasi Pak Lurah yang juragan tembakau di depan warga-warganya yang petani dan buruh tembakau. Agitasi Pak Lurah nyatanya berhasil memantapkan hati orang macam Pak Toha. Dua hari berselang, ia ikut bergegas ke Jakarta, berunjuk rasa menentang RPP Tembakau bersama ribuan petani lainnya. Baginya kini, tembakau bukan hanya soal untung-rugi dan hidup-mati, tapi juga harga diri.

Melalui tulisan ini, saya hendak berbagi refleksi. Melihat Indonesia dari kampung, sungguh mengasyikkan. Kisah  kekagetan Pak Toha jelas sesuatu yang mewah. Di kampung saya dan sepanjang lekuk lereng Sumbing-Sindoro di kawasan Temanggung, seperti halnya pasokan elpiji, nasionalisme adalah barang langka. Saya lantas bertanya, benarkah di kampung ini orang-orang masih punya Indonesia?

Saya menggunakan kata kampung karena nuansa semantiknya. Ia terasa lebih leluasa daripada, misal, kata nagari atau desa. Kata kampung jauh dari kesan birokratis. Ia lebih berkaitan dengan kolektivitas. Pendek kata, kampung mengandung makna yang bukan hanya aku dan kau, tapi juga kita. Lantas, bagi saya, menatap Indonesia dari kampung-kampungnya ialah menyaksikan aneka gejolak dan permai panorama.

Membincangkan nasionalisme boleh jadi terlampau elit. Bagaimana tidak elit, jika di tengah hidup yang sudah serba sulit, orang masih sempat bicara perkara-perkara di langit. Untunglah, saya punya tetangga yang seorang veteran zaman revolusi. Ia punya rumusan, “Indonesia itu ibarat hajatanbesar. Yang punya hajat itu rakyat, pemerintah itu panitianya.”

“Sayangnya,” ia melanjutkan, “mereka yang jadi panitia Indonesia sudah terlalu lama merampas apa saja dalam hajatan besar ini. Yang mestinya dilayani, justru jadi pelayan. Coba kamu pikir,” ujarnya setengah bercanda-setengah serius, “sekarang ini yang ngurusi hajatan malah merasa pemilik tunggal hajatan ini. Makan-makan sendiri, ongkang-ongkang sendiri, dan kemudian malah buang hajat di muka rakyat sang pemilik hajat sejati!”

Saya tertawa getir. Ungkapan-ungkapan itu memperlihatkan akurasi dan presisi. Pada masa-masa sebelum era reformasi, Indonesia yang hadir di kampung saya adalah penyeragaman paksa. Apa saja yang diatasnamakan Indonesia terlalu lama perkasa untuk menentukan segalanya. Semuanya seolah sudah dipikirkan pemerintah, mulai bibit dan komoditas yang harus ditanam, pupuk dan pestisida yang wajib digunakan, organisasi yang harus diikuti, hingga soal cat dinding yang semuanya nyaris kuning. Indonesia lantas jadi identik dengan pemerintah itu sendiri—yang punya kuasa atas bedil. Salah satu akibatnya, Indonesia jadi susah dibedakan dari Jakarta. Sisa-sisa jaman itu bukan hanya masih membekas, bahkan mengakar.

Menafsir Balik Indonesia

Jika budaya ialah rumah pikir bagi penghuninya, budaya Indonesia di kampung saya boleh jadi memang ada meski tidak sepenuhnya. Pada paruh 1980-an, Budayawan Emha Ainun Nadjib memperkenalkan konsepsi “Indonesia bagian penting dari desa saya”. Ia melihat Indonesia mewujud dalam sejumlah perilaku orang-orang di desanya. Itu terlihat dari, misalnya, ritus dan narasi keseharian orang desa yang muncul setelah Indonesia ada—betapapun ada atau ketiadaan Indonesia tidak berhubungan secara langsung dengan nasib hidup mereka. Konsepsi ini, betapapun ketepatannya mudah dipahami secara logis, namun masih perlu diperiksa secara lebih empiris.

Maka, sekurang-kurangnya, kalau memang budaya Indonesia ada, ia mesti bisa diperiksa melalui tiga perkara: material, perilaku, dan gagasan.

Mari mulai dari yang pertama. Di pertigaan dekat Pasar Wage, ada tugu tanpa nama. Tugu itu menyerupai Monas alias Monumen Nasional. Tentu saja itu Monas palsu karena hanya setinggi lima belas meter, dan menggunakan pucuk emas yang palsu pula. Dan lagi, ini yang penting, tugu itu tidak di Jakarta. Toh, secara simbolik ia menyiratkan memang ada Indonesia di kampung saya. Orang-orang membutuhkannya bukan untuk mengelap-elap nasionalisme, tapi sebagai alat agar kendaraan yang lalu lalang bisa berputar melintas tanpa harus bertubrukan. Bukankah ini sesuatu yang lumayan?

Budaya material Indonesia yang lain ialah apa yang bisa dilihat dari media. Musik pop, sinetron, atau film juga sudah jadi tontonan di ruang keluarga. Namun, sekali lagi, di sisi ini, Indonesia susah dibedakan dari Jakarta. Saya masih ingat sinetron Si Doel Anak Sekolahan selalu ditonton tetangga-tetangga saya. Ibu-ibu suka kumis Rano Karno, Bapak-bapak kangen  paras Cornelia Agatha. Mereka jadi tahu ada kata elu dan gue yang lebih mentereng ketimbang kamu dan aku, apalagi inyong dan kowe. Tapi, mereka sering kesal kenapa Basuki, Pak Bendot, dan Nunung tak kunjung jadi orang sukses. Ketiganya cermin orang kampung yang nasibnya selalu kalah dalam persaingan bernama Jakarta. Dan kesan itu kian tabal dalam sinetron-sinetron masa kini, profesi paling sukses orang kampung dalam sinetron ialah pembantu.

Wajar saja jika kemudian orang-orang di kampung saya susah memahami tatkala kampung mereka masuk berita televisi. Tiap kali media nasional meliput kawasan Lereng Sumbing Sindoro ini, jarang ada kabar baik. Masuk televisi memang menyenangkan, tapi juga menjengkelkan. Belakangan, tiap kali ada yang pulang sehabis bepergian jauh, selalu saja terdengar gerutu. Orang luar daerah mengasosiasikan Temanggung sebagai kawasan yang dihuni banyak teroris, ahli bikin bom, dan perusak rumah ibadah. Warga Temanggung masih ingat bagaimana perburuan teroris yang disangka Nurdin M Top direproduksi besar-besaran sebagai pengalihan isu di tingkat nasional. Termasuk pula ketika pengebom JW Marriott dicurigai berasal dari kampung saya. Lalu, insiden perusakan gereja dan Sekolah Kristen diutak-atik menjadi santapan nasional. Di semua kasus itu, Temanggung hanya menjadi latar sekaligus korban. Temanggung menjadi tumbal.

Budaya Indonesia dalam perilaku, juga gampang ditemukan. Seperti jamak terjadi di mana-mana, kampung saya juga punya rutinitas tahunan tujuhbelasan. Namun itu terlalu membosankan untuk diceritakan. Warga kampung saya juga selalu ikut pemilu, mengurus KTP, SIM, dan Surat Nikah. Namun, yang segera muncul ialah kesan yang menjengkelkan juga. Bayar pajak, bayar listrik, polisi yang suka main tilang, pasar yang ter(di)bakar, pemilu yang sandiwara, dan korupsi yang merajalela! Nyaris tak ada yang menggembirakan tiap kali gagasan bernama Indonesia dikerjakan—kecuali dalam hal bulu tangkis dan sepakbola.

Bagaimana dengan gagasan nasional? tentu saja ada. Warga kampung saya relatih patuh pada aturan pemerintah. Program-program pemerintah relatif tak ada masalah. Misal saja, anak-anak rajin pergi ke sekolah. Tapi tetap saja menjengkelkan. Kurikulum sekolah membuat siswa tahu ada aspal melimpah di Buton, tapi lupa bahwa kopi sangat bagus ditanam di sini. Tahu ada pahlawan bernama Pangeran Antasari, namun justru asing dengan tokoh Bambu Runcing bernama Kyai Subkhi.

Memang pada dasarnya, kampung saya terlalu kecil untuk dihitung dalam kalkulasi elit nasional, tapi juga tak bisa diabaikan karena terlanjur ada dalam teritori Indoneisa. Meski Indonesia jadi penting-tak penting, saya justru menangkap gelagat yang tak biasa. Jangan-jangan dari sekian banyak gejala, yang terjadi adalah arus balik peristiwa.

Trisula sumpah pemuda membenarkan dugaan saya. Mengukur ada tidaknya sebuah nasion bisa dilihat dari kenyataan tanah air, bangsa, dan bahasa. Pokok pertama berkaitan dengan pemilikan dan pengolahan sumber-sumber daya alam. Dalam bahasa Marxis, yang entah kenapa jadi mentereng,  yakni penguasaan atas “alat-alat produksi”. Toh, masih banyak petani menggarap sawahnya dengan sepenuh hati dan mulai berpikir untuk tidak bergantung pada tembakau belaka. Pemerintah pusat sampai daerah boleh jadi lama tak peduli dengan nasib dan ketergantungan petani tembakau pada sistem rente, tapi toh orang macam Pak Toha berangkat demo juga ke Jakarta. Ia mungkin tak tahu kalau Kolonial Belanda lah yang mengenalkan orang Lereng Sumbing Sindoro dengan Tembakau. Bukan soal apakah orang-orang macam Pak Toha terus menerus digencet bisnis pertanian yang tak adil, nyatanya ia justru berangkat ke Jakarta karena merasa punya tanggung jawab nasional.

Pokok yang kedua, kebangsaan, berkaitan dengan kemauan untuk hidup bersama dengan sesama manusia. Mau beda agama, beda partai, beda etnis, sepanjang masih manusia maka engkau ialah saudara. Terorisme, kekerasan atas nama agama, beserta konstruksi media nasional atasnya, memang menjadikan lereng Sumbing Sindoro jadi terasing. Namun, toh, tiap tahun, air suci dalam peringatan Waisak di Borobudur tetap diambil dan diarak dari mata air Jumprit yang jernih di kampung saya. Toh, banyak orang Nasrani tetap menyediakan penganan dan jamuan yang lezat-lezat saat lebaran. Toh, Biara Pertapaan Cisterciensis Santa Maria—yang dibangun Ordo Trappist sejak setengah abad lalu—masih bisa bergandeng mesra dengan berbagai pemeluk agama di Kampung Rowoseneng.

Sedang pokok ketiga, bahasa, berkaitan dengan nyaman-tidaknya bahasa Indonesia sebagai pengantara. Di sini, bahasa ini masih dihormati, meski seringkali dengan caranya sendiri. Dalam acara kenduri, misalnya, Bahasa Indonesia sudah jadi bahasa resmi dan berwibawa. Ibu saya yang berjualan alat tulis di Pasar Wage malah sering berceritera. Banyak pelanggan memesan barang lewat sms dengan Bahasa Indonesia yang menakjubkan.  Salah satunya, “Bu Amah..pesen beli buku tulis anak saya tiga… Reganya pira?”

Lalu, secara perlahan nampak nyata di mata, kampung mulai mengambil kembali tafsir atas Indonesia. Meski sudah sedemikian lama jadi obyek, secara perlahan orang-orang di kampung saya, sadar tak sadar, beranjak jadi subyek. Indonesia mungkin sudah terlalu lama dianggap sama dengan Jakarta. Daerah dan lokal dianggap bawahan, pusat dan nasional ialah atasan. Namun rasakanlah, yang nasional perlahan dilokalisasikan dalam ruang-ruang kampung.

Begitulah, meski kata lokalisasi selama ini lengket dengan dunia prostitusi, tapi lokalisasi Indonesia di kampung saya jauh lebih menggairahkan. Lokalisasi jenis ini boleh jadi berfaedah untuk menasionalisasi kembali gairah dan kekayaan yang lama hilang entah ke mana. Di situ pula saya merasa adem. Nasionalisme Indonesia di Kampung saya lalu muncul secara biasa-biasa saja. Ia tidak terperosok dalam ratapan, tapi juga tidak melangit dalam bualan angan-angan.

Lalu saya bilang pada Pak Toha, sekembalinya ia dari Jakarta. “Pak, apa anda tahu kalau yang bawa tembakau ke Temanggung justru Belanda?” saya menggodanya. “Jangan-jangan, dengan anda demo ke Jakarta, anda justru ikut membela dan mempertahankan penjajahan? Anda, toh,  tetap miskin sampai sekarang.”

Dan dengan entengnya, laki-laki paruh baya tamatan SD itu menjawab. “Ndakurusan. Ke Jakarta, tinggal pergi, sudah ada yang bayari. Besok-besok, inyong mau nanam padi atau vanili saja. Justru kamu yang rugi ndak ikut ke Jakarta.”

“Lho kok bisa?” saya balik tertohok.

“Ternyata Jakarta meniru kita. Tugu di dekat pasar itu juga di bangun di sana. Tapi yang di sana lebih besar, bisa dimasuki dan ada lift-nya. Ternyata benar kata Mbah Kyai Zaka, usia kampung kita jauh lebih tua daripada Indonesia.”

Saya terpana. Kalimat Pak Toha mungkin keliru, tapi itu terdengar sebagai tafsir yang rileks dan gagah, dan, karenanya jadi susah dibantah.

Tinggalkan Balasan