PERTANIAN

Manifesto “Imagine”

Tak berlebihan sekiranya pada tahun 2004 silam, Rolling Stones, sebuah majalah musik dari Inggris telah memilih Imagine sebagai lagu ketiga terbaik sepanjang masa, dan bahkan menyebutnya sebagai hadiah terbesar dari John Lennon bagi dunia.

[dropcap]S[/dropcap]logan-slogan tersebut adalah kumandang wajib aktivis generasi bunga menolak kebijakan rezim wajib militer di Amerika Serikat. Gerakan ini menemukan momentumnya saat terjadi Perang Vietnam pada 1959. Berawal dari sebuah aksi protes mahasiswa di Universitas California, Berkeley, gerakan ini bukan saja menolak kekerasan maupun peperangan yang dilancarkan angkatan perang negeri Paman Sam dan sekutunya, melainkan juga menolak tawaran gaya hidup konsumtivisme dan segala bentuk kemapanan budaya. Saat itu tak satupun orang menduga, Perang Vietnam dan kebijakan rekruitmen wajib militer bagi mahasiswa di AS bakal memantik gelombang besar aksi protes jalanan, sebuah gelombang pasang yang nantinya perlahan namun pasti semakin mengerucut menemukan bentuk “ideologis”-nya sebagai Kiri Baru (New Left).

[blockquote author=”” pull=”normal”]“Make Peace Not War!” “Make Love Not War!” “Flower Power”[/blockquote]

Istilah Kiri Baru muncul pertamakali di jurnal The New Left Review. Diintroduksi oleh sosiolog Amerika, C. Wright Mills, pada 1958, label ini merujuk pada berbagai macam aktivitas politik seperti gerakan anti Perang Vietnam, penentangan wajib militer, gerakan hak-hak sipil, gerakan anti nuklir, gerakan kebebasan mimbar, gerakan lingkungan, yang pada umumnya bermaksud memperjuangkan munculnya tatanan masyarakat alternatif. Herbert Marcuse, filsuf dan ilmuwan sosial dari Mahzab Frankfurt, mucul sebagai ikon di kalangan aktivis Kiri Baru di Amerika.

Istilah Kiri Baru sendiri dimaksudkan sebagai penanda spirit revitalisasi Marxisme sekaligus anti-tesis terhadap Kiri Lama, yaitu kekuatan partai-partai Komunisme-Leninisme di Uni Soviet dan partai Sosial-Demokrat di Eropa Barat. Pada yang pertama, sayap Komunisme-Leninisme telah menjadi aparatus represif dari negara-negara yang tergabung di Uni Soviet, sementara yang kedua sayap Sosial-Demokrat di negara-negara Eropa Barat telah kehilangan elan revolusionernya. Bagi kalangan aktivis Kiri Baru atau Neo-Marxis, keduanya baik secara teoritis maupun praksis dianggap telah kehilangan elan pembebasannya.

Selain sebagai gerakan politik, Kiri Baru juga membawa tema-tema gerakan budaya seperti the youth culture, counter culture ataupun counter institutions. Sayangnya Kiri Baru sebagai sebuah agenda gerakan begitu terfragmentasi dan tak pernah terorganisir secara baik. Gerakan ini memiliki banyak agenda politik dan memiliki model perlawanan yang beragam. Pada titik ini hal yang menarik dicatat ialah munculnya bentuk perlawanan melalui medium kesenian khususnya musik. Tak khayal jika perspektif teoritisnya pun nisbi cenderung dekat dengan atau bahkan mengadvokasi keberadaan budaya popular. Ya, budaya popular sebagai salah satu senjata dan pintu masuk perlawanan mereka terhadap budaya tinggi atau elitisme dari kalangan kelas borjuasi.

Sebutlah genre rock and roll atau blues, misalnya, jelas kemunculannya tak bisa dipisahkan dari tendensi kritik sosial maupun politik pada zamannya. Kedua genre musik ini termasuk kategori budaya popular jelas berbeda dengan genre musik klasik yang elitisme dan aritokratis. Ya, pada 1960-an banyak grup musik rock and roll dan blues tampil dengan kostum dan gaya rambut yang khas, celana jeans ketat, yang tidak saja mempromosikan kehidupan bohemian dan anti kemapanan, namum juga mengusung tema-tema cinta, spiritualisme dan solidaritas universal antar manusia sebagai upaya menentang Perang Vietnam dan berbagai bentuk kekerasan dan penindasan lainnya. Kritik bukan hanya ditujukan pada negara kapitalisme Amerika namun juga kepada negara-negara Komunisme Uni Soviet.

Apa yang menarik dicatat, beberapa di antara karya musik tersebut bukan hanya jadi alat propaganda yang berhasil menggalang kesadaran khalayak luas khususnya kaum muda, tapi juga berhasil menjadi karya yang melegenda bahkan hingga kekinian. Sekadar contoh The Beatles dengan tembang Revolution dan Let It Be atau The Door dengan Unknow Soldiers. Juga John Lennon dengan tembang Give Peace a Chance (1969) yang dinilai banyak orang layak jadi himne anti-perang, dan lagu Imagine (1971) yang sangat masyhur itu juga pantas ditempatkan menjadi deklarasi perdamaian dan solidaritas antar manusia.

make-love-not-war

Sejarah mencatat, pada akhir 1960-an hingga awal 1970-an John Lennon mulai aktif mendukung gerakan politik progresif Kiri Baru. Saat musim gelombang pasang protes melanda negeri Paman Sam itu, bersama kekasihnya, Yoko Ono, ia tak segan melibatkan diri melakukan protes turun ke jalan-jalan bersama para mahasiswa dan aktivis sosial sambil meneriakkan slogan anti Perang Vietnam: “War ist over!” Bahkan jauh hari sebelum migrasi ke Amerika, saat Lennon masih domisili di Inggris, bersama The Beatles ia juga sudah melakukan serangkaian aksi protes menentang kebijakan perang Amerika yang didukung oleh Inggris. Sebagai bentuk protesnya kepada pemerintah Inggris, Lennon mengembalikan medali penghargaan MBE (Member of British Empire) yang pernah diberikan Ratu Elizabeth pada 26 Oktober 1965 di Istana Buckingham.

Tak berlebihan saat tinggal di Amerika Lennon menjadi target pengawasan FBI, selain karena terlibat dalam pergerakan anti-perang dan hak-hak sipil ia juga memiliki kedekatan dengan para aktivis politik sayap Kiri. Hal ini terungkap dalam film dokumenter berjudul “The U.S. v.s. John Lennon” meski sebenarnya Lennon nyata-nyata mengusung konsep perlawanan non-kekerasan seperti dicontohkan oleh Mahatma Gandhi di India dan Martin Luther King. Dalam kumpulan surat-surat John Lennon, diketahui bahwa intelektual Kiri seperti Robin Blackburn dan Tariq Ali, misalnya, sering bertemu dan berkorespondensi dengannya untuk membahas perkembangan isu politik muthakir dunia pada saat itu.

Saking populernya Imagine, konon mantan Presiden AS Jimmy Carter pernah bertutur bahwa sepanjang perjalanan lawatannya di 125 negara dia beserta istrinya selalu mendengar lagu tersebut diputar. Bahkan ia sempat berkelakar bahwa dia mendengar lagu dimainkan hampir sama seringnya dengan lagu kebangsaan. Tak berlebihan sekiranya pada tahun 2004 silam, Rolling Stones, sebuah majalah musik dari Inggris telah memilih Imagine sebagai lagu ketiga terbaik sepanjang masa, dan bahkan menyebutnya sebagai hadiah terbesar dari John Lennon bagi dunia.

Masih merujuk sumber Rolling Stone. Pada sebuah kesempatan, John Lennon sendiri pernah mengatakan bahwa “Imagine” adalah ekspresi tentang harapan akan adanya solidaritas dan kesetaraan mutlak antar manusia, yang hal itu bisa sepenuhnya terwujud ketika negara, (organisasi) agama dan kelas ekonomi dibubarkan. Lebih jauh ujarnya, Imagine itu hampir menyerupai “Manifesto Komunis.” Oleh karenanya tak berlebihan sekiranya kita mengatakan, John Lennon adalah seorang aktivis Kiri.

Tinggalkan Balasan