PERTANIAN

Marxisme dan Teologi Pemerdekaan

Gustavo_gutierrez

Gustavo Gutierrez

Dalam kasus pembangunan dan modernisme negara-pinggiran di kawasan Amerika Latin, mendahului kasus Asia Tenggara, termasuk Indonesia, pengalaman implementasi resep pembangunan di sana disebut banyak analis ternyata malah menciptakan “pembangunan keterbelakangan” (underdeveloped country). Bukannya kemajuan dan kemakmuran yang didapat, tapi merujuk pengalaman Amerika Latin justru menunjukkan semakin terjadinya proses pemiskinan dan peningkatan jumlah orang miskin disertai terjadinya keterbelakangan pada mayoritas luas. Sementara kue pembangunan hanya dinikmati oleh sebagian kecil elit saja.

Patut dicatat bahwa teori ketergantungan, teori keterbelakangan, atau mungkin buku “Pendidikan bagi Kaum Tertindas” karya Paulo Freire yang sohor itu, misalnya, yang pernah mekar sebagai wacana akademis di Indonesia pada kisaran dekade awal 1980-an, notabene lahir dari buah refleksi kritis para intelektual di Amerika Latin. Artinya dari sini saja bisa disimpulkan bahwa atmosfir pemikiran Kiri di Amerika Latin boleh dikata nisbi menjadi arus utama pemikiran kaum intelektualnya.

Tak hanya itu. Sejalan dengan refleksi intelektual masyarakat akademis itu, pengalaman kegagalan proyek pembangunan dan modernisme di Amerika Latin ini juga mendorong lahirnya Teologi Pemerdekaan.

Pada 1968 sekitar 180 uskup dari seantero Amerika Latin berkumpul di Medellin. Pertemuan ini jadi momen historis yang penting. Dalam sidang itu Pimpinan Gereja seluruh Amerika Latin mengeluarkan Dokumen Medellin yang isinya antara lain: bahwa Gereja akan memihak pada mereka yang miskin dan tuna hukum, yang semakin lama semakin terpinggirkan dan termiskinkan oleh dominasi struktural dan institusional perusahaan-perusahaan transnasional serta rezim keuangan internasional.

Para uskup itu menyerukan agar umat Kristen terlibat dalam upaya transformasi masyarakat. Mereka juga menyalahkan kekerasan yang terlembaga dan menyebutnya “situasi dosa”. Mereka menyerukan perbaikan dalam masyarakat, pembelaan terhadap HAM, dan penginjilan yang menggugah-kesadaran. Lebih jauh, Majelis Wali-wali Gereja seluruh Amerika Latin menuntut adanya suatu perubahan yang global, berani, segera dan radikal.

Tokoh utama yang secara eksplisit merumuskan dengan istilah “teologi pemerdekaan” ialah seorang Pastur dari Peru, Gustavo Gutierrez, memasuki awal tahun 1970-an. Tapi, jauh sebelum itu sikap Uskup Agung Helder Camara sebenarnya sudah sejak tahun 1950-an turut berperan penting menyemai iklim keberpihakan Gereja di seantero Amerika Latin pada kaum jelata.

Pengalaman Gutierrez sendiri tinggal bersama orang-orang kecil yang tertindas mendorongnya untuk merumuskan teologi kontekstual. Menurut Gutierrez pendekatan teologi konvensional yang dia pelajari dari tradisi Barat tidak dapat diterapkan dalam situasi masyarakat di Amerika Latin. Teologi konvensional cenderung normatif, spekulatif dan abstrak dalam pandangan keagamaannya, sikapnya a-politis atau berdalih netral, sehingga tanpa disadari justru melegitimasi status quo tatanan masyarakat yang tidak adil.

Menurut Gutierrez butuh pendekatan spesifik untuk berteologi dalam situasi yang sangat memprihatinkan. Teologi, apalagi Gereja, pada hakikatnya bukanlah kumpulan dogma yang abstrak, tetapi merupakan sistematisasi sikap serta peristiwa kongkret dan kontekstual. Teologi seharusnya mencerminkan proses historis yang nyata. Demikian juga doktrin Cinta kasih sebagai pengejawantahan Tuhan pun jelas tidak abstrak. Cinta kasih harus ditempatkan dalam konteks. Bila ada orang yang sadis memukul anak yang tak berdaya, maka cinta kasih dalam konteks tidak akan “netral.” Kita akan spontan melindungi anak tak berdaya itu dan barangkali saja dengan spontan menendang si orang sadis itu.

Maka segera saja sikap teologis Gutierrez mengikuti langkah seniornya, Helder Camara, yang pernah berkata: “Bila orang (dengan bersikap a-politis) memelihara suatu tata-masyarakat yang tidak adil, apakah itu bukan sebentuk politik (praktis) juga? Dalam konteks penindasan dan penghisapan, menurut Helder Camara, “netral artinya penghianatan.”

Tapi Gutierrez segera melampaui seniornya itu. Pada 1971, Gutierrez menerbitkan karya monumentalnya “A Theology of Liberation,” terjemahan dalam bahasa Inggris dicetak tahun 1973. Pada titik ini Gutierrez melangkah lebih jauh dengan masuk ke jantung persoalan masyarakat, meminjam perspektif analisis Marxisme untuk mendedah siapa kelas penindas dan siapa kelas tertindas.

Jelas, sangat bersifat sosialistis, dan memang demikianlah yang dimaksudkan oleh Gutierrez. Namun begitu, ia meneruskan, bahwa gerakan teologi pemerdekaan ialah gerakan sosialisme Amerika Latin, yang bebas dari pengaruh atau tekanan sosialisme negara lain. Menurutnya, gerakan pembebasan sosial seperti ini hendaknya berasal dari kesadaran diri kelas yang tertindas tersebut, daya kekuatannya terletak pada kemauan mereka sendiri untuk bebas.

Ilustrasi

Ilustrasi

Apa yang menarik, teologi pemerdekaan bukan hanya bermaksud mengatasi problem penindasan ekonomi, sosial dan politik, tetapi lebih dalam lagi juga mencakup proses pemaknaan menjadi manusia dalam kerangka mencari sebuah bentuk masyarakat baru yang berbeda secara kualitatif. Dengan demikian gerakan pembebasan ini melibatkan seluruh eksistensi manusia. Gutierrez menulis:

“Pembebasan benua kita (Amerika Latin) mempunyai makna lebih dari sekadar mengatasi ketergantungan ekonomi, sosial dan politik. Dalam pengertian yang lebih dalam, ia berarti melihat proses menjadi manusia (becoming of mankind) sebagai proses emansipasi manusia dalam sejarah. Ia melihat manusia dalam pencariannya akan masyarakat yang berbeda secara kualitatif, di mana ia akan bebas dari semua jenis penindasan, di mana ia akan menjadi pengukir dari nasibnya sendiri.”

Terkait hal itu, apa yang menarik dicatat ialah munculnya gerakan conscientization, yang secara sederhana berarti: penyadaran menyeluruh. Karena setiap orang di dalam masyarakat yang sakit sebenarnya juga sakit, baik si penindas maupun si tertindas sama-sama sakit, maka mereka perlu disadarkan akan situasi keberadaannya melalui penyadaran menyeluruh sehingga proses pembebasan ini terjadi. Dan dari situlah harapannya nanti akan muncul manusia baru dan masyarakat baru. Tokoh penting yang patut disebut namanya dalam gerakan conscientization adalah Paulo Freire.

Banyak orang mengatakan, ada titik temu antara Marxisme dan ideal-ideal asli Kekristenan. Marxisme dan Kekristenan berjuang untuk sebuah utopia yang sama. Marxisme memimpikan sebuah masyarakat tanpa klas, sedangkan Kekristenan mendambakan Kerajaan Allah. Jelas ada afinitas nilai-nilai di antara masyarakat tanpa kelas dan Kerajaan Allah: keadilan, kebenaran, dan perdamaian. Titik temu inilah membuat analisis sosio-historis Marxisme menjadi bisa dibenarkan dalam teologi pemerdekaan.

Sebagai penutup tulisan, bagaimana hubungan Marxisme dengan Islam? Dalam peta pemikiran kontemporer sebutlah nama Hassan Hanafi, yang selain mempopulerkan istilah Islam Kiri juga menganjurkan agar Islam menjadi agama transformatif. Pun, Asghar Ali Engineer, yang menyimpulkan bahwa hakikat Islam sejak mula adalah sebuah teologi pemerdekaan. Atau mundur sedikit jauh, kita kenal nama Muhammad Iqbal (1877 – 1938), Bapak Bangsa Pakistan, yang terkenal dengan kalimatnya: “Islam is Bolshevism plus God.” Satu generasi dengan itu, di Indonesia sebenarnya kita mengenal nama Hadji Misbach (1876–1926). Tokoh Syarikat Islam dari Solo ini, mantan anggota Muhammadiyah, bisa dikatakan telah memadukan sikap keagamaan yang kritis dipandu oleh analisis sosio-historis Marxisme untuk membedah realitas Indonesia saat itu. Maka tak berlebihan sekiranya juga dikatakan wacana teologi pemerdekaan sebenarnya lebih dulu lahir di Indonesia ketimbang di Amerika Latin. Tapi, di sini ia lahir, layu dan mati jauh sebelum gerakan teologi pemerdekaan itu sempat berkembang dan membesar.

Tinggalkan Balasan