logo boleh merokok putih 2

Melawan APACT Bersama Petani Cengkeh

Ia tiba menjemput saya di penginapan Don Biyu sesaat setelah saya selesai menyantap sarapan pagi dengan menu ketan hitam dan lak-lak (sejenis serabi) yang diguyur gula merah cair. Malam sebelumnya kami memang sudah bersepakat, Ia akan mengantar saya dan Aris berkeliling kebun cengkeh. apact

Mengenakan kaos lengan pendek berwarna hitam, celana dengan panjang sebatas lutut, dan mengenakan sandal jepit, Ia tiba dengan sumringah, menyalami lalu memeluk saya. Kami lalu saling bertukar kabar. Satu tahun lalu, kami pernah bertemu. Ia juga yang sempat mengantar saya bertemu beberapa petani cengkeh di Desa Munduk, Kabupaten Buleleng, Bali Utara.

Kami lalu memulai perjalanan, menyusuri jalan beraspal, jalan utama Desa Munduk yang juga jalan alternatif dari Singaraja menuju Denpasar. Seratus meter kemudian kami berbelok ke arah kiri, memasuki perkebunan cengkeh yang memang beririsan dengan tepi jalan utama desa. Aroma khas cengkeh menyambut kami.

Musim panen cengkeh sedang berlangsung, sudah berlangsung sejak akhir Juli lalu, dan masih akan terus berlangsung setidaknya hingga akhir September. Bunga-bunga cengkeh siap panen yang bertengger di pucuk-pucuk dahan, membikin perjalanan semakin menyenangkan.

Kami kemudian menyusuri jalan setapak dalam hamparan perkebunan cengkeh. Kontur Desa Munduk yang berada di perbukitan, sebabkan kebun cengkeh di sini ditanam di lahan dengan kemiringan yang cukup tinggi. Dengan kontur semacam itu, jalan-jalan yang kami lalui juga cukup bervariasi, sedikit landai, dan banyak jalan menanjak dan menurun. Lembah dan tebing yang ditumbuhi pohon cengkeh kerap kami temui di kiri kanan jalan.

Setelah menuruni lembah curam, di tengah kebun cengkeh kami tiba di sebuah rumah sederhana dengan halaman yang cukup luas. Dua orang perempuan sedang menjemur cengkeh yang baru selesai dipanen. Seorang berusia antara 25 hingga 30 tahun, dan seorang lagi berusia enam tahun.

Dua orang perempuan itu adalah istri dan anak dari pemandu yang mengantar saya menjelajahi kebun cengkeh kali ini. Mereka berdua menyambut kami. Sang istri lekas membuatkan kami teh hangat, anaknya lanjut bermain di hamparan cengkeh yang sedang dijemur.

“Sudah empat tahun saya tinggal di sini. Menumpang, tempat ini milik bos saya. Saya tinggal di sini sekalian menggarap kebun cengkeh milik bos. Kalau musim panen begini ya ikut panen, kalau sedang tidak musim panen saya kerja merawat kebun.” Ujar Komang Bondol menerangkan.

Memiliki nama lahir Komang Budi Artina, Ia lebih dikenal dengan panggilan Komang Bondol. Usianya kini memasuki 29 tahun. Delapan tahun lalu Ia menikah, Ia kini memiliki dua orang anak, seorang anak perempuan berusia enam tahun, dan seorang lagi masih dalam kandungan berusia tujuh bulan.

Ketika saya tanya kenapa Ia lebih sering disapa dengan panggilan ‘Komang Bondol’, Ia kemudian bercerita. Dahulu, semasa kecil, Ia selalu berpenampilan klimis. Berambut pendek dan selalu berpakaian rapi. Tinggi badannya lebih pendek dibanding anak-anak seusianya. Itulah yang menyebabkan Ia hingga kini lebih sering disapa ‘Bondol’, atau ‘Komang Bondol’.

Setelah segelas teh kami tandas, kami melanjutkan perjalanan keliling kebun cengkeh. Di beberapa lokasi, kami berjumpa pemetik cengkeh yang sedang memanen bunga-bunga cengkeh. Komang Bondol selalu menyempatkan diri menyapa rekan sepekerjaannya itu.

Sepanjang jalan, Komang Bondol selalu menjelaskan kepada saya dan Aris siapa saja pemilik kebun itu dan mana batas-batasnya. “Kalau kebun Bli Komang Bondol di mana, Bli?” Tanya saya.”

“Saya nggak punya kebun cengkeh di sini. Sekadar petani penggarap saja, merawat kebun milik bos. Saya senang sekali di kebun, suka bekerja di kebun cengkeh begini.” Jawab Komang Bondol.

Setelah puas jelajah kebun cengkeh, Komang Bondol mengantar kami ke objek wisata air terjun Melanting. Di sepanjang jalan, sejak awal hingga akhir, kami kerap berpapasan dengan turis asing yang sedang berwisata tracking di Desa Munduk. Selepas air terjun Melanting, kami harus melanjutkan perjalanan dengan menaiki 440 anak tangga yang membikin kaki kami lemas. Berkali-kali kami rehat karena kelelahan.

Sekali waktu, ketika kami sedang rehat dekat sebuah kios yang menjual air minum dan rempah-rempah, dua orang turis asing kebingungan ketika bertransaksi. Tiba-tiba, Komang Bondol berbicara bahasa Perancis kepada mereka. Selanjutnya mereka asyik berbincang menggunakan bahasa Perancis, membikin saya dan Aris sedikit melongo.

Di kesempatan selanjutnya, Komang Bondol ganti berbincang bahasa Inggris dengan turis-turis yang kami jumpai. Ternyata, selain sebagai petani penggarap di kebun cengkeh, sehari-hari Komang Bondol juga menjadi pemandu wisata di Desa Munduk. Menurut Bli Komang Armada, rekan saya di Desa Munduk, Komang Bondol adalah satu dari sedikit pemandu wisata khusus bahasa Perancis di Desa Munduk. Ia menjadi satu dari lima orang pemandu wisata yang mahir berbahasa Perancis di Desa Munduk.

Komang Bondol berasal dari Karangasem. Ia lahir di Desa Munduk. Orangtuanya bermigrasi ke Desa Munduk ketika tanaman cengkeh semakin menjadi primadona karena permintaan tinggi untuk produksi rokok kretek. Itu terjadi sebelum rezim orde baru lewat BPPC-nya menghancurkan harga jual cengkeh. Kini, ketika harga cengkeh kembali tinggi dan menjadi gantungan hidup banyak orang mulai dari pemilik kebun, petani penggarap, hingga pekerja pemetik cengkeh, Komang Bondol bersama banyak manusia lainnya kembali optimis. Lagi-lagi, produksi rokok kretek yang menjamin harga cengkeh stabil di angka tinggi.

Musim panen cengkeh kali ini membuka begitu banyak peluang kerja bagi banyak orang, salah satunya adalah pekerja pemetik cengkeh. Para pemilik lahan di Desa Munduk sampai kesulitan mendapatkan pemetik karena panen kali ini kuantitasnya besar dan terjadi hampir serempak dengam desa-desa lain yang juga penghasil cengkeh. Mereka para pemilik sampai mendatangkan pemetik dari Pulau Jawa.

Mulai besok hingga tanggal 15 September 2018 di sebuah hotel mewah di daerah Nusa Dua, Bali, mereka yang merasa rokok kretek sama sekali tidak bermanfaat akan mengadakan konferensi internasional yang mereka namakan APACT. Ini kali ke-12 konferensi semacam ini diselenggarakan. Tujuan utamanya, meratifikasi FCTC yang akan membunuh industri kretek di Indonesia. Industri yang ditopang oleh petani cengkeh dan petani tembakau lebih dari 6 juta jiwa. Industri yang membuka peluang ekonomi bagi lebih dari 30 juta manusia di negeri ini baik secara langsung maupun tidak langsung. Industri yang membikin Komang Bondol dan banyak orang seprofesi dengannya bergairah dalam bertani dan bekerja.

Dalam ruangan dingin ber-AC, di kursi-kursi empuk dan nyaman, mereka akan bersekutu menghancurkan industri tempat orang banyak menggantungkan hajat hidupnya. Yang akan merasakan dampak terbesar jika konferensi APACT itu berhasil memaksa Indonesia meratifikasi FCTC adalah petani cengkeh. Karena jika FCTC diratifikasi, cengkeh sudah tidak boleh ada sama sekali dalam sebatang rokok. Padahal sejauh ini, lebih dari 94 persen hasil cengkeh nasional diserap oleh industri rokok kretek.

Perjalanan saya bersama Aris dan Komang Bondol kemarin di kebun cengkeh, adalah perjalanan untuk menyiapkan sebuah perlawanan terhadap APACT. Jika APACT akan bermewah-mewahan rapi wangi di Bali sembari berembug untuk menghancurkan kretek, mengeluarkan keputusan-keputusan yang merendahkan martabat petani di negeri ini, kami di sini, di sisi lain Pulau Bali, dari kebun cengkeh, bersama petani dan anak-anak muda Indonesia dari berbagai tempat yang sore ini sudah merapat ke Munduk, akan melakukan perlawanan atas semua itu.

Kami bersama menginjakkan kaki di tanah terbuka, menghirup udara pegunungan bercampur aroma bunga cengkeh yang sedang bermekaran, bergandengan tangan, akan membuat perhitungan terhadap mereka. Kami tidak tinggal diam. Kami akan melawan. Semampunya. Sekuat tenaga.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Fawaz al Batawy

Fawaz al Batawy

Pecinta kretek, saat ini aktif di Sokola Rimba, Ketua Jaringan Relawan Indonesia untuk Keadilan (JARIK)