REVIEW

Membaca Pranata Mangsa

Jauh sebelum Hindu menjamah Nusantara, nenek moyang kita telah berhasil mengembangkan suatu teknik penanggalan dalam dunia pertanian. Teknik itu bernama Pranata Mangsa yang berarti Pedoman Musim. Diwariskan dari generasi ke generasi secara oral, diperkirakan teknik ini sudah berusia dua milenium.

Baru pada 1856, Sri Susuhunan Pakubuwana VII mengodifikasikan secara rapi teknik tradisional ini dalam sebuah buku. Judulnya tegas: Pranata Mangsa.

Pranata Mangsa tergolong penemuan brilian. Kompleksitasnya tak kalah bobot dari sistem penanggalan yang ditemukan bangsa Mesir Kuno, China, Maya, dan Burma. Lebih-lebih jika dibandingkan dengan model Farming Almanac ala Amerika, Pranata Mangsa jauh lebih maju. Di dalam Pranata Mangsa, tulis Daldjoeni, terdapat pertalian yang mengagumkan antara aspek-aspeknya yang bersifat kosmografis, bioklimatologis yang mendasari kehidupan sosial-ekonomi dan sosial-budaya masyarakat…Pranata Mangsa mencerminkan ontologi menurut konsepsi Jawa serta akhetip alam pikiran Jawa yang dilukiskan dalam berbagai lambang yang berupa watak-watak Mangsa dalam peristilahan kosmologis yang mencerminkan harmoni antara manusia, kosmos, dan realitas (Penanggalan Pertanian Jawa Pranata Mangsa, tanpa tahun, halaman 5-6).

Buku yang ditulis Sindhunata ini adalah refleksi yang menarasikan Pranata Mangsa sebagai sebuah kekayaan tak terpermanai dalam khazanah agrikultur Nusantara. Buku ini sangat berwarna karena digenapi dengan aneka lukisan tematik dan kisah-kisah rakyat yang hidup dalam masyarakat agraris.

Siklus Penanggalan

Dalam siklus satu tahun (365 hari), terdapat 12 mangsa dengan simbol berbeda-beda. Dua belas mangsa itu adalah: Kasa (bintang Sapigumarah), Karo (Tagih), Katelu (Lumbung), Kapat (Jarandawuk), Kalima (Banyakangkrem), Kanem (Gotongmayit), Kapitu (Bimasekti), Kawolu (Wulanjarangurum), Kasanga (Wuluh), Kasapuluh (Waluku), Dhesta (Lumbung), dan Saddha (Tagih).

Letak masing-masing mangsa bisa diketahui dengan membagi satu tahun dalam empat mangsa utama, yakni: mangsa terang (82 hari), semplah (99 hari), udan (86 hari), dan pengarep-arep (98 hari).

Terdapat pula empat mangsa utama lain yang simetris dengan pembagian ini: mangsa katiga (88 hari), labuh (95 hari), rendheng (94 hari), mareng (88 hari).

Nama tiap mangsa sesungguhnya dibuat berdasarkan watak masing-masing. Watak mangsa Kawolu, misalnya, yang berbunyi anjrah jroning kayun (sesuatu yang merebak dalam kehendak). Pada mangsa ini kondisi meteorologis sinar matahari 67%, lengas udara 80 %, dan curah hujan 371,8 mm. Kucing-kucing memasuki musim kawin. Hujan yang turun membasahi bumi menjadi tabungan pengairan kelak saat kemarau.

Sementara mangsa Saddha dengan watak tirta sah saking sasana (air lenyap dari tempatnya) menandai kedatangan musim kemarau. Bahkan, tiap mangsa juga memiliki dewa masing-masing. Nama-nama dewa seperti Wisnu, Sambu, Rudra, Yomo, Metri, hingga Gana menjadi tanda bahwa tiap mangsa memiliki pola kehidupan, kekuasaan, dan wewenang yang berbeda.

Pranata Mangsa menjadi pedoman bagi petani dalam mengolah tanaman. Mulai pilihan jenis tanaman yang sesuai, hingga patokan periode menanam, membajak sawah, sampai memanen. Misalnya saat mangsa Katiga, ketika pohon bambu, gadung, temu, dan kunyit sedang tumbuh, pada masa inilah tanaman palawija mulai dipetik. Contoh lainnya, waktu yang baik untuk menanam padi dimulai adalah pada mangsa Kapitu, bersamaan dengan turun air hujan.

Periode-periode musim itu secara teratur mengalami perulangan setiap tahun. Dengan mengamati kemunculan rasi-rasi bintang yang berubah dari waktu ke waktu, petani memiliki patokan untuk menentukan awal dan akhir dari sebuah mangsa. Panjang bayangan pada siang hari juga menjadi patokan. Petani bahkan mesti peka merasakan arah desir dan gerakan angin karena udara juga mengalami penyesuaian terhadap perjalanan matahari sepanjang tahun.

Dengan demikian, Pranata Mangsa pada dasarnya bukanlah mitos atau takhayul. Ia justru merupakan abstraksi ilmiah karena disusun berdasar pengamatan yang seksama terhadap watak dan perilaku alam (empiris).

Bukti penghitungan ilmiah itu terlihat dalam penentuan permulaan mangsa Kasa yang terjadi pada saat matahari berada di zenith garis balik utara Bumi (tropic of Cancer, 22 Juni). Sementara mangsa Kapitu dimulai pada 22 Desember saat matahari ada di zenith garis balik selatan bumi (tropic of capricorn).

Kedaulatan Agrikultur

Dengan Pranata Mangsa, dunia pertanian di Jawa pernah mengalami kemajuan pesat. Kesejahteraan meningkat sehingga dunia kesenian pun bergairah. Banyak bentuk kesenian yang sangat berkaitan dengan pertanian seperti, Wiwit, yakni upacara tradisi yang menandai dimulai panen padi hingga Merti Bumi atau bersih desa yang disertai dengan seni Gejog Lesung. Pagelaran Wayang juga banyak menampilkan legenda-legenda seperti Dewi Sri dan Saddana. Bahkan, Pranata Mangsa juga sangat menopang kebesaran kerajan Mataram Lama, Pajang, dan Mataram Islam. Tak hanya untuk bertani, Pranata Mangsa juga menjadi pedoman untuk menjalankan kegiatan perdagangan, pemerintahan, dan bahkan militer.

Pranata Mangsa pada dasarnya merefleksikan sikap hidup petani yang manyatu dengan alam (manunggal atau nyawiji). Alam bukanlah lawan yang harus ditaklukkan, bukan pula objek garapan yang diperas habis-habisan, juga bukan barang mati yang bisa diperlakukan sesuka hati. Alam tak lain adalah teman yang dicintai. Sikap hidup menyatu dengan alam itu membuat petani memahami watak dan perilaku alam. Kegembiraan alam adalah kegembiraan manusia. Kesedihannya adalah kesedihan manusia juga. Demikian pula sebaliknya.

Saya pernah belajar dari Mbah Slamet dan Mbah Murdjiyo, dua sosok petani organik yang masih menghayati Pranata Mangsa dalam aktivitas pertanian mereka. Keduanya sama-sama mengeluh bahwa Pranata Mangsa semakin ditinggalkan bukan hanya lantaran kecenderungan mekanistis di kalangan petani sekarang, namun juga pemanasan global yang membuat iklim dan cuaca jadi tak menentu.

Generasi petani sekarang barangkali sudah sangat asing dengan Pranata Mangsa. Tanpa bermaksud melakukan generalisasi, pudarnya Pranata Mangsa di kalangan petani menandakan betapa kodrat agrikultur bangsa ini sudah kian tergerogoti. Yang dimaksud agrikultur bukan sekadar bercocok-tanam, melainkan keseluruhan sikap mental, pendirian jiwa, pandangan hidup, dan tata laksana yang terpateri dalam keseharian petani.

Dalam ancaman global warming, Pranata Mangsa memang kian kehilangan relevansi. Biar bagaimanapun, Pranata Mangsa menandakan bahwa bangsa ini pernah berdaulat secara agrikultur. Agaknya kedaulatan semacam inilah yang mestinya menghidupi kembali dalam masa depan agraris bangsa ini.

Judul : Ana Dina Ana Upa, Pranata Mangsa
Penulis : Sindhunata
Penerbit : Bentara Budaya, Yogyakarta
Cetakan : Pertama, 2008
Tebal : 162 halaman
Suara Merdeka, 05-10-2008

Tinggalkan Balasan