logo boleh merokok putih 2

Nalar Politik Sejatinya Bukan Hitam-Putih, Renungan dari Kisah Ramayana

sendra-tari__ramanyana_prambanan

Right or wrong is My Country. Barangkali demikianlah rumus nasionalisme Kumbakarna, seperti rumus para nasionalis pada umumnya di semua negara. Ya, Kumbakarna yang diceritakan merupakan raksasa yang bertubuh tinggi besar dan berwajah mengerikan namun dikenal memiliki sifat ksatria, jujur, rendah hati dan menjunjung tinggi dharma. Bukan hanya sekali dua ia mengkritik perilaku kuasa kakaknya, termasuk terkait penculikan Shinta dan menyarankan untuk dikembalikan. Rahwana menangis mendengar tuturan adiknya, tapi karena cinta ia tetap bersikukuh dengan sikapnya. Hingga tiba pada suatu momen di mana pasukan Rahwana kewalahan menghadapi gempuran pasukan Sri Rama, dan adik perempuannya Sarpakenaka juga gugur di medan laga, segera saja Kumbakarna turut mengangkat senjata memimpin pasukan. Tanpa rasa sikap bermusuhan dengan Rama, Kumbakarna maju ke medan perang, menunaikan kewajibannya selaku ksatria pembela negara.

Dalam banyak pementasan sering diceritakan Kumbakara mengenakan pakaian serba putih saat berangkat ke medan laga. Kumbakarna berhadapan dengan adik Sri Rama, Laksmana. Ksatria itu menggunakan panah sakti Naracabala. Mula-mula kedua lengan Kumbakarna dipanah, setelah itu juga kedua kakinya. Sesudah kaki dan tangan Kumbakarna buntung, Anoman memimpin prajurit kera mengeroyok Kumbakarna hingga gugur dengan tubuh terpotong-potong. Ia gugur demi membela negerinya dari serangan musuh. Baginya membela tanah air dan negara adalah sebuah sikap kesatria tersendiri, terlepas apakah negara itu benar atau salah.

Lain halnya, Gunawan Wibisana. Dia dikenal sebagai ksatria berhati lembut dan selalu hidup dalam kebijaksanaan. Ia menghabiskan masa mudanya dengan bertapa memuja Wisnu. Dalam doanya ia selalu meminta berada di jalan kebenaran atau dharma. Lain halnya Kumbakarna dan Rahwana yang meminta kekuatan dan kesaktian, ketika bertemu Dewa Brahma ia minta diberi kebijaksanaan. Namun tak disangka-sangka, adik bungsu Rahwana ini ternyata malah “khianat” menyeberang ke pihak musuh. Wibisana banyak membocorkan kelemahan negeri Alengka, sehingga akhirnya Sri-Rama pun memperoleh banyak kemenangan.

Saat Kumbakarna hendak maju ke medan laga, terjadi momen dialog dengan adik bungsu yang sangat disayanginya itu. Keduanya saling bertatap muka dan terdiam lama. Wibisana memohon ampun karena menyeberang ke pihak musuh. Juga pasrah sekiranya kakaknya hendak membunuhnya sebagai hukuman. Baginya mencintai negara itu harus diwujudkan dengan cara mencintai nilai-nilai keadilan sekaligus.

“Aku tidak menginginkan kebesaran bagi negeriku, khususnya kebesaran yang lahir dari darah dan kesalahan. Aku ingin menghidupkan negeriku dengan menghidupkan keadilan. Tanpa itu, negara bisa menjadi sumber kelaliman dan tirani,” demikian kira-kira ujaran Wibisana.

Melihat ketulusan hati bungsunya, Kumbakarna haru dan menetes air matanya. Kumbakarna tak serta merta menyalahkan pilihan dan sikap politik bungsunya itu. Apa yang diperbuat si-bungsu itu, bagaimanapun tetaplah sebuah kebenaran. Kumbakarna mengenal baik bagaimana karakter sejati Wibisana yang sejak kecil cenderung asketis dan hidup sederhana, sehingga alasan membelotnya ke pihak musuh jelas bukan karena dorongan ambisi dengan maksud mengambil tahta dari si sulung, Rahwana.

Sementara, Kumbakarna juga bertutur bahwa ia bertempur karena terikat dharma selaku ksatria. Selaku ksatria ia harus membela bangsa dan tanah airnya ketika hendak diserbu musuh, sekalipun ia sejatinya tahu bahwa negerinya sebenarnya berada pada posisi salah. Selain itu, dalam medan peperangan tanpa adanya kepemimpinan pasukan justru semakin berdampak memperbanyak jatuhnya korban pasukan yang sebenarnya tak berdosa. Wibisana terang memahami alasan pilihan dan sikap politik kakaknya. Dia tentu mengenal baik bagaimana karakter sejati kakaknya itu. Setelah selesai bercakap kedua saudara sekandung itu saling berpelukan dalam haru dan linangan air mata.

Demikian drama kehidupan manusia tidaklah pernah sederhana, lebih-lebih itu hitam dan putih. Benar, bahwa dalam situasi konflik sosial-politik yang antagonistik segalanya lantas menjadi demikian sederhana, seolah-olah kebenaran di satu sisi dan kesalahan di sisi lain demikian terpilah tegas. Tapi, cobalah kita selisik mendalam maka segera saja semuanya terlihat tak sederhana. Realitas kehidupan memiliki banyak sisi dan warna. Dia tak pernah hitam-putih.

Pada tokoh Rahwana, suka atau tidak-suka kita temui bahwa hasrat cinta sejatinya pada Shinta-lah jadi pemicunya mempertaruhkan segalanya. Bukan hanya mempertaruhkan harta dan tahta tapi sekaligus nyawanya. Pada Kumbakarna kecintaan pada bangsa dan tanah airnya jadi pemicu dirinya turut berperang ke medan laga, sekalipun negerinya jelas pada posisi kesalahan yang fatal. Sementara pada diri Wibisana, kita menyaksikan kecintaannya pada dharma telah mendorongnya pergi membelot ke kubu musuh. Baginya, kebesaran negaranya haruslah seiring sejalan dengan nilai-nilai kemuliaan.

Pada titik ini, sekiranya kemudian ditanyakan siapakah yang paling benar dari sikap ketiga bersaudara ini? Jawabannya, tidak ada yang paling benar. Semuanya bisa benar atau sebaliknya semuanya juga bisa salah. Salah dan benar tentu tergantung sudut pandang kita. Ya, kehidupan (politik) memang seringkali tidak sesederhana apa yang menampak.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Waskito Giri

Waskito Giri

Penulis, pemilih Jokowi, dan meyakini Nusantara sebagai asal-usul peradaban dunia. Kolektor keris.