logo boleh merokok putih 2

Persepsi Cangklong

Cangklong (pipa untuk menghisap tembakau) dalam benak banyak orang mungkin identik dengan perokok dengan tingkat strata sosial tinggi: kalangan bangsawan, pejabat, seniman besar dan sebagainya. Lazim saja, karena menilik sejarahnya, merokok cangklong atau nyangklong memang lahir dari lingkungan bangsawan. Jika Anda mengenal tokoh Sherlock Holmes yang ditulis Sir Arthur Conan Doyle, Anda akan menyadari nyangklong menjadi gaya hidup orang-orang dengan profesi tertentu macam Holmes.

Mulanya, nyangklong menjadi tren di Eropa sejak abad ke 17. Berawal dari ekspedisi bangsa Eropa ke berbagai belahan dunia yang melihat suku Indian di Amerika merokok dengan menggukanan pipa cangklong. Mulai saat itu, nyangklong kemudian menjadi mode yang lumrah digunakan oleh sebagian negara-negara di Eropa.

Di Indonesia, sejak zaman pejajahan, nyangklong hanya bisa dinikmati masyarakat pribumi dari kalangan atas. Maklum, saat itu nyangklong memang menjadi barang mewah karena bahannya banyak didatangkan dari luar. Karenanya, nyangklong kemudian menjadi simbol orang-orang terpelajar, intelek, dan berkelas pribumi Nusantara.

Namun dalam perkembangannya, nyangklong kini bukan lagi menjadi simbol elitisme seperti pada awal mula kelahirannya. Bahkan, banyak pula komunitas-komunitas nyangklong yang sudah bermunculan di beberapa kota besar di Indonesia. Jika ditilik dari sisi ekonomis, nyangklong juga bukan lagi aktifitas yang perlu mengeluarkan banyak ongkos. Di banyak tempat lancongan seperti di Yogyakarta, Bali, atau Solo sudah banyak toko cenderamata yang mulai menjajakkan cangklong.

Lalu, apa sebenarnya alasan memilih nyangklong dan sebagian lagi tetap menjadi penikmat rokok?

Praktis. Di mana kini tempat yang tidak menjual rokok? Warung kelontong, sembako, mini market,atau, toko model apa yang tidak menjual rokok?  Ya, praktismungkin menjadi alasan utama banyak orang menjadi penikmat tembakau buatan industri rokok ketimbang repot-repot meracik tembakau sendiri. Cabut, nyalakan, klepus, beres.

Berbeda dengan nyangklong yang relatif memerlukan banyak persiapan untuk merasakan nikmatnya kepulan asap dari setiap tarikannya. Namun jangan salah, saya berani memastikan penikmat cangklong akan jauh lebih mahir ketimbang perokok berat—yang setiap harinya bisa menghabiskan berbungkus-bungkus rokok—dalam membedakan cita rasa dari berbagai jenis tembakau.

Apapun jenis rokoknya, kretek, non-kretek, buatan industri lokal maupun internasional, membedakan cita rasa tembakau yang sudah terbalut dengan kertas rokok buatan pabrikan itu tidak mudah. Apalagi bagi perkokok pemula, menghisap rokok mungkin hanya mengikuti saran-saran teman dekat saja. Berbeda dengan nyangklong,yang proses pembakarannya tidak bercampur dengan cita rasa kertas rokok. Wajar saja, lewat cangklong cita rasa tembakau sesungguhnya lebih terasa.

Ekonomis. Tak perlu pusing memikirkan menghisap rokok apa hari ini jika kita masih menjadi penikmat rokok. Selagi tidak sok-sok idealis, saya jamin, mulut kita tidak akan pernah berhenti mengeluarkan asap. Apalagi bagi mahasiswa yang saban hari tidak pernah absen kongkow dan ngopi. Tak usah risau jika hanya karena alasan rupiah. Kontak teman, ajak ngopi, mulut pun berapi.

Bandingkan dengan nyangklong, tetap harus merogoh kocek agak dalam untuk merasakan nikmatnya menghisap tembakau. Meksi nyangklong jadi aktifitas lumrah, jumlah penikmatnya tetap jauh lebih sedikit ketimbang rokok. Penikmat nyangklong merogoh kocek bukan hanya untuk membeli berbagai jenis tembakau unggulan, namun juga harus memilih dari banyaknya variasi cangklong yang akan digunakan.

Namun lagi-lagi jangan salah, untuk penggemar cangklong  juga punya alasan logis mengapa lebih memilih nyangklong ketimbang merokok?

Style. Alasan ini, mungkin yang tidak akan didapat oleh perokok kelas pabrikan sampai kapan pun—sekalipun merokok memang bukan karena alasan itu. Namun, seperti sudah dijelaskan di awal nyangklong akan melahirkan efek berlebih yang secara natural keluar dari diri para penikmatnya. Entahlah, ini anugerah dari Tuhan atau bagaimana. Penulis pun tidak tahu.

Bagi perokok dengan profesi yang banyak diam di suatu tempat, cangklong mungkin menjadi solusi. Penulis misalanya. Karena lebih banyak menghabiskan waktu di depan layar komputer, cangklong bisa menjadi alternatif agar tidak terlalu banyak mengeluarkan berbungkus-bungkus atau berbatang-batang rokok. Apalagi jika hanya karena ingin merasakan efek nikotin di tenggorokan. Cukup masukan tembakau ke pipa secukupnya, Anda akan merasakan cita rasa tembakau yang sebenarnya.

Kalau akhirnya penikmat rokok pipa jauh lebih sedikit daripada perokok pabrikan, penyebabnya mungkin karena budaya itu yang sudah melekat di benak masyarakat kita sejak zaman penjajahan. Atau jauh beratus-ratus tahu sebelumnya. Sama seperti tembakau, yang juga tidak bisa dihilangkang dari Indonesia. Mengutip pernyataan Cak Nun dalam Sinau Kedaulatan beberapa hari lalu, jangan sampai yang bagus-bagus di Idonesia tidak boleh tumbuh. Karena nyangklong maupun tidak, intinya tetap menikmati tembakau.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Haryanto

Haryanto

Mahasiswa yang meyakini akan sukses dengan kerupuk dan teh botol.