logo boleh merokok putih 2

Reproduksi Hoax: Rokok Mengandung Darah Babi

“Seiring dengan perkembangan dunia digital yang pesat melesat, hoax memang telah menjadi ‘tren’ saat ini. Hal itu perlu disikapi dengan bijaksana dengan cara memverifikasi setiap informasi yang kita dapatkan, agar kita tak mudah terjebak pada isu-isu negatif yang pada akhirnya akan merugikan banyak pihak.”

[dropcap]I[/dropcap]su rokok mengandung darah babi terus direproduksi dari tahun-tahun ke tahun dengan data dan sudut pandang yang sama. Sebagai negara berpenduduk muslim dengan konsusmsi makanan halal terbesar, tentu isu rokok mengandung darah babi menjadi isu yang cukup sensitif.

Isu-isu berbalut agama belakangan memang kerap kali muncul di Indonesia yang kemudian mampu membuat keriuhan di offline maupun online. Perihal isu produk konsumsi yang mengandung babi bukan baru kali ini muncul, dan bukan hanya pada rokok saja isu itu muncul.

Tengok saja tahun 1988, saat Buletin Canopy milik Senat Mahasiswa Fakultas Peternakan Universitas Brawijaya menerbitkan penelitian Ir. Tri Susanto yang menyatakan bahwa sejumlah produk makanan dan minuman terindikasi mengandung lemak babi. Ternyata hal itu mampu membuat kepanikan luar biasa di kalangan masyarakat.

Imbasnya, sejumlah produsen produk pangan mengalami penurunan omset yang cukup signifikan. PT. Sanmaru Food Manufacture, produsen Indomie penjualannya menurun hingga 20-30% dari omset 40 juta bungkus perbulannya. Penjual kecap ABC melorot hingga 20%, dan es krim Campina yang sempat dikait-kaitkan dengan penelitian Insinyur tersebut turun hingga 40%.

Dalam pertarungan dagang, isu-isu semacam itu terus menjadi siasat terbaik untuk melumpuhkan lawan produsen. Tak terkecuali rokok, sebagai produk yang banyak dikonsumsi masyarakat Indonesia. Isu rokok mengandung hemoglobin atau protein darah babi masih saja digunakan aktivis antitembakau.

Sekalipun LPPOM MUI, sebagai gawang keamanan konsumen umat Islam telah tegas mengatakan bahwa rokok Indonesia tidak terindikasi sedikitpun hemoglobin atau protein darah babi, tapi tetap saja isu tersebut muncul berulang-ulang.

Entah apa maksudnya isu tersebut terus direproduksi, asumsi bisa saja muncul bahwa isu tidak benar (hoax) tersebut sengaja dihembuskan sebagai bagian dari upaya untuk memerangi atau menghentikan konsumsi rokok oleh masyarakat.

Para penghembus isu tersebut berpedoman pada Peneliti Belanda, Christien Meindertsma dan Profesor Kesehatan Masyarakat Universitas Sydney, Simon Chapman. Dua tokoh tersebut mengatakan bahwa filter rokok yang beredar di pasaran mengandung hemoglobin atau protein darah babi yang berfungsi untung menangkap bahan kimi berbahaya sebelum masuk ke dalam paru-paru para perokok.

Menurutnya, industri rokok kerap merahasiakan bahan-bahan yang mereka gunakan. Bersamaan dengan hembusan isu yang kian menguat itu, LPPOM MUI melakukan pengkajian terhadap ratusan sempel rokok di tingkat pusat seperti Jakarta, Yogyakarta, Jawa Timur dan Sumatra. Hasilnya, rokok yang beredar di Indonesia terbebas dari zat haram dan negatif mengandung hemoglobin atau protein darah babi.

Meski demikian, hasil penelitian LPPOM MUI tidak serta merta menyetop isu yang telah terdegradasi tersebut. Sebaliknya, isu masih sangat laku, bahkan mungkin sampai pergantian generasi suatu saat nanti.

Masyarkat Indonesia seharusnya dapat lebih teliti terhadap berita-berita yang beredar. Khususnya kaum muslim, banyak literatur keislaman yang telah membahas dari berbagai lini masalah hukum produk olahan tembakau ini. Baca saja kitab milik Kiai Ihsan Jampes, Irsyadul Ihwan li Bayani Hukmi syurb qahwa wa adduhan, di situ sudah dibedah berbagai hukum beserta tetek bengeknya masalah rokok.

Isu-isu bahaya rokok yang dihempaskan ke publik, tak lepas dari pertarungan industri yang luar biasa dalam memperebutkan pangsa pasar konsumen nikotin (tembakau). Melalui organisasi-organisasi kesehatan global, memang telah lama terindikasi ingin menguasai kekayaan bangsa dalam hal ini nikotin (tembakau) beserta pasarnya (baca buku nicotine war karya Wanda Hamilton).

Seiring dengan perkembangan dunia digital yang pesat melesat, hoax memang telah menjadi ‘tren’ saat ini. Hal itu perlu disikapi dengan bijaksana dengan cara memverifikasi setiap informasi yang kita dapatkan, agar kita tak mudah terjebak pada isu-isu negatif yang pada akhirnya akan merugikan banyak pihak.

Facebook
Twitter
LinkedIn
WhatsApp

Penulis

Ibil S Widodo

Ibil S Widodo

Manusia bodoh yang tak kunjung pandai