PERTANIAN

Rokok Tingwe di Antara Jemari Pejuang Kemerdekaan

Pak Besar, begitulah ia akrab di sapa, seorang prajurit pejuang perang gerilya yang setia menemani Jenderal Abdul Haris Nasution. Ia pernah menjadi sekretaris umum MPRS pada tahun 1966, hingga akhir hayatnya berpangkat Mayor Jenderal (Mayjen). Rokok Tingwe di Antara Jemari Pejuang Kemerdekaan

Pada satu kesempatan di salah satu universitas negeri di Yogyakarta, Pak Besar menuturkan perjalanan kehidupan pejuang saat perang gerilya. Menurutnya, masa penjajahan adalah saat yang sangat pahit dan sulit, harus dihadapi dan dialami rakyat dan pejuang. Dengan serba keterbatasan logistik, rakyat dan pejuang melakukan perlawanan terhadap penjajah, salah satu strateginya dengan perang gerilya.

Pejuang Gerilya tidak jarang harus melakukan perjalanan menyusuri hutan dan naik turun gunung. Untuk bertahan hidup, para pejuang memanfaatkan tumbuhan yang ada di sekitar dan dibantu masyarakat setempat.

Setiap melewati pemukiman, para pejuang dipersilahkan singgah di rumah penduduk untuk beristirahat dan menyantap hidangan seadanya yang telah dipersiapkan. Ada juga, sebagian kecil dari masyarakat yang melaporkan keberadaan pejuang pada penjajah. Namun mayoritas rakyat Indonesia tetap mendukung para pejuang gerilya. Diakui Pak Besar, tanpa bantuan dan pembelaan masyarakat, perang gerilya tidak akan berhasil.

Dalam persembunyian di hutan belantara, seringkali para pejuang gerilya mendapatkan kiriman logistik dari masyarakat. Pengiriman lebih banyak dilakukan oleh para ibu-ibu dengan menyamar sebagai petani. Mereka rela untuk menyisihkan dan mengantarkan ke para pejuang yang keberadaannya jauh dari pemukiman dan harus masuk hutan. Dengan menggendong keranjang atau dunak di punggung, yang berisi bahan makanan dari hasil pertanian dan perkebunannya.

Isi dalam keranjang atau dunak bermacam-macam dan berbeda-beda tiap pengiriman. Barang yang sering dikirim oleh para ibu-ibu berupa bahan pangan seperti beras, jagung, buah-buahan, bumbu, juga terkadang rokok lintingan dengan jumlah terbatas, dan bahkan sesekali ada senjata dibawah tumpukan bahan pangan (entah dari mana senjata itu diperoleh—tutur Pak Besar).  

Ada juga yang mengirim tembakau rajangan yang dibungkus dalam daun pisang beserta kertas untuk membuat rokok lintingan. Mayoritas pejuang gerilya saat itu memang suka merokok. Namun kebiasaan merokok dilakukan saat ada kiriman saja, setelah stok habis tidak ada yang merokok, menunggu datangnya kiriman lagi dari masyarakat. Bagi Pak Besar dan teman-temannya, dengan merokok lelah dan capek tidak terasa, kejenuhan dan bosan seakan lenyap.

Lanjut cerita Pak Besar, suatu ketika saat ia diperintah Jenderal Abdul Haris Nasution untuk turun gunung mencari bahan makanan. Ia melihat iring-iringan penjajah sedang beroperasi, dan terlihat ada yang merokok. Kemudian Pak Besar mengikuti iring-iringan tersebut, sambil mengamati dan mencari celah. Hanya satu dalam pikiran Pak Besar saat itu, ia harus mengambil rokok yang dibawa salah satu penjajah.

Singkat cerita, di saat penjajah beristirahat, Pak besar menyelinap membunuh salah satu dari mereka dan mengambil dua bungkus rokok yang ada di saku, walaupun nyawa taruhannya. Apa yang telah dilakukan Pak Besar tergolong konyol, akan tetapi hasrat untuk mendapatkan rokok lebih kuat. Bagi mereka, merokok adalah kebutuhan, sama halnya makan.

Di usia lanjut, sekitar 90an, Pak Besar masih kadang terlihat merokok walaupun tidak sesering saat masih muda. Ia masih mengabdikan diri kepada Indonesia sebagai dosen tetap dan dosen tamu di perguruan tinggi negeri maupun swasta. Masih mempunyai daya ingat yang baik, sistematis, sehat dan kuat, untuk melakukan aktivitas sebagai pengajar, mengisi kuliah umum dan beberapa seminar kebangsaan.

Keberadaan Pak Besar selalu ditunggu banyak orang, terlebih cerita-ceritanya yang menyangkut perjalanan bangsa Indonesia. Ia salah satu saksi sejarah, hidup di empat masa; masa Penjajahan, Orde Lama, Orde Baru dan Reformasi. Bahkan namanya sering muncul dikaitkan dengan naskah asli Supersemar, karena banyak orang meyakini ia mengetahui keberada surat tersebut. Pengakuan Pak Besar, ia sempat diintrogasi dan dituding penguasa Orde Baru, sebagai salah satu orang yang membocorkan rahasia Negara, selain Jenderal Abdul Haris Nasution.

Saat reformasi, Pak Besar mulai bebas beraktivitas mengajar dan mengisi acara kebangsaan. Sayangnya, Pak Besar tutup usia kira-kira tahun 2013, saat itu tidak ada kabar keadaanan Pak Besar sama sekali, bahkan aktivitas mengajar sudah tidak terlihat, salah satunya di universitas negeri yang berada di Yogyakarta, kemudian beredar berita bahwa Pak Besar wafat, innalillahi…..

Masyarakat Indonesia, merasa sangat kehilangan terlebih para akademisi, dan sejarawan. Sebelum meninggal, ia sempat berjanji akan menyelesaikan tulisan dan akan menerbitkan sebuah buku kesaksiannya tentang perjalanan bangsa Indonesia, namun Tuhan berkehendak lain.

Di hari kemerdekaan ini, semoga nama Pak Besar tidak terlupakan, terkenang sebagai salah satu pejuang perang gerilya. Tulisannya walaupun belum sempat terbukukan, semoga kesaksian hidup Pak Besar melalui cerita tentang perjalanan Bangsa Indonesia menuju kemerdekaan saat mengajar dan seminar kebangsaan, bermanfaat bagi masyarakat bangsa Indonesia. Amin…Merdeka…