\u201cbangga menjadi buruh karyawan Djarum, pabrik besar, biasanya sulit menjadi karyawan pabrik besar dengan hanya berbekal ijazah SMP, mendapat upah cukup untuk membantu perekonomian kluarga, untuk biaya sekolah anak, untuk makan dan beli lainnya, menjadi karyawan sudah puluhan tahun sejak lulus SMP, satu-satunya keahliany yang dimiliki membuat rokok dari orang tua dulu membuat rokok dirumah, menjadi karyawan djarum tidak ada persyaratan harus merokok, dan samapai sekarang saya tidak merokok\u201d<\/p>\n\n\n\n
Jadi, sejatinya di lapangan terjadi jalinan harmonis antara perokok dan yang tidak merokok, mereka saling membutuhkan, mereka saling membantu, mereka saling memanfaatkan. Tidak pernah mereka saling mempersoalkan kamu perokok, kamu tidak merokok. Aktifitas merokok di masyarakat sudah biasa dan membudaya dari dulu. Tidak ada saling menyudutkan bahkan mencemooh. Nah, aturan pemerintah dan orang orang yang di atas terutama rezim kesehatan atau orang-orang anti rokok sama-sama putra bangsa sama sama warga Indonesia seharusnya demikian, saling menghormati, saling bahu membahu, saling tolong menolong, saling menghargai menuju Indonesia kuat dan stabilitas nasional terjaga dengan baik.
<\/p>\n","post_title":"Perokok dan Non Perokok Hidup Harmonis, Hanya Rezim Kesehatan yang Membuat Kegaduhan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"perokok-dan-non-perokok-hidup-harmonis-hanya-rezim-kesehatan-yang-membuat-kegaduhan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-09 08:35:53","post_modified_gmt":"2019-11-09 01:35:53","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6212","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Walaupun tidak merokok, kaum hawa tersebut merasa senang dan gembira keahliannya tersalurkan bermanfaat bagi orang lain, bermanfaat untuk dirinya sendiri bahkan sebagai penguat perekonomian keluarganya. Seperti yang telah di utarakan ibu Sri Wahyuni buruh karyawan perusahaan PT. Djarum asal Desa Karang Bener pada hari senin 04\/11\/2019 dikediamannya. <\/p>\n\n\n\n
\u201cbangga menjadi buruh karyawan Djarum, pabrik besar, biasanya sulit menjadi karyawan pabrik besar dengan hanya berbekal ijazah SMP, mendapat upah cukup untuk membantu perekonomian kluarga, untuk biaya sekolah anak, untuk makan dan beli lainnya, menjadi karyawan sudah puluhan tahun sejak lulus SMP, satu-satunya keahliany yang dimiliki membuat rokok dari orang tua dulu membuat rokok dirumah, menjadi karyawan djarum tidak ada persyaratan harus merokok, dan samapai sekarang saya tidak merokok\u201d<\/p>\n\n\n\n
Jadi, sejatinya di lapangan terjadi jalinan harmonis antara perokok dan yang tidak merokok, mereka saling membutuhkan, mereka saling membantu, mereka saling memanfaatkan. Tidak pernah mereka saling mempersoalkan kamu perokok, kamu tidak merokok. Aktifitas merokok di masyarakat sudah biasa dan membudaya dari dulu. Tidak ada saling menyudutkan bahkan mencemooh. Nah, aturan pemerintah dan orang orang yang di atas terutama rezim kesehatan atau orang-orang anti rokok sama-sama putra bangsa sama sama warga Indonesia seharusnya demikian, saling menghormati, saling bahu membahu, saling tolong menolong, saling menghargai menuju Indonesia kuat dan stabilitas nasional terjaga dengan baik.
<\/p>\n","post_title":"Perokok dan Non Perokok Hidup Harmonis, Hanya Rezim Kesehatan yang Membuat Kegaduhan","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"perokok-dan-non-perokok-hidup-harmonis-hanya-rezim-kesehatan-yang-membuat-kegaduhan","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2019-11-09 08:35:53","post_modified_gmt":"2019-11-09 01:35:53","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6212","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"}],"next":false,"prev":false,"total_page":1},"paged":1,"column_class":"jeg_col_2o3","class":"epic_block_3"};
Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n
Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n
Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n
Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n
Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n
Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n
Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n
Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n
Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n
Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n
Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n
Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n
Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n
Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n
Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n
Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n
Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Jika daya beli masyarakat terpuruk, otomatis sektor IHT akan terpukul secara drastis. Sialnya lagi, kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) di tengah daya beli masyarakat yang terpuruk, menambah kengerian yang besar terhadap nasib IHT ke depannya.<\/p>\n\n\n\n Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Gelombang PHK mengakibatkan terpukulnya daya beli masyarakat. Bayangkan sebelum Covid-19 melanda, daya beli masyarakat Indonesia sudah menurun. Apalagi dengan adanya gelombang PHK dan krisis ekonomi ini, daya beli masyarakat dapat dipastikan bakal terpuruk. <\/p>\n\n\n\n Jika daya beli masyarakat terpuruk, otomatis sektor IHT akan terpukul secara drastis. Sialnya lagi, kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) di tengah daya beli masyarakat yang terpuruk, menambah kengerian yang besar terhadap nasib IHT ke depannya.<\/p>\n\n\n\n Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Terpukulnya sektor UMKM berdampak cukup sistemik kepada perekonomian nasional. Sampai dengan awal pekan ini, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 2,8 juta pekerja yang dirumahkan dan divonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mayoritas pekerja yang dirumahkan dan di PHK berasal dari sektor UMKM, sisanya pekerja yang terkena dampak dari efisiensi perusahaan menengah dan besar.<\/p>\n\n\n\n Gelombang PHK mengakibatkan terpukulnya daya beli masyarakat. Bayangkan sebelum Covid-19 melanda, daya beli masyarakat Indonesia sudah menurun. Apalagi dengan adanya gelombang PHK dan krisis ekonomi ini, daya beli masyarakat dapat dipastikan bakal terpuruk. <\/p>\n\n\n\n Jika daya beli masyarakat terpuruk, otomatis sektor IHT akan terpukul secara drastis. Sialnya lagi, kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) di tengah daya beli masyarakat yang terpuruk, menambah kengerian yang besar terhadap nasib IHT ke depannya.<\/p>\n\n\n\n Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Tetapi berbeda hal dengan krisis yang dihadapi akibat pandemi Covid-19 ini, sektor yang justru terpukul di awal adalah sektor UMKM. Merebaknya Covid-19 di Indonesia mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial antar masyarakat serta kesadaran masyarakat untuk mengurangi mobilitas dan interaksi masyarakat di luar rumah. Alhasil banyak usaha seperti warung makan, tempat hiburan, jasa transportasi, dan lainnya tutup sementara, bahkan sudah banyak yang memilih gulung tikar.<\/p>\n\n\n\n Terpukulnya sektor UMKM berdampak cukup sistemik kepada perekonomian nasional. Sampai dengan awal pekan ini, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 2,8 juta pekerja yang dirumahkan dan divonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mayoritas pekerja yang dirumahkan dan di PHK berasal dari sektor UMKM, sisanya pekerja yang terkena dampak dari efisiensi perusahaan menengah dan besar.<\/p>\n\n\n\n Gelombang PHK mengakibatkan terpukulnya daya beli masyarakat. Bayangkan sebelum Covid-19 melanda, daya beli masyarakat Indonesia sudah menurun. Apalagi dengan adanya gelombang PHK dan krisis ekonomi ini, daya beli masyarakat dapat dipastikan bakal terpuruk. <\/p>\n\n\n\n Jika daya beli masyarakat terpuruk, otomatis sektor IHT akan terpukul secara drastis. Sialnya lagi, kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) di tengah daya beli masyarakat yang terpuruk, menambah kengerian yang besar terhadap nasib IHT ke depannya.<\/p>\n\n\n\n Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n IHT memiliki peranan penting bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan kontribusinya dalam menghidupi pedagang asongan, warung kelontong, hingga retail. UMKM sendiri memberikan kontribusi terhadap 60% PDB dan penyerapan tenaga kerja sampai 97%.<\/p>\n\n\n\n Tetapi berbeda hal dengan krisis yang dihadapi akibat pandemi Covid-19 ini, sektor yang justru terpukul di awal adalah sektor UMKM. Merebaknya Covid-19 di Indonesia mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial antar masyarakat serta kesadaran masyarakat untuk mengurangi mobilitas dan interaksi masyarakat di luar rumah. Alhasil banyak usaha seperti warung makan, tempat hiburan, jasa transportasi, dan lainnya tutup sementara, bahkan sudah banyak yang memilih gulung tikar.<\/p>\n\n\n\n Terpukulnya sektor UMKM berdampak cukup sistemik kepada perekonomian nasional. Sampai dengan awal pekan ini, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 2,8 juta pekerja yang dirumahkan dan divonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mayoritas pekerja yang dirumahkan dan di PHK berasal dari sektor UMKM, sisanya pekerja yang terkena dampak dari efisiensi perusahaan menengah dan besar.<\/p>\n\n\n\n Gelombang PHK mengakibatkan terpukulnya daya beli masyarakat. Bayangkan sebelum Covid-19 melanda, daya beli masyarakat Indonesia sudah menurun. Apalagi dengan adanya gelombang PHK dan krisis ekonomi ini, daya beli masyarakat dapat dipastikan bakal terpuruk. <\/p>\n\n\n\n Jika daya beli masyarakat terpuruk, otomatis sektor IHT akan terpukul secara drastis. Sialnya lagi, kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) di tengah daya beli masyarakat yang terpuruk, menambah kengerian yang besar terhadap nasib IHT ke depannya.<\/p>\n\n\n\n Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Banyak pengamat ekonomi yang mengatakan bahwa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 akan berbeda dengan krisis ekonomi lainnya, baik secara global maupun domestik. Indonesia sudah beberapa kali mengalami krisis ekonomi, juga pernah menghadapi tantangan krisis ekonomi global pada tahun 2008. Dalam melewati periode krisis tersebut, menurut para ekonom Indonesia berhasil bertahan dari krisis dan memulihkan ekonominya karena sektor UMKM menjadi penopang utama ekonomi.<\/p>\n\n\n\n IHT memiliki peranan penting bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan kontribusinya dalam menghidupi pedagang asongan, warung kelontong, hingga retail. UMKM sendiri memberikan kontribusi terhadap 60% PDB dan penyerapan tenaga kerja sampai 97%.<\/p>\n\n\n\n Tetapi berbeda hal dengan krisis yang dihadapi akibat pandemi Covid-19 ini, sektor yang justru terpukul di awal adalah sektor UMKM. Merebaknya Covid-19 di Indonesia mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial antar masyarakat serta kesadaran masyarakat untuk mengurangi mobilitas dan interaksi masyarakat di luar rumah. Alhasil banyak usaha seperti warung makan, tempat hiburan, jasa transportasi, dan lainnya tutup sementara, bahkan sudah banyak yang memilih gulung tikar.<\/p>\n\n\n\n Terpukulnya sektor UMKM berdampak cukup sistemik kepada perekonomian nasional. Sampai dengan awal pekan ini, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 2,8 juta pekerja yang dirumahkan dan divonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mayoritas pekerja yang dirumahkan dan di PHK berasal dari sektor UMKM, sisanya pekerja yang terkena dampak dari efisiensi perusahaan menengah dan besar.<\/p>\n\n\n\n Gelombang PHK mengakibatkan terpukulnya daya beli masyarakat. Bayangkan sebelum Covid-19 melanda, daya beli masyarakat Indonesia sudah menurun. Apalagi dengan adanya gelombang PHK dan krisis ekonomi ini, daya beli masyarakat dapat dipastikan bakal terpuruk. <\/p>\n\n\n\n Jika daya beli masyarakat terpuruk, otomatis sektor IHT akan terpukul secara drastis. Sialnya lagi, kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) di tengah daya beli masyarakat yang terpuruk, menambah kengerian yang besar terhadap nasib IHT ke depannya.<\/p>\n\n\n\n Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n Baca: Antirokok, Selingkuh Lembaga dan Organisasi di Indonesia dengan Kepentingan Asing<\/a><\/p>\n\n\n\n Orang yang merokok di saat membutuhkan bantuan orang yang tidak merokok, sebagai bentuk ucapan terima kasih tidak akan diberikan rokok diganti dengan yang lain. Orang yang tidak merokok, saat membutuhkan bantuan orang yang suka merokok, terkadang ucapan terima kasih dengan memberikan rokok, kalau pun bentuk ucapan terima kasih dengan yang lain itupun tidak mengapa. Mereka tetap saling mengerti, saling membantu dan saling menghormati. <\/p>\n\n\n\n Sebetulnya, yang mengbuat kisruh dan memprovokasi keadaan perokok dan yang tidak merokok adalah rezim kesehatan dan orang yang fanatik antirokok . Antara perokok dan yang tidak merokok seakan-akan dihadap-hadapkan sebagai lawan dan musuh. Keadaan inilah dikemudian hari akan mengganggu dan mempengaruhi stabilitas nasional. <\/p>\n\n\n\n Lebih parahnya, yang sering mendengungkan perlawanan terhadap rokok adalah mereka yang anti rokok dan rezim kesehatan yang telah dipengaruhi oleh Negara lain. Ini sama halnya tidak jauh dari politik pecah belah masyarakat yang pernah dilakukan penjajah saat ingin menguasai Indonesia. <\/p>\n\n\n\n Pada dasarnya mayoritas masyarakat Indonesia tidak mempermasalahkan orang yang merokok atau oaring yang tidak merokok. Mereka hidup berdampingan bahkan saling memanfaatkan dan menguntungkan. Gak percaya?, mari dibuktikan, datang dan lihat di masyarakat kabupaten Kudus sebagai kota industri rokok. Tidak semua yang menjadi karyawan perusahaan rokok kretek di Kudus itu perokok, dan tidak semua perokok menjadi karyawan perusahaan rokok kretek. <\/p>\n\n\n\n Uniknya, di Kudus justru para perokok menggantungkan diri dan sangat mengharapkan bantuan orang yang tidak merokok, tak lain adalah para wanita dan ibu-ibu yang mewarisi keahlian meracik dan membuat rokok. Bisa di cek ke lapangan, kaum hawa pewaris keahlian meracik dan membuat rokok tersebut, mereka dalam kehidupan sehari-hari tidak merokok. Justru dengan keahliannya tersebut, mereka mendapatkan kesejahteraan untuk kehidupan sehari-hari. Jumlah mereka tidak sedikit, saat ini puluhan ribu, dahulu mencapai ratusan ribu. <\/p>\n\n\n\n Tidak hanya itu, banyak kaum adam pun yang bekerja di perusahaan rokok, ia tak merokok. Bagusnya, dan perlu diapresiasi, perusahaan rokok di Kudus tidak mewajibkan dan memerintahkan karyawannya untuk merokok. Contohnya Djarum, perusahaan rokok kretek terbesar di Kudus, tak pernah mensyaratkan karyawannya untuk merokok, apalagi mewajibkan merokok produknya sendiri jauh dari persyaratan. Juga perusahaan Djarum mengkaryakan kaum hawa untuk mengekpresikan keahliannya yang telah diwariskan nenek moyang. Tentunya dengan imbalan upah sebagai ucapan rasa terima kasih dan penghargaan terhadap keahlian yang dimiliki kaum hawa tersebut.\u00a0<\/p>\n\n\n\n Industri Hasil Tembakau (IHT) terkenal sebagai industri dalam negeri yang tahan terhadap krisis. Klaim ini telah diuji sejak era kolonialisme hingga krisis ekonomi global pada tahun 2008, IHT masih tetap kokoh berdiri melewati krisis yang terjadi. Namun, tampaknya sektor IHT harus waspada dengan hantaman krisis saat ini yang diakibatkan oleh pandemi Covid-19.<\/p>\n\n\n\n Banyak pengamat ekonomi yang mengatakan bahwa krisis ekonomi akibat pandemi Covid-19 akan berbeda dengan krisis ekonomi lainnya, baik secara global maupun domestik. Indonesia sudah beberapa kali mengalami krisis ekonomi, juga pernah menghadapi tantangan krisis ekonomi global pada tahun 2008. Dalam melewati periode krisis tersebut, menurut para ekonom Indonesia berhasil bertahan dari krisis dan memulihkan ekonominya karena sektor UMKM menjadi penopang utama ekonomi.<\/p>\n\n\n\n IHT memiliki peranan penting bagi sektor Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) dengan kontribusinya dalam menghidupi pedagang asongan, warung kelontong, hingga retail. UMKM sendiri memberikan kontribusi terhadap 60% PDB dan penyerapan tenaga kerja sampai 97%.<\/p>\n\n\n\n Tetapi berbeda hal dengan krisis yang dihadapi akibat pandemi Covid-19 ini, sektor yang justru terpukul di awal adalah sektor UMKM. Merebaknya Covid-19 di Indonesia mengharuskan pemerintah mengeluarkan kebijakan pembatasan sosial antar masyarakat serta kesadaran masyarakat untuk mengurangi mobilitas dan interaksi masyarakat di luar rumah. Alhasil banyak usaha seperti warung makan, tempat hiburan, jasa transportasi, dan lainnya tutup sementara, bahkan sudah banyak yang memilih gulung tikar.<\/p>\n\n\n\n Terpukulnya sektor UMKM berdampak cukup sistemik kepada perekonomian nasional. Sampai dengan awal pekan ini, Kementerian Ketenagakerjaan mencatat sudah 2,8 juta pekerja yang dirumahkan dan divonis Pemutusan Hubungan Kerja (PHK). Mayoritas pekerja yang dirumahkan dan di PHK berasal dari sektor UMKM, sisanya pekerja yang terkena dampak dari efisiensi perusahaan menengah dan besar.<\/p>\n\n\n\n Gelombang PHK mengakibatkan terpukulnya daya beli masyarakat. Bayangkan sebelum Covid-19 melanda, daya beli masyarakat Indonesia sudah menurun. Apalagi dengan adanya gelombang PHK dan krisis ekonomi ini, daya beli masyarakat dapat dipastikan bakal terpuruk. <\/p>\n\n\n\n Jika daya beli masyarakat terpuruk, otomatis sektor IHT akan terpukul secara drastis. Sialnya lagi, kenaikan harga rokok akibat kenaikan tarif cukai dan Harga Jual Eceran (HJE) di tengah daya beli masyarakat yang terpuruk, menambah kengerian yang besar terhadap nasib IHT ke depannya.<\/p>\n\n\n\n Imbas daripada kenaikan cukai saja menimbulkan tiga dampak kerugian yang signifikan. Pertama, penurunan omzet pabrikan sebesar 15%-20%. Kedua, permintaan tembakau dari pabrikan ke petani akan turun hingga 30%, sementara untuk permintaan cengkih penurunannya bisa sampai 40%. Ketiga, Semakin maraknya peredaran rokok ilegal akibat tidak terjangkaunya harga rokok legal di masyarakat.<\/p>\n\n\n\n Kasus dampak kerugian akibat kenaikan cukai sudah valid terbukti dengan berkurangnya pembelian bahan baku dari pabrikan ke petani. Beberapa perusahaan rokok besar di Indonesia sudah mengkonfirmasi adanya penurunan kuota pembelian bahan baku di tahun ini. Tentu dengan kehadiran krisis akibat Covid-19 akan membuat pabrikan berhitung ulang kembali mengenai produksi mereka, sehingga kemungkinan berkurang lebih besar lagi dalam penyerapan bahan baku akan lebih besar terjadi.<\/p>\n\n\n\n IHT yang selama ini dapat bertahan dari badai krisis yang pernah terjadi, akan mendapat cobaan dan tantangan yang lebih serius dalam menghadapi krisis akibat Covid-19. Bahkan bukan hal yang tidak mungkin jika pada krisis kali ini sektor IHT akan tumbang. Maka dalam menyikapi resiko ini, pemerintah tentunya harus segera bergerak cepat memitigasi dampak yang memukul sektor IHT, salah satunya dengan menghapus kebijakan kenaikan tarif cukai dan HJE, serta mempercepat penanganan Covid-19 di Indonesia. Badai memang pasti berlalu, tapi tidak semuanya dapat bertahan dari badai yang melanda.<\/p>\n","post_title":"Badai Krisis Ekonomi Covid-19 Memukul Industri Hasil Tembakau","post_excerpt":"","post_status":"publish","comment_status":"closed","ping_status":"closed","post_password":"","post_name":"badai-krisis-ekonomi-covid-19-memukul-industri-hasil-tembakau","to_ping":"","pinged":"","post_modified":"2020-04-18 09:59:41","post_modified_gmt":"2020-04-18 02:59:41","post_content_filtered":"","post_parent":0,"guid":"https:\/\/bolehmerokok.com\/?p=6635","menu_order":0,"post_type":"post","post_mime_type":"","comment_count":"0","filter":"raw"},{"ID":6212,"post_author":"877","post_date":"2019-11-09 08:35:51","post_date_gmt":"2019-11-09 01:35:51","post_content":"\n Logika yang sangat keliru dengan melihat kenyataan di lapangan, kalau merokok membuat miskin, penyakitan, impoten, boros dan lain-lain. Nyatanya orang yang tidak merokok tetap miskin, tetap sakit, tetap ada yang impoten, tetap tidak punya tabungan. Sebaliknya, orang yang merokok tetap kaya, tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki dan punya tabungan. <\/p>\n\n\n\n Orang yang tidak suka rokok, rata-rata berpikiran, lebih baik uang untuk beli rokok ditabung. Dengan menghitung dalam satu hari menghabiskan berapa bungkus dikali satu bulan bahkan dikalikan dalam satu tahun. Hasil perkalian tersebut, menjadi simpulan bahwa orang yang merokok kalau saja berhenti merokok dan uangnya ditabung, maka ia akan kaya. Sekarang coba kita sama-sama teliti ke lapangan dalam kehidupan masyarakat. Pertanyaannya adalah, apakah di lapangan orang yang tidak merokok semuanya kaya, tidak ada yang miskin? <\/p>\n\n\n\n Jawabannya sudah bisa dipastikan sama kondisi perokok dan yang tidak merokok. Jadi aktivitas merokok dan orang tidak merokok tidak bisa dibuat ukuran seseorang itu kaya atau miskin. Karena mereka pun kenyataannya sama. Orang yang tidak merokok ada yang tetap miskin, orang yang merokok ada yang tetap kaya. Orang yang tidak merokok ada yang terkena serangan jantung, punya penyakit paru-paru, tidak punya anak dan lain sebagainya. Yang merokok, badannya tetap sehat, banyak anak, banyak rezeki, pikirannya sehat, kreatif, pekerjaannya cepat selesai dan lain sebagainya. <\/p>\n\n\n\n Dalam kehidupan bermasyarakat di bawah, terutama orang-orang desa antara yang merokok dan yang tidak merokok hidup damai berdampingan bahkan saling menghormati. Keadaan tersebut dapat dilihat keseharian masyarakat desa. Mereka yang merokok tidak akan mengganggu dan memaksa orang yang tidak merokok. Sebaliknya yang tidak merokok tidak akan melarang aktivitas orang yang merokok. Mereka tetap ngobrol bareng sambil ketawa ketiwi. Tanpa permisi pun mereka sudah saling mengerti, saling memahami bahkan saling tolong menolong.<\/p>\n\n\n\n