CUKAI

Ahok dan Potret Eksperimen Sekulerisme

Sialnya, sebagai hasil semaian politik kebudayaan Orde Baru, kata Cina saat ini telah menjadi sebuah olok-olok rasial, ujaran yang pejoratif juga segegratif.

ahok-01

[dropcap]T[/dropcap]ulisan saya tidak bermaksud membela Petahana Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok. Saya tinggal di Jakarta, tapi secara administratif tercatat sebagai warga Tangerang Propinsi Banten. Dengan begitu praktis saya tidak memiliki hak suara pada momen Pilkada DKI Jakarta nanti. Juga saya tidak memiliki kepentingan terhadap siapa yang jadi gubernur. Siapapun nanti gubernur terpilih, Jakarta pasti akan tetap macet dan banjir.

Selain itu, saya jelas tidak suka atau malah marah melihat kebijakan penggusuran Gubernur Ahok. Bayangkan, LBH Jakarta mencatat 113 kasus penggusuran pada 2015 dan hanya 32 prosen yang direlokasi; sedang hingga penghujung tahun 2016 ini tercatat naik tiga kali lipat. Saya juga tidak suka melihat sikap arogan Ahok merespon aksi protes class action masyarakat pinggir Sungai Ciliwung yang dipimpin oleh mantan seorang Romo itu, Sandyawan.

Meski demikian di sisi lain secara prinsip nilai-nilai demokratis saya tentu harus mengapresiasi capaian eksperimen demokrasi masyarakat Jakarta pasca Orde Baru, yang tak canggung menempatkan seorang etnis Tionghoa juga non-Muslim sebagai orang nomer satu. Benar, bahwa kota urban terbesar di Asia Tenggara yang sejarah kelahirannya murni didesain oleh Pemerintah Belanda itu sebenarnya pernah juga dipimpin oleh seorang etnis Tionghoa, Henk Ngantung. Tapi, situasi saat itu dan kini sangat berbeda.

Dulu prinsip penerimaan secara integrasi ketimbang asimilasi terhadap etnis Tionghoa pada masa Presiden Soekarno nyata lebih baik ketimbang 32 tahun kekuasaan Orde Baru. Orde Baru justru hadir dengan kembali memainkan politik segregasi “pecah belah” meniru kebijakan kolonial Belanda. Kota yang dulu pernah dikenal dengan nama Batavia, lalu berubah jadi Jayakarta, selama rezim Orde Baru berdiri sama sekali tidak pernah dipimpin oleh seorang etnis Tionghoa, sekalipun di sisi lain penguasaan ekonomi secara konglomerasi malah diberikan kepada kelompok etnis ini. Walhasil, ketika terjadi krisis ekonomi yang berujung pada kejatuhan Orde Baru juga direkayasa secara sosial dengan tragedi kerusuhan sosial di Ibukota menyasar etnis Tionghoa sebagai prolognya.

Selain itu, Ahok (Jokowi) dipilih langsung oleh kuasa rakyat, sedang Henk dulu dipilih oleh kuasa prerogatif Presiden Soekarno. Naiknya Ahok sebagai Gubernur DKI Jakarta selain berarti minoritas berhasil diterima memimpin mayoritas, sebenarnya juga bermakna sebagai ujud rekonsiliasi budaya yang menggenapkan eksperimen pluralisme sebagai bagian dari agenda demokrasi pasca Orde Baru, sekalipun hal ini masih jauh dari ideal.

Lalu, apa istimewanya? Sekiranya harus memilih antara Ahok dan Henk, saya toh pasti lebih tertarik pada si-Henk itu. Bagaimana tidak, Henk ialah seorang seniman. Ketajaman sense artistiknya terbukti jadi pertimbangannya dalam menata Ibukota. Landmark Bundaran HI adalah karyanya. Benar, bahwa Henk selain “Cina” juga Kiri! Namun demikian saat itu posisi negara Tiongkok tengah naik daun dan menjalin hubungan mesra dengan Indonesia.

Sementara, Ahok jelas bukan Kiri. Bahkan, beberapa kali pernyataan Ahok selaku gubernur justru terkesan nyinyir bahkan kasar kepada kaum miskin kota. Sialnya, sebagai hasil semaian politik kebudayaan Orde Baru, kata Cina saat ini telah menjadi sebuah olok-olok rasial, ujaran yang pejoratif juga segegratif. Sialnya lagi, meskipun kini ideologi Komunisme sudah bangkrut di sana sini, tapi posisi negara Tiongkok hingga kini masih juga dipersepsi oleh kalangan tertentu di Indonesia sebagai jauh lebih berbahaya dan bernilai ancaman ketimbang Amerika sekalipun kini ada Presiden Donald Trumph di sana. Walhasil, Ahok plus identitas non-muslimnya kemudian ditempatkan pada tengah pusaran konfigurasi persepsi politik itu.

Tapi, ini bukan soal memilih Ahok atau Henk. Meskipun sebenarnya tidak ada yang istimewa pada Ahok, tapi posisi politiknya yang kini tengah digempur sedemikian rupa dengan propaganda nalar keagamaan, menurut saya malah membuat Ahok terlihat istimewa. Bukan hanya karena karib Presiden Jokowi, dia juga didukung oleh relawan teman Ahok dan partai pemenang pemilu beserta koalisinya.

Terus terang saya tidak bermaksud memasuki uraian terkait dugaan Ahok menistakan agama Islam. Sehubungan Surat Al-Maidah 51 toh banyak tafsiran beragam, yang tak semuanya memaknainya secara literal atau harafiah hitam-putih sebagaimana bunyi teksnya. Artinya terkait pesan moral imperatifnya Al Maidah 51 tersebut, bisa jadi satu orang dengan orang yang lain bisa berbeda makna.

Saya juga tidak akan mengurai soal hukum. Jelas, itu urusan kepolisian atau pengadilan selaku aparat hukum. Presiden Jokowi sendiri, selaku karib Ahok, berjanji tidak akan mengintervensi proses hukum. Artinya biarlah hukum bicara secara obyektif dan berkeadilan untuk menilai apakah mantan Bupati Belitung itu memang salah atau tidak.

Tapi, persoalannya apakah mereka yang pada 4 November 2016 melakukan aksi unjuk rasa itu benar-benar siap menerima fakta sekiranya Ahok secara hukum terbukti tidak bersalah? Terus terang saya ragu. Dari opini yang berkembang dan animo yang terbentuk kuat, terkesan bahwa rasa keadilan masyarakat pendemo baru akan terpenuhi sekiranya Ahok dinyatakan bersalah. Terkesan, tidak ada alternatif di luar itu.

Artinya, mengingat kuatnya opini dan animo tuntutan masyarakat tersebut, bukan tak mungkin jadi tidak ada jalan lain: demi stabilitas politik nasional, kompromi antara masyarakat dan pemerintah harus bermuara pada konsekuensi politis bahwa Ahok dinyatakan bersalah. Dalam tabuhan genderang politik yang kuat, ayunan bandul hukum cenderung akan bergerak sesuai dengan tuntutan politik yang berkembang. Ya, mari kita simak bersama apa yang terjadi pada minggu-minggu ke depan. Semoga saja dugaan saya itu keliru semua.

Namum seandainya premis saya di atas “benar”, maka di sini saya dapat membuat beberapa catatan penting. Pertama, diakui atau tidak, sedikit atau banyak, pada kasus Ahok tercermin gambaran situasi kritis muthakir bagi perjalanan Republik ke depan. Sebuah krisis politik yang mencerminkan adanya pekerjaan rumah besar tentang penataan kembali hubungan agama dan negara.

Seperti diketahui, selama ini kita selalu mendalilkan bahwa Indonesia bukan menganut paham negara-teokrasi namun sekaligus juga bukan negara-sekular. Proporsisi ini jelas mengingatkan pada konsep Orde Baru tentang bentuk Demokrasi Pancasila, yang waktu itu sering dipaparkan dalam penataran P4 sebagai “bukan demokrasi kapitalis” tapi juga “bukan demokrasi sosialis-komunis”. Konon, Demokrasi Pancasila itu generik Indonesia, di mana basis politiknya ialah musyawarah dan mufakat. Banyak intelektual kritis menyindir, Demokrasi Pancasila sebagai demokrasi bukan ini bukan itu. Bagaimana tidak, mengklaim negara demokrasi tapi toh senyatanya sentralisasi kekuasaan dan dominasi militer terjadi pada semua lini kehidupan bernegara. Jadi, demokrasi macam apa itu? Ya, itu tadi, demokrasi bukan ini bukan itu.

Bentuk kontruksi “bukan ini bukan itu” itulah juga terjadi pada penataan hubungan agama dan negara. Di sini kita tentu ingat “trilogi Fatwa MUI” yang notabene mengharamkan sekularisme, liberalisme dan pluralisme. Ketidakjelasan bentuk hubungan agama dan negara tentu bukannya tanpa resiko. Pasca Orde Baru, kita catat bermunculan ratusan Perda Syariah yang menegasi prinsip-prinsip Konstitusi UUD 1945 sebagai sumber dari segala sumber hukum. Selain itu, seperti yang tercermin kuat pada fenomena Ahok, penolakan seorang kandidat dilakukan dengan asumsi politik keagamaan yang sektarian.

Sementara di sisi lain, dalam perspektif sosiologi klasik demokrasi dan sekularisasi boleh dikata ialah dua sisi dari satu mata uang. Demokrasi nir-sekularisme bisa jadi bukan demokrasi, meski hal sebaliknya nampaknya tak selalu demikian.

Kedua, krisis politik tentang hubungan agama dan negara ini sekiranya tidak tertangani dengan baik, tak mustahil taruhannya ialah masa depan agenda demokrasi dan proyek kebhinekaan. Bagaimanapun, Indonesia dan keindonesiaan ialah proyek multietnis, multikultural sekaligus multiagama atau keyakinan. Artinya sudah bukan pada tempatnya agregasi dan ikatan primordial itu mengedepan sebagai basis nalar politik dari realitas bangsa majemuk ini. Tanpa adanya aturan main yang tegas di satu sisi, dan pembenahan mendasar tentang hubungan agama dan negara di sisi lain, bukan tak mungkin eksperimen demokrasi yang nir-prinsip-prinsip nilai demokrasi justru akan bermuara pada terjadinya peristiwa yang lebih buruk.

Ketiga, seandainya Ahok nanti akhirnya dinyatakan bersalah, bukan tak mungkin justru ia jadi representasi atau simbol dari kebhinekaan itu sendiri. Masyarakat di luar kubu pengunjuk rasa anti Ahok justru akan melihat dan memposisikan Ahok sebagai victim, baik karena buruknya penataan sistem tata negara maupun proses penghalalan segala cara dalam berpolitik. Jadi, sekalipun pada akhinya Ahok masuk penjara, Ahok masuk penjara sebagai konsekuensi dari perjuangan kebhinekaan. Saya yakin, justru karena itulah ketokohannya akan semakin nampak bersinar dan cemerlang pada 2019 nanti.

Sumber foto: Australian Embassy Jakarta on flickr

Tinggalkan Balasan