“Wah… jauh sekali, Mas. Sultan yang sekarang itu enggak ada apa-apanya dibandingkan Ayahandanya, HB IX…” suara senada kita dengar ketika orang Jogja membandingkan kiprah Sultan X.
Ya, barangkali “benar” jika Sultan X harus disandingkan dan dibandingkan Ayahanya, Sultan IX yang lahir dan besar pada zaman kolonialisme. Melihat dan merasakan pahit getirnya zaman itu serta mengalami dan terlibat intens dalam zaman pergerakan yang tidak saja melahirkan Indonesia, sekaligus juga tokoh-tokohnya. Kepahitan, kesedihan dan rasa sakit serta momen-momen kritis sejarah bangsa, banyak kita catat merupakan rahim terbaik munculnya orang-orang besar. Tanpa terkecuali, Sultan IX.
Andai membandingkan Sultan X dengan tokoh di luar Ayahndanya, sebenarnya cukup banyak prestasi terukir. Hanya saja ia nampaknya kurang memiliki tendensi dan piawai menyemai popularitas diri. Citra beliau pun tenggelam dalam hiruk pikuk isu lainnya yang notabene lebih memprioritaskan mencari sensasi dan rating daripada memotret fakta.
Menyimak ide dan pemikiran Sultan X, sebenarnya kaya ide-ide progresif yang dimaksudkan sebagai upaya menjawab tantangan zaman. Ide Sultan yang paling nampak adekuat adalah “Restorasi Indonesia”, yang belakangan dicomot Partai Nasdem dan mahsyur sebagai tagline. Menurut Sultan, bangsa kita butuh restorasi dan bukan semata reformasi. Konsep reformasi bersifat terbatas, ia tak mengandung ide penataan ulang. Sementara konsep restorasi, memiliki konsep kilas-balik, terkandung maksud penataan ulang berdasar pada fondasi yang diletakkan pada titik awal Republik didirikan: UUD 45, Pancasila dan Bhinneka Tunggal Ika. Lebih jauh, ide Restorasi Indonesia adalah perubahan paradigma dari bangsa kontinental menuju bangsa maritim. Jauh hari mendahului musim pilpres Jokowi.
Jika Sultan IX dikenang khalayak luas dengan komitmen “Tahta Untuk Rakyat” sementara Sultan X dikenang berani memfasilitasi gerakan reformasi Mei 1998, dengan mengizinkan rapat akbar kawula Yogyakarta menuntut lengsernya Soeharto di Alun-alun Utara. Waktu itu Sultan bahkan ikut turun ke jalan, sehingga Kota Gudeg boleh dikata aman dari desain kerusuhan. Lebih dari itu, ia bersama Gus Dur, Megawati dan Amien Rais mengeluarkan seruan politik yang dikenal dengan nama “Deklarasi Ciganjur”. Seperti kita ingat, pada masa ingar bingar reformasi itu, para deklarator Ciganjur ini adalah tokoh-tokoh informal yang dipercaya rakyat sekaligus mengemban legitimasi moral bahkan melebihi para pemimpin lembaga dan lembaga-lembaga formal negara seperti DPR/MPR.
Tahun 2009 Sultan mengikuti konvensi Partai Golkar, namun di tengah jalan ia mundur. Kemudian Sultan bermaksud mencapreskan diri melalui Partai Republikan dan mengusung ide calon independen. Namun putusan MK menolak gagasan calon independen, sehingga praktis jalan menuju RI I tertutup. Tanpa terkecuali Pemilu 2014, sas-sus beredar Partai Demokrat hendak mendorong capres sendiri dengan memajukan Sultan, namun upaya itu entah karena apa ternyata batal.
Keberuntungan politik barangkali tidak tersemat di pundaknya. Bicara empat tokoh deklarator Ciganjur, Sultan adalah satu-satunya tokoh yang tidak pernah menduduki posisi politik nasional. Gus Dur dan Megawati jadi Presiden, sementara Amien Rais pernah menjabat Ketua MPR. Barangkali saja kesadaran politis Sultan untuk serius urun rembuk bagi Republik momentumnya kurang tepat. Kita tahu, baru pada peringatan ultahnya ke-61 di Pagelaran Keraton Yogyakarta, 7 April 2007, Sultan menegaskan hendak berkiprah pada kancah nasional. Dalam pisowanan agung itu Sultan terang-terangan mengatakan ingin menyumbangkan gagasan, pemikiran beserta tenaganya untuk bangsa dan negara.
Dalam peringatan 34 tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki pada November 2012, orasi kebudayaan Sultan berjudul “Meluruskan Kembali Makna Nilai-nilai Budaya Jawa” memperlihatkan, ia tak pernah ragu melakukan kritik-oto-kritik terhadap nalar budaya Jawa. Menurutnya, selama ini (baca: masa Orde Baru) kita telah tercebur dalam lumpur konformisme budaya melalui eksploitasi simbol-simbol budaya Jawa yang salah kaprah, dan celakanya hal itu menyelinap ke segenap kehidupan bangsa.
Bahkan pada isu yang banyak orang enggan bicara, isu rokok kretek, misalnya, Sang Raja yang selama ini memang dikenal suka klepas-klepus berani bersikap kritis dan berpihak. Mengutip Nicotine War, ia menegaskan bahwa kampanye global memerangi rokok merupakan rekayasa perusahaan farmasi internasional. Menurut Sultan, jika kampanye antirokok tidak diwaspadai secara politis, maka ia mudah ditunggangi kepentingan bisnis global yang bermaksud mematikan industri kretek nasional. Karena itu terkait kampanye antirokok perlu dibangun sebuah konsensus.
Seandainya ada kritik patut disampaikan kepada Sultan, tentu lebih terkait pada kebijakan tata ruang dan kemudahan perizinan pendirian hotel dan mall di DIY. Ini pun sebenarnya bukan sepenuhnya kesalahan Sultan selaku pemerintah. Pasalnya, dalam banyak kasus perizinan, itu berada pada kewenangan Pemkot/Pemkab. Namun Sultan selaku pemangku adat dan Gubernur DIY seharusnya dapat bersikap lebih tegas dan mengontrol hal itu. Naga-naganya perlu Sabdaraja atau Dhawuhraja untuk mengatur soal ini. Sehingga kota Yogyakarta, yang kini masih dianggap representasi dan ikon budaya Jawa, lima atau tujuh tahun ke depan tak lantas kehilangan identitas lokalnya dan salin rupa jadi kota urban yang berwajah laiknya kota-kota besar lainnya seperti Bandung, Surabaya, Bali: penuh hotel dan mall.