Fenomena ST adalah fenomena wacana lokal, diskursus subaltern, yang menantang superioritas dan hegemoni wacana kesehatan satu dimensi.
[dropcap]M[/dropcap]embaca mereknya “Sehat Tentrem” (ST) dan tulisan peringatan di bungkusnya, awalnya kami menduga foto itu hanya sebuah “meme” alias sekadar lelucon gambar dengan maksud memparodikan masifnya wacana anti rokok. Tapi, ternyata bukan. Sehat Tentrem adalah benar-benar merek dagang sebuah rokok yang konon diolah dengan cara tak biasa dan notabene malah berfungsi sebagai obat.
ST adalah rokok kretek produksi Majmaal Bahroin Hubbul Wathon Minal Iman – Shiddiqiyyah di Jombang. Dibungkus layaknya rokok pada umumnya. Bedanya pada bungkus ST tanpa tertempel gambar mengerikan dan tanpa cukai. Kalimat peringatan “Merokok Membunuhmu” diganti dengan kalimat provokatif yang bikin pembacanya bakal tersenyum: “Rokok Ini Dapat Menyebabkan Kesehatan”. Bahkan peringatan pada promosi produknya di fanpage Facebook tertera lebih panjang lebar: “Merokok ST Dapat Menimbulkan Kesehatan, Mengandung Anti Oksidan, Melawan Radikal Bebas, Meningkatkan Imunitas, Stamina Dan Vitalitas Tubuh, Baik Bagi Ibu Hamil dan Janin, Serta Ramah Lingkungan.”
Lebih jauh, yang membuat ST menarik diamati ialah, selain dikonsumsi secara konvensional yaitu dibakar, ST juga bisa dikonsumsi dengan cara diseduh dan diminum layaknya jamu. Dari testimoni yang berhasil kami lacak, rokok karya KH Muhammad Muktar Mukti, mursyid tarekat Shidiqiyah ini, konon didaku mampu menyembuhkan beragam penyakit. Mulai yang ringan hingga berat. Dari sakit gigi, flu, asma, diabetes, TBC hingga sakit jantung. Abunya bahkan bisa jadi obat oles luka, lecet-lecet atau iritasi kulit, mengobati gatal-gatal, jerawat, bahkan akibat serangan tomcat. Selain itu, ST dapat jadi kompres seandainya ada tubuh kita yang bengkak. Singkat kata, ST adalah obat bagi semua gangguan kesehatan.
Secara regulasi sudah tentu ST adalah rokok ilegal, dijual tanpa cukai. Pun seandainya ST bermaksud melegalkan produknya tentu akan terbentur regulasi tata-kelola produk olahan tembakau, atau malah bisa jadi ST didakwa telah melakukan serangkaian manipulasi informasi tentang produknya pada khalayak luas.
Apa yang menarik diamati dari fenomena ST adalah hadirnya bentuk perlawanan terhadap wacana mainstream, bahwa produk olahan tembakau berupa Kretek adalah sumber dari segala sumber penyakit seperti didakwakan oleh konsep kesehatan modern a-la Barat. Fenomena ST adalah fenomena wacana lokal, diskursus subaltern, yang menantang superioritas dan hegemoni wacana kesehatan satu dimensi. Tak hanya itu, dalam publikasinya di youtube ST sengaja mencitrakan diri menantang produk rokok putih Marlboro sebagai simbol dominasi kapitalisme khususnya Amerika.
Fenomena ST belakangan ini nampak menyeruak jadi trend. Tak hanya ST, sebut saja merek dagang lainnya antara lain “Herbal Kretek” atau “SIN”, misalnya. Selain mencitrakan diri sebagai produk herbal, umumnya juga mendaku kretek sebagai obat. Ini mengingatkan kita pada kisah Haji Djamhari dulu pada 1870-an, sang pencetus popularitas kretek, ketika meramu beberapa jenis tembakau plus cengkeh sebagai obat sakit bengek. Selain itu, ST juga mengingatakan pada produk Divine Kretek, temuan seorang pakar nuklir Doktor Greta Zahar dan pakar nano-biologi Prof Sutiman B Sumitro.
Tapi, sayangnya tak semua produk kretek yang mendaku sebagai produk herbal yang konon lebih sehat atau malah berfungsi sebagai obat, memberikan eksplanasi dan argumentasi serta rasionalisasi ilmiahnya sebagaimana produk Divine Kretek. Pada kasus ST dan SIN, misalnya, otoritas kepercayaan dibangun bukan dengan narasi atau wacana ilmiah, melainkan justru didudukkan pada aspek kharisma pembuatnya, entah itu ulama atau kyai.
Seperti diketahui, Doktor Greta Zahar dan Prof Sutiman B. Sumitro berkolaborasi melakukan riset terhadap manfaat daun tembakau. Mereka berdua mengembangkan terapi balur dan divine kretek untuk berbagai penyakit mematikan seperti kanker dan lainnya. Divine kretek adalah asap kretek (baca: bukan rokok putih) yang telah melalui peluruhan radikal bebas. Bagaimana cara kerja balur divine kretek yang menggunakan pendekatan sains dan teknologi nano biologi?
Asumsi awal didasarkan pada hipotesa bahwa penyebab hampir semua penyakit adalah radikal bebas dan logam merkuri yang masuk tubuh. Polutan industri adalah penyebab jumlah populasi merkuri di bumi menjadi sangat besar. Ketika masuk ke dalam tubuh logam merkuri jadi racun dan pemicu radikal bebas. Karena itu harus diluruhkan dengan terapi balur dan asap melalui rokok. Asap rokok bisa diinisiasi menjadi biradikal yang membentuk nano molekuler kompleks dan mempercepat proses detoksifikasi karena mampu memperkecil racun tubuh pada skala nano (sepersemiliar meter). Demikianlah dalam ukuran nano, racun tubuh dapat keluar dari jaringan sistem tubuh tanpa merusak sub-sistem lainnya sebagaimana teknologi operasi (cutting) dan kemoterapi.
Testimoni kemujaraban divine kretek dan terapi balur sebagai obat kanker ini pernah dipresentasikan oleh Dokter Subagjo, Sp. BTKV pada sidang di Mahkamah Konstitusi terkait uji materi UU Kesehatan pada 2010. Dokter Subagjo, seorang spesialis bedah jantung, paru, dan pembuluh darah sekaligus Ketua IDI Malang itu, ceritanya terkena penyakit kanker getah bening. Karena Dokter Subagjo enggak tahan dengan dampak kemoterapi, maka atas petunjuk sahabatnya Prof Sutiman, dia justru keluar dari disiplin pengobatan medis modern, menjalani terapi balur dan pengasapan dengan kretek. Wal hasil, menarik dicatat, dia dinyatakan sembuh dari kanker getah beningnya.
Apa yang penting digarisbawahi di sini, bahwa temuan Doktor Greta dan Prof Sutiman selain merupakan solusi alternatif dalam model pengobatan yang hingga kini terus mengalami proses uji empiris, lebih dari itu sebenarnya juga merupakan terobosan tersendiri yang memberi solusi terhadap ingar bingar wacana bahaya rokok yang didorong secara massif oleh kelompok anti rokok. Sayangnya Pemerintah khususnya Kemenkes tidak mau menggali lebih jauh proyek penelitian dan eksperimen pengobatan berbasis tembakau. Ini mudah dipahami. Kemenkes dan jaringan para dokter di Indonesia sudah tentu lahir dan dibesarkan dalam tradisi ilmiah positivisme, yang secara historis dan saintifik telah memberi fondasi bagi temuan beragam pengetahuan tentang kesehatan manusia maupun teknologi pengobatannya, kompetensi keilmuan para dokter, dan juga sekaligus membesarkan industri medis dan farmasi modern dalam kerangka kapitalisme.
Pada titik ini kami jadi teringat dengan Paul Karl Feyerabend, salah satu tokoh penting yang menyerang telak jantung pertahanan sains positivisme. Fayerabend gigih melakukan perlawanan terhadap setiap upaya gagasan ilmu yang memiliki metodologi tersendiri untuk membatasi mana yang dianggap sebagai ilmu dan mana bukan ilmu. Semboyan extra ecclesiam nulla salus (diluar gereja tidak ada keselamatan) yang lebih dari satu abad lalu jadi kredo gereja, sejalan dominasi positivisme diadopsi oleh para ilmuwan dengan mengatakan extra scientiam nulla salus (diluar ilmu pengetahuan tidak ada kebenaran).
Lebih jauh, Feterabend mengkritik pandangan yang menganggap hanya ada satu metode atau sistem epistemologi tertentu yang dianggap benar dan absah. Menurutnya metode ilmiah bukanlah satu-satunya ukuran sebuah kebenaran, termasuk yang dikembangkan ilmu dan sains positivisme, tapi hanya merupakan salah satu dari berbagai cara mengungkapkan kebenaran. Dengan begitu tak selayaknya mengunggul-unggulkan ilmu pengetahuan ilmiah sebagai dasar paling unggul dan paling menentukan bagi kehidupan masyarakat. Dengan sikap itu, Feyerabend hendak melawan pandangan ilmu pengetahuan dan sains positivisme yang oleh para ilmuwan dianggap lebih unggul ketimbang bentuk-bentuk pengetahuan lain seperti sihir, magis, mitos dan lain sebagainya.
Pada konteks anarkisme epistemologi atau methodelogi yang dikembangkan oleh Fayerabend inilah, munculnya rokok sebagai obat seperti fenomena Divine Kretek atau ST barangkali bisa disebut sebagai anomali paradigma yang lahir untuk melawan bentuk kesewenang-wenangan ilmiah tradisi positivisme. Terlepas ada atau tiadanya basis ilmu pengetahuan sebagai dasar membangun argumentasi dan rasionalisasi, wacana tanding yang dirumuskan Divine Kretek dan ST patut diacungi dua jempol.