cukai tembakau
CUKAI

Seperti Pajak, Cukai Adalah Penyumbang Kas Negara

Tulisan ini hasil review atau pembacaan kembali buku terbitan Indonesia Berdikari berjudul “Ironi Cukai Tembakau” terbit pada tahun 2013. Buku ini adalah gabungan hasil riset literatur dan riset lapangan di lima provinsi. 

Cukai merupakan pendapatan negara yang pemungutannya harus berdasar pada Undang-undang dan harus dicantumkan dalam APBN sebagai pendapatan negara, seperti halnya penerimaan dari pajak.

Bea dan cukai terdiri dari; bea masuk, cukai tembakau dan cukai gula. Sedang pajak negara berupa; pajak penghasilan (PPh), Pajak pertambahan nilai barang dan jasa (PPN), Pajak penjualan atas barang mewah, pajak bumi dan bangunan, pajak bea dari perolehan hak atas tanah atau bangunan dan pajak bea dari materai. Cukai dan pajak ini sama-sama pungutan pemerintah sebagai sumber pendapatan. 

Cukai dan pajak ini sumber keuangan negara melalui pungutan secara yuridis diperkenankan. Menurut hukum perpajakan, dalam pungutan harus memenuhi lima persyaratan, yaitu:

  1. Pungutan harus adil, umum dan merata sesuai kemampuan masing-masing. Bagi wajib pajak berhak mengajukan keberatan dalam pembayaran dan mengajukan banding kepada pertimbangan pajak.
  2. Pungutan harus berdasarkan Undang-undang sebagai syarat yuridis. Sebagai jaminan hukum keadilan baik bagi pemerintah maupun warganya.
  3. Tidak mengganggu perekonomian (syarat ekonomi). Artinya pungutan tidak boleh mengganggu kelancaran kegiatan produksi maupun perdagangan sehingga menimbulkan kelesuan perekonomian masyarakat
  4. Pungutan harus efisien (syarat finansial), sesuai budget biaya pungutan harus dapat ditekan lebih rendah
  5. Sistem pungutan harus sederhana, guna mendorong masyarakat sadar pajak. 

Lima syarat di atas ini telah diatur dalam UUD 1945 Pasal 23 ayat 2, memberikan jaminan hukum untuk menyatakan keadilan baik Negara maupun masyarakat. 

Pungutan Pajak dan Cukai untuk Keadilan

Pungutan baik pajak maupun cukai semangatnya bukan kesewenang-wenangan pemerintah mengambil pungutan pada masyarakat. Justru sebaliknya, pungutan pajak dan cukai tak lain untuk asas keadilan. Pemerintah menjaga masyarakat, timbal baliknya pemerintah memberikan keamanan kenyamanan bagi masyarakat. 

Kalau memang itu terjalin baik, maka sama-sama untung. Jika haknya masyarakat terpenuhi, maka masyarakat sadar kewajibannya bayar pungutan. Demikian juga, jika pemerintah sadar kewajibannya, maka haknya akan terpenuhi.

Faktanya tidak demikian, pajak, cukai atau pungutan negara yang ada sampai detik ini semangatnya tidak berkeadilan lagi. Bagaimana negara bisa memungut sebesar-besarnya tanpa memperdulikan keadaan masyarakat. 

Ambil contoh, cukai hasil tembakau yang hampir tiap tahunnya selalu naik. Kenaikannya tanpa memperdulikan dampak dilapangan(bagi masyarakat) apalagi mau tau keadaan petaninya, jauh dari pemikiran pemerintah.

Justru yang sangat aneh dan menyakitkan, pemerintah menaikkan cukai hasil tembakau gegara intervensi asing lewat Kemenkeu atau lewat Kemenkes. 

Keadaan demikian, jauh dari asas keadilan, jauh dari lima syarat pungutan di atas. Bahkan jauh dari tujuan adanya pemerintah sebagai lembaga administrator dan lembaga jaminan pelindung bagi masyarakat.

Di sini bukan untuk mengompori, tapi di lapangan nyata demikian. Sehingga fungsi pemerintah yang seharusnya sudah melenceng jauh.

Kalau ada yang mengatakan bahwa semangat cukai tembakau itu adalah pengendalian, seperti yang telah dikatakan ketua YLKI Tulus Abadi. Anggapan tersebut terlalu berlebihan, dan bukan tujuan asli pertama kali muncul cukai tembakau. Kalaupun belakangan cukai tembakau sebagai alat pengendalian, itu hanya asumsi yang dicampur aduk saja.     

Kalau giroh cukai tembakau sebagai barang yang harus dikendalikan keberadaannya, seharusnya pemerintah juga memberlakukannya pada gula, nyatanya tidak. Lucunya ketika bicara cukai tembakau selalu disandingkan dengan cukai minuman keras, ya jesa beda lah. Di atas sudah tertera jelas, kalau aturan cukai tembakau satu kelompok dengan cukai gula.

Aturan Resmi Cukai Tembakau

Awal kali aturan resmi cukai tembakau ada itu sekitar abad ke-20, saat pemerintah belanda mengatur dalam staatblad No. 57 tahun 1932, staatsblad No. 560 tahun 1932 dan staatblad No. 234 tahun 1949. Semua aturan tentang pita cukai, bea ekspor, dan bea masuk impor, termasuk ketentuan besaran jumlah yang harus diterima pemerintah dari pita cukai.

Setelah Indonesia merdeka, pemerintah tetap melanjutkan aturan pungutan cukai warisan Kolonial tersebut yang dituangkan dalam UU Darurat No. 22 tahun 1950 tentang penurunan biaya cukai tembakau. UU ini mengatur harga jual eceran (HJE), menentukan golongan pengusaha mana yang dibebani kewajiban membayar cukai dan mana yang tidak wajib bayar.

Kemudian pada tahun 1951 muncul Peraturan Pemerintah (PP) No. 08 Tentang aturan dan penetapan besaran pungutan cukai hasil tembakau dengan cara melekatkan pita cukai warna warni, yang beragam penggolongan hasil tembakau, ada kelas cerutu, kelas sigaret rokok mesin (SKM) dan kelas sigaret rokok tangan (SKT). 

Pada tahun 1956, keluar lagi aturan UU No. 16 tahun 1956 Tentang Pengubahan dan Penambahan Ordonansi  Cukai Tembakau. Aturan UU ini dikeluarkan dengan tujuan untuk mengurangi dampak semakin banyaknya perusahaan rokok kecil skala rumahan yang bangkrut akibat tingginya pembayaran cukai tembakau.  

Dalam aturan UU No. 16 tahun 1956 ini, pemerintah memberikan subsidi kepada pengusaha rokok kecil selama satu tahun (tax holiday).

Masa orde baru (1966-1998), semua aturan cukai rokok / cukai hasil tembakau diatur dalam UU No. 11 tahun 1995 tentang Cukai. Kemudian UU tersebut di breakdown menjadi Peraturan Pemerintah (PP). Ada PP No. 24 tahun 1996 tentang Pengenaan Sanksi Administrasi Bidang Cukai. PP No.25 tahun 1996 tentang Izin Pengusaha Barang Kena Cukai. PP No. 55 tahun 1996 tentang Penyidikan Tindak Pidana Bidang Kepabean dan Cukai.

Setelah reformasi, pada tahun 1998 terjadi pembaharuan lagi aturan cukai, lahirlah UU No. 39 tahun 2007 tentang Perubahan Atas UU No. 11 tahun 1995 tentang cukai yang memberlakukan cukai beragam (differential tariff).

Tidak Ada Aturan Cukai Tembakau yang Baku

Inilah sejarah aturan cukai di Indonesia. Nah, gak ada kan aturan cukai ini yang semangatnya pengendalian. Yang ada aturan aturan dahulu justru betul-betul mengatur dan berkeadilan. Terlihat saat orde lama ada industri yang tak mampu bayar cukai, dikasih keringanan berupa tax holiday. 

Pertanyaan selanjutnya, mulai kapan muncul giroh cukai tembakau untuk pengendalian peredaran tembakau?. Tentunya setelah ada intervensi asing dan setelah banyak saudara kita yang terjebak kepentingan asing tersebut. Celakanya, saudara kita yang terjerembab tersebut di posisi strategis seperti di Kemenkeu, Kemenkes, Bea Cukai dan  lainnya. Kemunculan mereka menimbulkan maraknya gerakan-gerakan anti rokok di Indonesia.