REVIEW

Romansa Sebatang Kretek di Hari Santri Nasional

Di dunia pesantren, menghisap kretek tidak semata menjadi alat relaksasi dan teman ketika mengisi kegelisan hati, lebih dari itu rokok menjadi wasilah (jembatan) mentransfer keilmuan, berdakwah hingga melaksanakan kewajiaban bersosial dengan baik dan bermartabat.

 Tahun 2008, ketika saya masih nyantri di Pondok Pesantren Al Hikmah, saya sering sekali menyaksikan Almaghfurlah Kiai Nadjib Suyuthi menghisap kretek dalam kesehariannya. Misalnya, ketika berkeliling pondok, menemani tamu hingga ketika mengajar kitab kuning.

Sebagai seorang santri dengan otak pas-pasan dan daya nalar yang masih minim waktu itu, saya mengetahui satu hal bahwa kiai NU selalu punya maksud di balik segala yang mereka contohkan kepada santrinya. Masa itu menyaksikan beliau menghisap dalam-dalam kreteknya, saya belum mengerti apa hubungannya sebatang kretek dengan pembelajaran di pesantren. Tetapi setelah saya banyak menimba ilmu di sana sini, akhirnya saya menemukan satu jawaban yang cukup masuk akal terhadap pertanyaan yang bergelanyutan di kepala saya.

Misalnya saat saya mulai akrab dengan buku-buku tentang Gus Miek, katakanlah dalam buku Suluk Jalan Trabas, yang menjelaskan bahwa prosesi mendekatkan diri kepada Tuhan dapat ditempuh melalui jalan yang ringkas, entah itu melaui ritus-ritus tertentu atau yang lainnya.

Kemungkinan besar, kegiatan Almaghfurlah Kiai Nadjib adalah sebuah cara beliau untuk semakin mendekatkan diri kepada Tuhan. Menjadikan kretek sebagai sarana untuk mengingat Tuhan. Setiap hisap dan hempasan asapnya terkadung kalimat thayibah yang ia gemakan dari dalam hati. Sebagaimana yang pernah didhawuhkan Cak Nun di Malang, bahwa dari alur pernafasan pun kita masih tetap bisa berdzikir kepada Tuhan.

Saya percaya bahwa mendapatkan berkah adalah persoalan final keutuaman seorang santri dalam mencari ilmu. Melalui sebatang kretek yang beliau hisap, Almaghfurlah Kiai Nadjib ingin mentransfer keilmuannya kepada para santri. Dari tegesan (puntung) yang beliau tinggalkan di sebuah asbak, dari teh atau kopi yang beliau sisaskan separo di dampar (meja) mengajarnya, melalui sandal yang ia gunakan kemudian ditata oleh seorang santri.

Saya pribadi adalah salah dari sekian santri Al-Hikmah yang selalu ikut berebut menata sandal, meminum minuman sisa kiai dan mengantongi tegesan kiai, karena saya meyakini belajar saja tidak cukup untuk membuat kita menjadi mengerti. Memang belajar membuat manusia cerdas, tapi hitunglah berapa orang cerdas di bangsa ini yang tidak memiliki kemampuan untuk “mengerti”.

Tak berhenti sampai di situ, kebiasaan Almaghfurlah Kiai Nadjib menghisap kretek mungkin sama halnya dengan alasan Habib Luthfi Pekalongan. Bagi Habib Luthfi, merokok adalah aktivitas menjaga diri agar tetap menjadi bagian makhluk Allah yang gampang berkomunikasi dengan warga dan masyarakat pada umumnya. Kretek adalah sarana bersosial yang baik, meruntuhkan pagar-pagar antara seorang kiai dan masyarakat. Supaya seorang kiai mampu lebih mendekatkan diri dan ngemong masyarakat.

Di sela-sela kesibukan mengaji dan mengkaji, santri-santri di Blora, Rembang, atau di daerah Jawa lainnya, selalu memanfaatkan waktu sela mereka untuk ngopi dan menghisap kretek. Dari situlah mereka mengekspresikan diri dengan ngelelet (mbatik rokok) dan mendekatkan satu dengan lainnya.

Hari ini diperingati sebagai Hari Nasional. Sebuah hari yang menyeret kita untuk mengingat masa lampau, masa-masa para santri dan kiai berjuang memerdekakan kemerdekaan bangsa Indonesia dari cengkeraman imperialis. Saat ini, selain tekun belajar dan ikhlas mengabdi kepada kiai serta negeri, santri adalah kretekus yang paling soleh dan konsisten menjaga kedaulatan negara ini melalui sebatang kretek. Dari sebatang kretek yang mereka hisap, terjagalah roda perokonomian masyarakat kecil, seperti petani, buruh pabrik, pedagang eceran hingga pembangunan infrastruktur nasional.

Terima kasih para santri, jangan lupa ngopi dan bakar kretek untuk merayakan hari bersejarah ini.