REVIEW

Herman Hesse dan Siddhartha

Ilustrasi

Ilustrasi

Apa yang menarik dari novel ini ialah bagaimana Herman Hese membangun struktur kisah Siddhartha. Hesse sengaja memadukan mitos dan folklore masyarakat Hindustan, yang notabene sebenarnya merujuk pada satu tokoh yang sama. Govinda yang adalah sahabat sejak masa kecil Siddhartha adalah nama lain Kresna di India. Juga Vasudeva si juru sampan itu pun adalah nama lain dari sosok yang sama. Tanpa kecuali Pangeran Gautama, oleh sebagian orang Hindu juga dianggap setali tiga uang sebagai reinkarnasi dari keberadaan Kresna.

Selain itu, meskipun tak seperti Dan Brown yang mendudukkan posisi terhormat mantan pelacur Mariam Magdalena bagi Jesus, tapi kehadiran sosok pelacur Kamala bagi Siddhartha bukanlah tanpa nilai-nilai penting. Dari Kamala, Siddharta belajar tentang eros sekaligus philia; kesenangan jasmani dan kehangatan persahabatan atau persaudaraan yang tulus, yang tak dia temukan dengan Govinda. Tanpa pernah bertemu Kamala, Siddharta tentu juga enggak bakalan paham impulsi agape yang muncul pada diri anak lelakinya itu, yaitu rasa kasih tanpa syarat melebihi perhatian ataupun kesenangannya sendiri. Sementara eros, philia dan agape adalah prasyarat dan fondasi utama bagi batin Siddharta menyerap pemahaman yang lebih tinggi dan purna tentang hakikat kehidupan sebagaimana diajarkan oleh Vasudeva.

Ditulis dalam bahasa Jerman bergaya liris, novel ini karya kedelapan Hesse. Ditulis kisaran 1920-an, saat hampir seluruh masyarakat Eropa tengah dirundung kehausan rohani yang seakan merindukan agama baru. Kehadiran novel ini dianggap tepat waktu dan membuatnya demikian populer. Pada 1946 Herman Hesse beroleh penghargaan Nobel Sastra.

Sementara karya Siddhartha terbit pertama di Amerika tahun 1951 dan menjadi berpengaruh besar memasuki 1960-an. New Age, sebuah gerakan spiritualisme yang menggabungkan tradisi filsafat Timur dan Barat juga berbagai tradisi metafisika serta religi, jelas telah berhutang pada kisah Siddhartha karya Hesse ini.

Tinggalkan Balasan