CUKAIOPINI

Penggabungan Volume Produksi SKM dengan SPM Merugikan Industri Lokal

Pemerintah harus tegas dalam memberikan aturan pembeda tentang batas produksi bagi Sigaret Kretek Mesin (SKM) dan Sigaret Putih Mesin (SPM). Keduanya tidak bisa disamakan. Apabila digabungkan, asumsi sederhananya, golongan SKM naik tingkat ke golongan SPM, atau sebaliknya golongan SPM turun masuk golongan SKM. Selanjutnya akan berdampak terhadap penyamaan pungutan cukai keduanya. Jika disamakan, industri lokal berupa SKM, sangat dirugikan. Tarif pungutan cukai SKM bisa jadi naik sejajar dengan SPM, atau tarif pungutan cukai SPM turun ke layer SKM. Hal ini akan berimbas pada harga jual SKM dan SPM yang sama dipasaran. Padahal, selama ini harga jual SPM lebih tinggi dari SKM dipasaran.

Masyarakat pada umumnya, tidak tahu atau bahkan acuh tentang perkembangan aturan rokok. Tahu-tahu harga rokok berubah, baru mereka mencari informasi. Pasti pertanyaan sederhana yang selalu mereka utarakan, “mengapa harga rokok naik? Apakah industri masih kurang untung?”.

Dari pertanyaan sederhana di atas, tentu saja yang menjadi sasaran empuk disalahkan adalah industri. Sedangkan industri rokok mengikuti aturan pemerintah, melalui aturan tarif cukai oleh kantor bea cukai. Perlu diluruskan, bahwa sebetulnya industri rokok adalah semi badan usaha milik Negara. Karena, pertama; harga jual ditentukan oleh pemerintah melalui golongan tarif cukai. Kedua; tanpa modal pemerintah mempunyai keuntungan rata-rata lebih dari 60% perbatang.

Baca: Agenda Terselubung di Balik Isu Penyederhanaan Layer Cukai

Kembali ke SPM dan SKM, jika volume keduanya disamakan, otomatis golongan atau layernya sama, seperti penjelasan sederhana di alenia pertama di atas. Ini membuktikan lemahnya pemerintah mengenai pengaturan peredaran rokok produk asing di Indonesia.

Perlu diketahui, bahwa SPM rata-rata perusahaan milik asing, sedangkan SKM mayoritas milik pengusaha lokal.  Secara konten rokok SPM dan SKM sangat berbeda. Perbedaan yang mendasar adalah cengkeh, SPM tanpa cengkeh, SKM memakai cengkeh. SPM tidak memakai tembakau lokal (petani Indonesia), SKM konten tembakaunya dari campuran tembakau lokal (petani Indonesia).

Pemerintah harus tegas dan berani membuat aturan tersendiri tentang peredaran SPM, seeperti halnya di Amerika. Dalam rangka melindungi industri nasional, negeri Paman Sam itu mengeluarkan aturan pembatasan peredaran SKM. Hal ini dilakukan untuk mengatasi peningkatan permintaan pangsa pasar SKM tiap tahunnya, sedangkan pasar SPM melemah.

Nah, seharusnya di Indonesia membuat aturan sebaliknya dengan melindungi industri nasional. Jangan hanya menggenjot penerimaan dan meningkatnya pendapatan Negara melalui cukai, akan tetapi melemahkan dan merugikan industri nasional.   

Hal ini perlu diketahui anggota Komisi Keuangan Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia, sebagai wakil rakyat perlu mengkaji lebih mendalam tentang rencana penggabungan volume produsi SKM dan SPM. Diadaptasi dari Koran-sindo.com, DPR RI Komisi Keuangan memberikan alasan penggabungan akan menghentikan praktek penghindaran pajak pabrikan rokok asing besar yang saat ini masih menikmati cukai murah. Jika penggabungan ini dilakukan, kebijakan tersebut juga akan melindungi pabrikan rokok kecil dari persaingan harga dengan pabrikan asing besar.

Dari penjelasan DPR RI Komisi Keuangan tersebut, seakan-akan aturan penggabungan ini hanya ditentukan untuk industry yang memproduksi rokok SKM dan SPM dalam satu perusahaan. Menjadi rancu, ternyata dalam PMK 146/2017, tidak menjelaskan batasan tersebut. Selanjutnya dalam aturan tersebut, juga tidak memperjelas yang dimaksudkan penggabungan SKM dan SPM, apakah SKM digabung ke golongan SPM, atau SPM digabung ke dalam golongan SKM?. Karena SPM dan SKM, keduanya jelas sangat beda produknya (barang).  Hal inilah disinyalir menjadi pintu masuk untuk menggerus SKM perlahan-lahan.

Ketua Gabungan Perserikatan Pabrik Roko Indonesia (GAPPRI),  Ismanu Soemiran dilansir dari Krjogja.com, melayangkan permohonan kepada Presiden untuk meninjau kembali rencana simplikasi golongan serta penggabungan kuota rokok kretek dan rokok putih, serta roadmap cukai PMK 146/2017 untuk tidak dilaksanakan di tahun 2019.  Ismanu berpendapat PMK 146/2017 berpotensi mengarah kepada monopoli. Artinya, berpotensi hanya menguntungkan pabrik terbesar berstatus penanaman modal asing (PMA) saja, dan akan menggeser rokok kretek yang multi varian ke rokok putih yang hanya satu jenis.

Dilansir dari media online bisnis.com, Gabungan Perusahaan Rokok Malang (Gaperoma) merasa keberatan dengan rencana kumulasi produksi SKM dengan SPM, karena menjadikan produksi rokok akan naik, kemudian naik pula golongan maupun layernya. Selanjutnya, secara otomatis naik pula tariff cukainya. Dengan penggabungan atau penyamaan tarif cukai SKM dan SPM akan menghilangkan golongan I-B SKT, yang akan memberatkan pabrik rokok lokal karena akan berdampak kenaikan harga rokok, dan pastinya akan terjadi penurunan penjualan.

Gaperoma, berharap agar penyederhanaan layer dengan penggabungan SKM dengan SPM dikaji ulang secara mendalam, karena sangat meberatkan industry rokok lokal (kretek).

Baca: KNPK Menolak Simplifikasi Tarif Cukai

Sekali lagi, untuk Komisi Keuangan DPR RI,sebaiknya mendengarkan harapan GAPPRI dan Gaperoma. Mereka mewakili suara industry, tahu betul kondisi perkembangan pabrik rokok kretek lokal. Jangan sampai usul asal-asalan atau asal usul. Juga seharusnya Komisi Keuangan DPR RI membela industry rokok lokal (SKM), daripada kepentingan industry rokok asing (SPM).

Perlu diketahui, pangsa pasar SKT lebih besar dibanding SPM, terlebih di Indonesia. Jadi jika SKM digabungkan dengan SPM, yang kemudian salah satu harus naik golongan atau turun golongan, sangat merugikan SKM. Untuk itu, Komisi Keuangan DPR RI agar hati-hati dalam mendorong rencana penggabungan SKM dengan SPM.  Yang diuntungkan adalah industry asing (SPM), dan jauh dari alasan Komisi Keuangan DPR RI tertera di atas, salah satunya untuk melindungi pabrikan rokok kecil dari persaingan harga dengan pabrikan asing besar, ini tidak akan terjadi, yang terjadi adalah sebaliknya.

Justru yang harus dilakukan Komisi Keuangan DPR RI adalah membuat aturan rijit SPM jika memang masih menikmati cukai murah, bukan malah memberikan solusi penggabungan, yang akan menimbulkan keresahan bagi industry lokal (SKM). Terlebih lagi, jika dirunut dorongan untuk menggabungkan SPM dan SKM, sebagai salah satu agenda mematikan rokok kretek dan industry dalam negeri dalam (SKM).