REVIEW

Kementerian Kesehatan, Cerdaslah!

Ternyata gigih juga, gerakan antirokok di Indonesia. Setelah beberapa tuduhan negatif yang dilayangkan terhadap rokok terpatahkan dengan data dan argumen kuat, mereka melalui rezim kesehatan melayangkan surat ke Kemkominfo untuk segera memblokir iklan rokok di Internet. Kelakuan mereka berdua terlalu “alay” dan sesat pikir.


Bayangin alasan utama rezim kesehatan meminta ke Kemkominfo untuk pemblokiran iklan rokok di internet konon ada riset tahun 2018 bahwa terjadi peningkatan prevalensi perokok anak dan remaja usia 10-18 tahun 1,9%. Salah satu karena tingginya paparan iklan rokok di berbagai media termasuk media teknologi informasi. Ada 3 dari 4 remaja katanya mengetahui iklan rokok di media online seperti youtube, website, instagram serta game online. Rezim kesehatan merujuk pada undang-undang nomer 36 tahun 2009 tentang kesehatan pasal 113, pengamanan penggunaan bahan yang mengandung zat adiktif termasuk konsumsi tembakau diarahkan agar tidak mengganggu dan membahayakan kesehatan orang dan lingkungan.

Alasan utama rezim kesehatan di atas, menganggap tembakau sebagai zat adiktif. Anggapan ini jelas keliru. Saya akan meluruskan informasi tersebut dimulai dari apa itu zat adiktif?. Anda dapat menelusuri definisi zat adiktif melalui google Wikipedia bahwa zat adiktif adalah obat serta bahan-bahan aktif yang apabila dikonsumsi oleh organisme hidup, maka dapat menyebabkan kerja biologi serta menimbulkan ketergantungan atau adiksi yang sulit dihentikan dan berefek ingin menggunakannya secara terus-menerus.

Memasukkan tembakau sebagai zat adiktif jelas keliru, sebab tembakau itu rasanya pahit kayak brotowali. Kalau gak percaya silahkan dicoba dimakan sedikit saja, dan mungkin Menteri kesehatan harus juga mencoba. Bagaimana orang, terutama anak remaja bisa ketergantungan?. Kalau rasa pahit dikategorikan bisa menimbulkan ketergantungan, apakah obat resep dokter atau obat yang dijual diapotek yang rasanya pahit dan bisa dikategorikan menimbulkan ketergantungan?. Andaikan jawabannya tidak, dengan alasan obat di apotek itu sudah diramu untuk menyembuhkan penyakit. Nah, tembakau justru natural atau alami tanpa proses kimiawi bisa menjadi obat untuk penyakit. Lebih sehat mana bahan alami dengan bahan yang dihasilkan melalui proses?.

Setahuku, orang minum obat aja pada malas, salah satu alasannya karena rasanya pahit. Apalagi anak-anak atau remaja nambah malasnya, dan harus dipaksa saat minum obat saat sakit. Apalagi seumpama disuruh konsumsi tembakau, pasti pada tidak mau dan mungkin kapok. Kemudian ada inovasi obat diberi pemanis atau dikasih rasa buah-buahan agar anak-anak mau minum obat saat sakit. Disini terlihat, bahan yang bisa menjadi ketergantungan adalah bahan yang menggandung rasa manis, asin, dan gurih. Kalau tembakau dimasukkan sebagai bahan yang bisa menjadi ketergantungan jelas keliru, karena rasanya pahit. Orang akan memilih menjauh dari rasa pahit. Pahitnya hidup aja dijauhi apalagi pahitnya tembakau.

Kalau alasannya karena tembakau dibuat rokok sehingga bisa menjadikan orang ketergantungan. Sekarang kita sensus, banyakan mana orang di Indonesia ini yang mengkonsumsi rokok dengan yang tidak mengkonsumsi?. Jawabannya sudah jelas banyak yang tidak mengkonsumsi. Hal ini menjadi satu bukti kalau rokok tidak menjadikan orang ketergantungan. Bukti lain, aktifitas merokok itu bisa ditinggalkan sampai berjam-jam dan bahkan bisa durasi lama dengan sendirinya. Saat bulan puasa, orang bisa meninggalkan aktifitas merokok di siang hari misalnya. Bahkan bisa lupa tidak merokok 24 jam. Artinya, tembakau yang diolah menjadi rokok bisa ditinggalkan, karena memang tidak bisa menjadikan orang kecanduan.

Fakta di lapangan, banyak orang yang merasa nikmat saat merokok itu sehabis makan yang mengandung rasa asin, gurih atau minum-minuman manis. Jadi yang membikin orang ketergantungan merokok adalah rasa yang ditimbulkan dari makan atau minuman yang dikonsumsi, buakan rokoknya yang bisa menjdikan orang ketergantungan. Untuk masalah zat adiktif yang dituduhkan rezim kesehatan terhadap tembakau dan hasil olahannya berupa rokok, sekiranya sudah jelas tidak membuat orang menjadi ketergantungan.


Pasti timbul pertanyaan, kalau begitu, mengapa rezim kesehatan selalu memusuhi tembakau dan hasil olahannya berupa rokok, terutama rokok kretek?. Singkat jawabannya adalah karena rezim kesehatan di Indonesia, ikut-ikutan apa kata rezim kesehatan dunia dalam hal ini World Health Organization disingkat WHO, sedangkan WHO bekerjasama dengan pabrikan farmasi dunia punya tujuan politik dagang penguasaan nikotin untuk kebutuhan obat yang salah satunya terkandung pada daun tembakau, sedangkan daun tembakau selama ini sebagai bahan baku rokok. Lebih detailnya, penjelasan jawaban pertanyaan di atas, bisa dilihat dan dibaca pada buku hasil riset Wanda Hamilton yang berjudul “Nicotine War”.


Jadi jika Menteri Komunikasi dan Inforamtika menindaklanjuti dan melaksanakan permohonan Kementerian Kesehatan untuk pemblokiran iklan rokok di internet dengan alasan tembakau mengandung zat adiktif, dan jumlah perokok usia anak sampai remaja meningkat gara-gara paparan iklan di media sosial, sangat keliru.

Alasannya, pertama tembakau atau hasil olahannya tidak menjadikan orang ketergantungan. Kedua, dikutip dari hasil penelitan bekerjasama Hwian Cristianto dengan Universitas Surabaya, menunjukkan data-data survey soal meningkatnya perokok anak dari iklan perusahaan rokok tidak menunjukkan sebab akibat dari adanyanya pengaturan iklan rokok tanpa memeragakan wujud rokok dengan hak konstitusional anak. Pravalensi yang menunjukkan peningkatan jumlah anak yang merokok hanya berkorelasi dengan fakta bahwa hak anak hidup dan mempertahankan kehidupannya dari keberadaan produk rokok, bukan karena iklan rokok sendiri. Tidak dapat disimpulkan secara serta merta bahwa peningkatan pravalensi perokok usia anak-anak memiliki hubungan kausalitas dengan iklan rokok tanpa memperagakan wujud rokok.


Hasil riset Hwian Cristianto bekerjasama dengan Universitas Surabaya diatas, menunjukkan tidak ada korelasi signifikan iklan rokok dengan peningkatan jumlah perokok usia anak-anak. Jadi alasan rezim kesehatan di atas, tidak sesuai fakta di lapangan. Selanjutnya, sebetulnya pihak google tidak mengijinkan usia anak anak membuat email untuk login ke akun media sosial. Justru yang seharusnya dilakukan Kemkominfo adalah menfilter bahkan sampai memblokir email anak-anak agar tidak bisa masuk keakun media sosial, bukan malah sebaliknya. Seperti halnya yang tidak diperbolehkan itu usia anak-anak naik sepeda motor dijalan raya dan tidak diperbolehkan membuat surat ijin mengemudi (SIM), bukan motornya yang tidak boleh beredar, ini yang benar. Alasannya, kelakuan anaknya yang membahayakan orang lain, bukan karena motornya yang membahayakan.


Karena pada dasarnya, rokok adalah barang legal, keberadaannya diatur oleh pemerintah, tak terkecuali masalah iklan rokok. Iklan rokok di internet telah diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 109 tahun 2012. Untuk itu, Kemkominfo harusnya melihat aturan-aturan yang ada dan melihat sisi politik rezim kesehatan yang tidak sesuai dengan realita lapangan. Bukan malah mau disetir oleh rezim kesehatan. Kalau mau disetir rezim kesehatan, dimana independensi Kemkominfo sebagai instansi yang menaungi masyarakat Indonesia, yang berbeda-beda tetapi tetap satu. Jelas rezim kesehatan disini ingin memacah belah masyarakat, dengan mengkebiri keberadaan tembakau dan hasil olahannya. Kalau dirunut, duluan mana tanaman tembakau dengan keberadaan Kementerian Kesehatan?. Kalau memang tembakau membuat bahaya bagi manusia, sudah jelas para pendahulu kita akan memusnahkan tanaman tembakau tersebut, dan para Wali dan Ulama’ akan menghukumi haram.