Mbah Sholeh, salah satu tokoh di Desa Prawoto Pati Jawa Tengah, ia selalu mengkonsumsi rokok kretek untuk memacu gairah semangat hidupnya diusia menjelang senja. Usia boleh bertambah kepala tujuh, namun fisik tetap bugar, seger dan energik.
Sore itu sehabis ashar hari senin tanggal 23 September 2019, salah satu pengurus Yayasan Masjid Menara dan Makam Sunan Kudus (YM3SK) menghampiriku sembari menyerahkan kertas undangan. Saat itu, aku sendiri sudah di atas motor mau bergegas pergi belanja untuk keperluan Mbah Pae panggilan akrab simbah KH. Sya’roni Ahmadi Kudus. Saat ini, beliau menjadi bapak masyarakat Kudus, sehingga banyak orang memanggilnya “Mbah Pae”, putra dan cucunya pun memanggil demikian.
Undangan dari pengurus YM3SK aku masukkan ke kantong saku celana, kemudian lanjut pergi belanja. Walaupun hari sudah sore, panas matahari masih terasa, terlebih saat menyinari kulit yang tidak terbungkus kain pakaian. Seakan-akan hari itu matahari semangat menyinari bumi mengiringi musim kemarau. Sepulang dari belanja akupun menuju dapur mengambil gelas dan air minum. Sambil minum aku buka undangan tersebut dan aku baca. Ternyata undangan tersebut pemberitahuan ada acara pengajian dalam rangka Haul Agung Kanjeng Sunan Prawoto Raden Haryo Bagus Mu’min atau biasa dipanggil Mbah Tabek.
Sunan Prawoto adalah raja keempat dari Kesultanan Demak yang memerintah tahun 1546-1549. Nama lahirnya Raden Mukmin, seorang agamis dari keturunan Kerajaan Demak Bintoro. Putra Sulung Raja Demak Sultan Trenggono. Ia terkenal dengan sebutan Sunan Prawoto, karena daerah yang disinggahi hingga akhir wafatnya bernama Desa Prawoto dalam wilayah kabupaten Pati Jawa Tengah berbatasan dengan wilayah Kabupaten Kudus bagian selatan. Konon Desa Prawoto sebagai Kerajaan Kecil setelah Kerajaan Demak hancur. Raden Mukmin inilah yang memboyong Kerajaan Demak ke Prawoto.
Saat ini Desa Prawoto adalah desa perbukitan, dengan hawa yang tidak terlalu dingin saat malam hari dan tidak terlalu panas pada siang hari. Walaupun hanya perbukitan, di Prawoto masih banyak pohon-pohon besar dan hijau memberikan kesejukan. Saat malam tiba, dari perbukitan Prawoto nampak jelas wilayah kota Kudus. Memang daerah Prowoto lebih dekat dengan kota Kudus dari pada Kota Pati. Bahkan budaya dan adat istiadatnya pun kental dengan budaya keKudusan. Sebagian besar masyarakat Prawoto aktifitas seharinya kewilayah Kudus, seperti bekerja, berdagang, pergi kepasar, sekolah, bahkan samapi memanfaatkan fasilitas ATM mereka memilih ke Kudus.
Pada masa penjajahan Belanda, Desa Prawoto di fungsikan sebagai distrik Karesidenan yang membawai daerah Pati sampai perbatasan Tuban Jawa Timur, Kudus, Jepara bahkan Demak. Sampai sekarang perkantoran Karesidenan warisan Belanda masih berdiri kokoh dan sebagian difungsikan untuk kepentingan Desa. Tidak hanya itu, di tengah-tengah desa terdapat semacam alun-alun kecil dengan kolam air besar yang konon juga peninggalan Belanda. Tidak sedikit yang berpendapat kolam tersebut peninggalan jauh sebelum Belanda, alias peninggalan Sunan Prawoto. Sehingga, kolam tersebut sering dibuat mandi para tokoh-tokoh dan Ulama’ dari luar kota di Jawa, seperti Pekalongan, Batang, Kendal, Magelang, Solo dan lainnya.
Di Desa Prawoto terdapat dua makam Sunan Prawoto, di daerah bawah dan di daerah atas istilah masyarakat menamainya. Terlepas mana yang benar Makam Sunan Prawoto tergantung keyakinan individu. Menurut arkeolog UGM yang saat itu ikut menjelaskan, bahwa yang dibawah adalah peninggalan situs dan yang di atas dari dulu berupa makam yang dikenal dengan makam Tabek.
Rerata jenjang pendidikan masyarakat Prawoto maksimal tingkat SMA, hanya ada beberapa glintir yang samapi jenjang sarjana dan ada satu orang menjadi guru besar di UGM, namun sudah lama menetap di Yogyakarta, dan jarang pulang. Anehnya, walaupun rata-rata lulusan jenjang SMA, kemampuan dan skill mereka tak kalah dengan yang sarjana bahkan mentalnya pun demikian. Hal itu dapat dilihat dari cara bicara, cara berorganisasi, dan pola pikir maju seperti halnya sarjana. Itulah sekilah cerita tentang Prawoto.
Kembali ke undangan, setelah aku baca, ternyata undangan tersebut sekaligus perintah dari pengurus YM3SK untuk mewakili datang di acara Haul Sunan Prawoto yang dilaksanakan di hari dan tanggal itu juga jam 19.00 WIB. Walaupun terkesan mendadak tidak seperti biasa jauh-jauh hari sudah ada pemberitahuan, seperti saat acara haul Sunan Bonang, Sunan Kalijaga, Sunan Ampel. Akhirnya tetap datang di acara haul Sunan Prawoto dengan berkoordinasi dan mengajak dengan teman-teman di dekat desa Prawoto. Berangkat sehabis sholat isya’, sampai di desa Prawoto jam 19.45 WIB acara dbelum di mulai menunggu group rebana dari bapak-bapak polisi Polres Kudus.
Disaat-saat senggang tersebut, aku manfaatkan ngobrol dengan penduduk dan tokoh Ulama’ setempat. Ternyata mereka selain punya warisan seni ketoprak juga punya kebudayaan menghisap rokok kretek. Selain rokok kretek mereka tidak mau. Karena budaya merokok kretek diyakini warisan leluhurnya. Jarang sekali orang-orang tua yang tidak merokok, terlihat tidak memegang dan membawa rokok kretek kebanyakan anak-anak usia sekolah. Sambil ngobrol mengupas sedikit sejarah Sunan Prawoto kita merokok kretek bersama. Dengan merokok kretek suasana santai dan keakraban terbentuk di serambi masjid Sunan Prawoto.
Kebetulan posisiku duduk bersebelahan dengan salah satu tokoh juga Ulama’ Prawoto. Umurnya sudah tergolong dapat bonus 16 tahun dati Tuhan. Itulah jawabannya saat aku tanya usianya berapa. Karena pingin tau, aku tanya kembali persisnya usia berapa, beliau menjawab diatas rata-rata umumnya usia manusia (60 tahun) yaitu 76 tahun. Ia menjawab sambil tersenyum dan memegang rokok kretek yang telah disulut, ia adalah Mbah Sholeh (nama samara).
Saat menjawab, akupun terkaget, karena prediksiku umur sekitaran 50an. Raup wajahnya bersih, badannya terlihat sehat dan terlihat energik, tidak mau kalah dengan bapak-bapak lainnya yang saat itu ikut ngobrol yang rata-rata umur 48-60 tahun.
Akhirnya akupun penasaran, dan kembali bertanya. Mbah apa resepnya kok masih terlihat muda?. Ia pun menjawab, jauhi makanan yang ada obat penyedap rasanya, makananlah bahan alami seperti daun-daunan. Sampai detik ini ia mengaku tidak makan makanan yang ada penyedap rasanya, kalau ditawari atau ada suguhan di depannya, ia memilih tidak akan memakannya. Juga kalau ditawari dan disuguhi minuman yang bergula. Ia pun demikian menghindari. Kata masyarakat lainnya yang ikut ngobrol, Mbah Sholeh itu hidup sehat.
Celetukan tersebut disikapi Mbah Sholeh dengan senyuman dan sambil mengeluarkan asap rokok kretek dari mulutnya dan hidupnya. Kemudian aku bertanya lagi, kenapa Mbah merokok?. Ia pun tersenyum sambil menyedot kembali rokok kreteknya dengan menjawab, kalau merokok kretek membuat ia bahagia, dengan kondisi bahagia ini orang jadi awet muda. Kalau merokok membuat semangat, dengan semangat orang jadi giat dan kuat. Ia juga menceritakan memulai merokok kretek saat sudah Islam. Kata Islam disini bukan berarti saat masuk Islam, akan tetapi yang dimaksud saat sudah khitan atau usia baliq. Dahulu setelah ia dikhitan, bapaknya menyuruhnya merokok sebagai tanda sudah dewasa.
Inilah pengakuan Mbah Sholeh, ternyata wajah yang bersih berseri, awet muda, fisiknya kuat dan energik, salah satu rahasinya adalah berbahagia dan giat. Agar bahagia dan giat ia selalu mengkonsumsi rokok kretek dan meninggalkan makanan dengan penyedap rasa.