OPINI

Agenda Pelemahan Nasionalisme Pada Sektor Pertembakauan

Lagi-lagi rezim kesehatan melalui Kementerian Kesehatan ber-ulah. Mereka mengagendakan revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109 tahun 2012. Salah satu poin yang akan dipertegas adalah pelarangan menggunakan bahan tambahan ke produk olahan tembakau. Bagi stakeholder pertembakauan mengganggap salah satu penegasan yang akan dimasukkan pada revisi PP No 109 tersebut dinilai rancu dan kedepannya dianggap sebagai pasal karet. Revisi PP No 109 tersebut sebagai bentuk pelemahan terhadap industri rokok nasional berupa kretek.


Sebelum menjelaskan korelasi revisi PP 109 dengan pelemahan nasionalisme dan penjelasan tentang pasal karet, terlebih dulu akan dibahas tentang PP 109 dan sedikit sejarah singkat kemunculannya. Biar nanti gamblang dan mata rantai penjelasan tak terputus.


Terbitnya PP 109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan ini merupakan agenda dan dorongan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC). Bahasa sederhananya FCTC itu sebagai upaya pengendalian, pengontrolan dan pengamanan produk tembakau. Sasaran utama FCTC tak lain upaya menghentikan konsumsi tembakau dengan mengarahkan bagi yang sudah ketergatungan tembakau untuk menggunakan produk farmasi. FCTC itu sendiri banyak kepentingan asing.


PP 109 ini ditandatangi pada tanggal 24 Desember, pada saat itu masa pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudoyono (SBY). Kalau dilihat PP 109 ini seharusnya nomenklaturnya itu kesehatan, tapi nyatanya malah mengatur soal tataniaga dibalut dengan kerangka hukum nasional. Artinya domain kesehatan sudah masuk pada wilayah perdagangan. Hal ini sebagai bukti bahwa pelabelan tembakau sebagai zat adiktif yang dijelaskan pada PP 109 merupakan akal-akalan belaka, yang disodorkan rezim kesehatan dunia dan industri farmasi multinasional untuk mengambil alih nikotin. Artinya, baik FCTC dan PP 109/2012 murni kepentingan asing.


PP 109/2012 ini bisa dikata sebagai pintu masuk banyaknya pasal karet, lebih haulsnya dinamai politik hukum yang dibuat asing untuk menjerat kepentingan nasional. Ambil contoh kalau memang rokok benar-benar membunuh manusia, kenapa dalam PP 109/2012 ada pengecualian pembolehan rokok dengan low nikotin low tar. Sedangkan tembakau hasil bumi pertiwi dengan kearifan lokalnya tak mungkin bisa memenuhi aturan dalam PP 109/2019 yang bisa hanyalah tembakau asing. Hal ini jelas membunuh kepentingan nasional dengan dalil kesehatan.

Peduli terhadap kesehatan itu satu tindakan yang mulia, namun kalau sudah ditumpangi dengan politik dagang dan kepentingan asing itu sudah melenceng bahkan bisa dikata terlalu jahat. Karena memanfaatkan hal yang mulia dengan agenda jahat asing. Sayangnya pemerintahan Indonesia melalui rezim kesehatan belum sadar akan hal itu.


Buktinya lagi, berbekal PP 109/2012 Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kesehatan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto mengatakan, merujuk pasal 12, ayat (1) Peraturan Pemerintah No 109 tahun 2012 yang berbunyi setiap orang yang memproduksi produk tembakau dilarang menggunakan bahan tambahan kecuali telah dapat dibuktikan secara ilmiah bahan tambahan tersebut tidak berbahaya bagi kesehatan.


Masih dalam proses, pasal ini rencana akan direvisi dengan memperjelas pelarangan bahan tambahan seperti rasa buah, permen karet dan lain sebagainya. Alasannya rasa-rasa tersebut dapat menarik perhatian perokok pemula dan anak-anak, tutur Agus.


Mengenai revisi pasal di atas, semua sepakat bagi anak-anak di bawah umur 18 tidak boleh merokok, sekalipun perokok berpendat demikian sesuai aturan yang berlaku. Yang jadi soal, pelarangan terhadap cita rasa rokok, yang ujung-ujungnya tidak akan berhenti pada cita rasa rasa buah atau permen karet. Pasti kedepan, asing mendesak lagi untuk melarangan semua model campuran pada tembakau yang dibuat rokok, jika revisi pasal di atas di sahkan.


Perlu diketahui, rokok khas Indonesia itu campuran daun tembakau dan buah cengkeh, sehingga dinamai rokok ktetek. Sejarah telah mencatat demikian. Rokok kretek sangat beda dengan rokok asing. Rokok asing hanya memakai tembakau saja atau disebut “rokok putihan”.
Jadi, yang menjadi kekhasan rokok indonesia campuran buah cengkeh. Dan cengkeh adalah tanaman asli bumi Nusantara. Ketika putra bangsa berkreasi dan berinovasi sehingga mencampur tembakau dengan buah cengkeh dan hasilnyapun menakjubkan, dapat sebagai media pengobatan. Perkembangannya, rokok kretek sangat disuka oleh orang-orang asing termasuk di AS. Setelah permintaan rokok kretek tiap tahunnya meningkat, akhirnya AS melarang peredaran rokok kretek di negaranya dengan diterbitkannya produk hukum pelarangan dengan dalil kesehatan. Akan tetapi rokok produk dalam negerinya sendiri tetap bebas beredar. Satu hal yang sangat jahat. Sayangnya Indonesia tidak seperti negara AS yang berani melarang rokok produk luar.


Kalau diperhatikan dengan cermat semua aturan tentang pertembakauan yang ada di Indonesia itu sebagai agenda intervensi kepentingan asing untuk mematikan industri rokok kretek Nasional. Yang betul-betul jelas dihadapan mata, munculnya PP No. 109 tahun 2012 yang mengadopsi FCTC, dan sekarang mau dievisi lagi memperjelas pelarangan cita rasa, kalau saja revisi ini disahkan atau berlakukan, maka agenda kedepan akan menghilangkan buah cengkeh sebagai campuran dalam pengolahan daun tembakau menjadi rokok kretek ciri khas Indonesia.


Kalau itu terjadi konsekwensinya rokok kretek tinggal kenangan dalam sejarah, tamatlah industri kretek Indonesia, tamatlah buruh industri, tamatlah petani tembakau indonesia, tamatlah petani cengkeh Indonesia yang pernah jaya bersama rokok kretek.