Saya mulai hari ini hari akan bersikap tegas terkait isu tembakau, karena ini berkait dengan isu kedaulatan bangsa ini. Saya lihat pada awal april bulan lalu di berita CNBC Indonesia, Sri Mulyani, Menteri Keuangan kita bertemu dengan Michael Bloomberg, orang yang dikenal menggelontorkan dana ratusan juta dollar untuk proyek pengurangan dan pengendalian produksi dan konsumsi tembakau ke seluruh Negara-negara di dunia, termasuk di Indonesia. Ada apa ini? Apakah ini sinyal buruk untuk industri tembakau kita?
Kita tahu, WHO lembaga kesehatan Dunia PBB itu, yang dulunya berfungsi sebagai mitra sejajar yang membantu mencapai level kesehatan tertinggi bagi bangsa-bangsa, saat ini sudah mulai berubah menjadi lembaga yang mengintervensi kebijakan politik ekonomi sebuah bangsa. Fungsi awal sebagai mitra ini dilanggar lembaga ini dengan mengadopsi sebuah perjanjian pada 21 Maret 2003 bernama, “Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) atau semacam “Konvensi (internasional) Kerangka Kerja terkait Pengendalian Tembakau”. FTCT sudah ditandatangani sejumlah 168 Negara, dan diratifikasi oleh 181 Negara. Ada sekitar 9 Negara yang tidak mendatangi, dan ada 6 Negara yang menandatangani tapi belum meratifikasi. Dan Indonesia, negeri kita ini, adalah merupakan salah satu negara yang tidak menandatangani FCTC tersebut.
Namun, seperti sudah banyak ditulis berita, meski tidak atau (belum) mendatangi FCTC, gelontoran dana Bloomberg, yang merupakan perwakilan Duta Besar Global WHO tersebut, sudah merembesi dan mengucur ke berbagai lembaga pemerintah maupun swasta di negeri Indonesia kita. Sedikit Perlu diketahui, Bloomberg atau lengkapnya Michael Bloomberg, mantan walikota New York tersebut, adalah orang terkaya ke-9 di dunia menurut majalah Forbes (2019). Tokoh ini diangkat sebagai duta WHO untuk project “Noncommunicable Diseases (NCDs) and Injuries” dari Agustus 2016 sampai November 2019. Ia melalui lembaga Bloomberg partnerships-nya, meluncurkan dua proyek yaitu Kemitraan untuk kesehatan kota-kota (Partnership for Healthy Cities) dan Kesatuan Tugas terkait Kebijakan Fiskal untuk Kesehatan (Task Force on Fiscal Policy for Health).
Tugas dan fungsi Task Force on Fiscal Policy for Health adalah mempengaruhi kebijakan fiskal dari negara-negara anggota WHO untuk menaikkan cukai tembakau, alkohol dan minuman manis. Salah satu anggota Satuan Tugas ini adalah beberapa Menteri Keuangan dari berbagai Negara. Dan Sri Mulyani, Menteri Keuangan Indonesia, adalah salah satu anggotanya. Jadi jangan heran ya, jika menteri kita ini, getol menyuarakan dan mengusahakan kenaikan cukai Tembakau.
Saya beri bocoran sedikit tentang ke mana aliran Dana Bloomberg. Lembaga kita yang telah menerima gelontoran dana Bloomberg di antaranya: Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, Direktorat Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Dinas Kesehatan Provinsi Bali, Komisi Nasional Perlindungan Anak (Komnas PA), Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Indonesia Corruption Watch (ICW), Yayasan Pusaka Indonesia, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Forum Warga Kota Jakarta, dan Lentera Anak Indonesia.
Sekali lagi meski belum menandatangi, apalagi meratifikasi, dampak dari akses gelontoran dana tersebut sudah berhasil mngintervensi proses Regulasi di Indonesia, seperti UU no. 36 2009 tentang Kesehatan, UU nomer 28 tahun 2009 tentang Pajak daerah dan Retribusi Daerah, serta UU sejenis, PP, Permenkes, Peraturan Bersama, Perpress, dan UU lain yang berjumlah sekira 13 peraturan yang bisa sejauh ini dideteksi.
Apa dampak FTCT bagi Indonesia? Jika FCTC ini berhasil dipaksakan ditandatangani dan diratifikasi, maka bagi bangsa Indonesia akan memiliki dampak: Yakni, harga rokok juga cukainya akan dinaikkan setinggi-tingginya, memaksa para petani mengkonversi ke lahan pertanian lain, menghilangkan kemasan rokok menjadi kemasan polos, mengasingkan industri hasil tembakau, ketidakbolehan beriklan dan promosi bagi industri tembakau, diskriminasi perokok, dan masih banyak yang lain. Belum jika dampak kebijakan turunannya yang biasanya berakibat lain yang lebih parah.
Gejalanya bisa mulai dilihat dengan maraknya Kawasan Tanpa Rokok, yang atas nama awalnya hanya berusaha mengatur, tapi berubah menjadi melarang aktivitas merokok. Atau gejala lain adalah denormalisasi konsumen alias diskursus, wacana, maupun kebijakan yang menempatkan seolah warga negara perokok kita adalah pelaku criminal, layaknya orang yang menghisap ganja dan candu. Bahkan invasi gambar-gambar penyakit organ tubuh di bungkus rokok kita telah mengokupasi hampir separuh bungkus rokok dari kemasan aslinya.
Saya tidak akan berlarat bercerita. Saya akan mengambil satu contoh dampak yang kita terima jika FCTC ini diterapkan di Indonesia. Pada pasal 9 & 10 dalam FTCT, terdapat larangan penggunaan perasa/flavor mencakup larangan penggunaan cengkeh dalam komponen rokok. Singkatnya, Rokok khas Indonesia yang bernama Kretek (alias dari bahan campuran tembakau dan cengkeh) akan digusur pelan-pelan, dan berganti ke rokok putih.
Dulu para pendiri bangsa ini, Soekarno, Agus Salim, dll di forum-forum internasional menjadikan rokok Kretek (racikan gabungan tembakau dan cengkeh), alias jenis rokok yang tidak dipunyai Negara-negara lain, sebagai identitas kebanggaan kebangsaan kita, dan seolah ingin mengatakan: “Inilah rokok Indonesia kami, mana rokokmu?” Tersirat nada bangga yang merujuk pada gagasan “kemandirian” sebuah bangsa. Di saat Rokok-rokok putih (hanya berbahan tembakau) tak kuasa menggeser industri rokok Kretek kita, dan di saat rokok Kretek Indonesia mendapat larangan masuk ke pasar-pasar internasional (karena ketakutan kalang saing), FCTC merupakan instrument ampuh untuk memenangkan pertarungan bisnis tembakau oleh lembaga bisnis Internasional. Belum jika ini menyangkut pertarungan bisnis nikotin dunia oleh lembaga farmasi dunia yang sedang berlangsung. Oleh karenanya “Kretek” adalah pertaruhan terakhir “kemandirian ekonomi” dan juga sekaligus “Kemandirian Politik” kita.
Jika kita terus menerus didikte, apalagi dengan gelontoran dana, terkait “apa yang disebut sehat atau tak sehat” perihal rokok kita, maka ini merupakan tanda yang secara persis merepresentasikan ukuran sejauh mana kebijakan-kebijakan politik kita bisa terlepas dari intervensi dan kepentingan asing, alias bisa menjadi ukuran kemandirian kita sebagai bangsa.
Saya jadi ingat kisah Djamhari, sang penemu Kretek kita yang legendaris. Saat terkena batuk, atau semacam penyakit di tenggorokan dan pernafasan, Djamhari iseng mencampur dan meracik tembakau dan cengkeh, yang saat itu belum pernah dilakukan siapapun. Ia kemudian menyalakan dan mengisap rokok tersebut dengan bunyi khasnya “krethek..krethek..krethek” pada percikan sulutan rokonya. Dan, tanpa diduga, penyakitnya sembuh. Ia, rokok dengan bunyi kreteknya, pada mulanya adalah obat, Sejak saat itu, rokok kretek lambat laun diproduksi massal. Dan sejak saat itu pula, tahun-tahun demi tahun, lambat laun, kita sebagai bangsa bisa berkacak pinggang berkata pada dunia: Inilah rokok Indonesia. Dan, sayangnya, hari ini bangsa kita berusaha membunuhnya bersama-sama.
Cepokojajar, 6 Maret 2020
Irfan Afifi