rokok kretek
REVIEW

Mengapa Saya Terlibat dalam Usaha Pelestarian Kretek

Kali pertama saya memutuskan mengisap rokok, dan menjadi perokok aktif, terjadi sekira 14 tahun lalu. Ketika itu usia saya satu bulan lagi menuju 19 tahun. Itu terjadi jauh dari tempat tinggal saya di Yogya, juga bukan di kampung halaman saya di Jakarta. Di Pos 5 jalur pendakian Gunung Lompobattang di Sulawesi Selatan, saya memutuskan untuk merokok dan menjadi perokok aktif.

Sore di ketinggian sekira 2000 meter di atas permukaan laut, kabut mulai turun menyelimuti tenda dan sekeliling tenda yang belum lama saya dan empat lima orang rekan lain dirikan untuk rehat di hari itu. Hawa dingin mulai terasa. Kami mengeluarkan jaket untuk melindungi tubuh agar tidak terlalu kedinginan.

Selain melindungi tubuh dengan jaket agar tidak terlalu kedinginan, kami juga menyeduh teh dan kopi untuk menghangatkan badan. Lima orang teman saya lainnya, asyik mengisap rokok kretek mereka masing-masing untuk kian menghangatkan badan. Hanya saya dalam rombongan ketika itu yang bukan perokok.

“Seberapa efektif kemampuan rokok menghangatkan badan dalam kondisi dingin seperti ini?” Pertanyaan ini saya lontarkan kepada lima rekan saya langsung.

Jawaban mereka beda-beda. Ada yang bilang sangat efektif, ada yang bilang biasa saja, ada pula yang bilang tidak ada pengaruh sama sekali. Lainnya menjawab dengan sebuah usulan, “coba saja sendiri, kalau memang efektif dan kamu rasa cocok, ya silakan diteruskan. Kalau nggak cocok dan nggak bisa ngusir dingin, ya sudah nggak usah dicoba lagi karena kamu memang bukan perokok.”

Pada akhirnya saya mencoba. Apa salahnya. Benar kata salah satu rekan saya, kalau tidak cocok dan tidak berhasil menambah kehangatan di tengah kepungan dingin, ya sudah, jangam dilanjut. Sesederhana itu. Selanjutnya, sesekali di tiap pos tempat kami berkemah sepanjang perjalanan enam hari lima malam mendaki Gunung Lompobattang lintas Gunung Bawakaraeng, saya merokok untuk bantu menghangatkan tubuh. Saya merasa cukup berpengaruh.

Rokok pertama yang saya isap, dan rokok yang akhirnya terus saya isap setidaknya selama empat tahun awal saya menjadi perokok aktif, adalah rokok merek Gudang Garam Internasional. Di Makassar, dan di beberapa wilayah di Sulawesi Selatan ketika saya memutuskan merokok untuk pertama kali itu, rokok yang saya isap biasa disebut GG Mini. Mini karena mungkin panjang sebatang rokok ini relatif lebih pendek dibanding jenis rokok-rokok lain yang beredar di pasaran.

Alasan saya memilih rokok itu sebagai rokok favorit saya untuk merokok sehari-hari, bukan perkara rasanya yang paling enak dibanding rokok lain. Bukan. Dahulu semasa saya kecil hingga usia SMP, hampir setiap hari kakek saya meminta saya ke warung untuk membeli rokok yang rutin Ia isap. Rokok favorit kakek saya, Gudang Garam Internasional. Biasanya, uang kembalian dari membeli rokok, akan Ia berikan seluruhnya untuk saya.

Sejak rutin diminta beli rokok itulah, saya berencana, kelak jika sudah masuk usia boleh merokok, dan saya memutuskan untuk jadi perokok aktif, rokok sehari-hari saya akan sama dengan rokok kakek saya. Tentu saja bukan hanya rokok GG Internasional yang saya isap. Rokok sehari-hari saya sempat berganti ke beberapa merek lain, hingga akhirnya sekarang saya rutin mengonsumsi rokok Djarum Super MLD bungkus putih.

Pada mulanya, saya merokok sama seperti perokok-perokok lain memutuskan untuk menjadi perokok aktif. Ya sekadar suka dan cocok dengan rokok. Ada rasa yang berbeda ketika saya merokok usai makan, merokok ketika berbincang dengan teman, juga merokok saat bekerja dan merokok sembari berak di WC. Saya sama sekali tidak peduli dengan kampanye-kampanye anti-rokok yang hampir selalu membawa isu kesehatan untuk meniadakan rokok. Bagi saya, selama merokok masih diperbolehkan di negeri ini dan tidak melanggar undang-undang, ya sudah, saya merokok saya. Peduli setan dengan anti-rokok itu.

Semua pandangan itu berubah drastis saat saya bisa berinteraksi secara intensif dengan petani-petani tembakau di Temanggung dan Jember pada tahun 2016. Dari situ saya sadar, kampanye anti-rokok akan berpengaruh langsung pada hidup dan kehidupan para petani ini. Akan sangat merugikan para petani tembakau.

Pandangan saya kian meruncing harus ikut ambil bagian dalam kampanye menyuarakan pembelaan terhadap rokok, terutama petani tembakau dan petani cengkeh saat saya berkesempatan hidup dalam kurun waktu yang cukup lama dengan para petani cengkeh di Bali dan di Aceh. Saya ikut ambil bagian dalam penelitian bertajuk ‘Menelisik Kehidupan Petani Cengkeh: Kaji Kasus Lima Provinsi’.

Sejak saat itu, lewat wadah Komite Nasional Pelestarian Kretek, dan akun Boleh Merokok ini, saya rutin ikut menyuarakan isu-isu di sektor pertembakauan. Ikut ambil bagian dalam gerakan untuk mempertahankan kretek sebagai kebanggaan nusantara.

Fakta-fakta di lapangan, saya kira sangat penting untuk bisa mengubah sudut pandang seseorang terkait isu kretek di negeri ini. Saya teringat kisah Mohamad Sobary, budayawan di negeri ini yang memutuskan untuk merokok pada usia di atas 50 tahun dan ikut menyuarakan pembelaan terhadap petani tembakau dan petani cengkeh dan industri rokok kretek usai menyaksikan langsung bagaimana para petani tembakau di Temanggung bergerak untuk melawan kampanye-kampanye anti-rokok. Ia menjadi perokok ideologis. Yang memutuskan untuk merokok, dan ikut membela sektor pertembakauan, karena menyadari jahatnya kampanyr anti-rokok.