OPINI

Kretek: local genius Penemuan Anak Bangsa

Menurut Anthony Reid, sudah sejak 1845 “rokok putih” diimpor bagi kebutuhan sehari-hari masyarakat Batavia. Sebelum diproduksi secara lokal rokok putih dan cerutu impor termasuk barang baru bagi elit Indonesia. Harganya mahal dan tentu tak terjangkau bagi kalangan masyarakat.

Rokok putih juga dipertentangkan dengan produk olahan tembakau lokal yang waktu itu disebut “bungkus”, yaitu rokok produk sendiri (tingwe: linting dewe) dengan bahan kulit jagung atau daun pisang. Kala itu merokok bungkus dinilai dengan gaya hidup “kuno” ala pedesaan. Beda dengan rokok putih sebagai representasi masyarakat perkotaan yang modern dan terdidik.

Memang, kemunculan tingwe ini tak lepas dari praktek nyirih, nginang atau nyusur pada fase pra-kolonial. Praktek mencampur atau meramu daun sirih, buah pinang, tembakau, kapur dan terkadang juga ditambah cengkeh-dalam perjalanannya kemudian yaitu pada fase kolonial, menginspirasi lahirnya budaya kretek.

Berpusat di Kudus, Jawa Tengah, lahirlah kretek yang awalnya umum disebut “rokok cengkeh” sebagai simbol budaya popular akhir abad ke-19. Tepatnya antara tahun 1870 – 1890. Banyak literatur mengatakan yang mempopulerkan rokok dengan campuran tembakau dan cengkeh bernama Haji Djamhari. 

Sejalan dengan pengalamannya sendiri, awalnya rokok cengkeh ini dijualnya sebagai obat sakit nafas (asma). Hadji Djamhari menjual ‘rokok obat’ temuannya itu per-ikat terdiri sepuluh batang. Ternyata hasilnya dianggap banyak orang mujarab. Orang pun ramai berbondong-bondong datang minta dibuatkan rokok obat tersebut. Demikianlah barang yang semula dimaksudkan sebagai obat, dalam waktu singkat menjadi cikal bakal tumbuhnya industri rokok kretek. 

Pada perkembangannya, para pengrajin rokok satu demi satu pun bermunculan di Kudus. Tercatat pada tahun 1924 muncul 35 pengrajin kretek. Empat tahun kemudian jumlah pengrajin sudah tumbuh menjadi 50 perusahaan. Pada tahun 1933 tercatat industri ini berkembang semakin pesat tumbuh menjadi 269 pengrajin kretek. Bahkan popularitas kretek meluas jauh melampaui batas-batas teritorial kota Kudus. Para pengrajin bermunculan di banyak daerah Karesidenan Jepara-Rembang. Juga di Kediri, Blitar, dan Malang. Sedang dalam bentuk olahan tembakau lainnya yaitu varian yang dicampur dengan menyan seperti rokok siong, sejak 1925 tercatat bermunculan di Karesidenan Banyumas seperti Karanganyar, Banyumas, Purwokerto dan Purbalingga.

Setelah popularitasnya meningkat, rokok cengkeh kemudian lebih dikenal masyarakat dengan nama, “rokok kretek”. Kata ini berasal dari peniruan bunyi (onomatope) yang berasal dari suara cengkeh yang terbakar yang mengeluarkan bunyi meretih ketika dinyalakan: “kretek-kretek” (bahasa Jawa: kemretek). 

Akan tetapi belakangan karena faktor dinamika politik kolonial, istilah kretek menguat dan tumbuh menjadi penanda identitas bangsa Indonesia, yang dipertentangkan dengan istilah “rokok putih”. Di sini patut kita ingat, “rokok putih” bagi masyarakat Indonesia menamai produk rokok Barat. Bahkan hingga kini istilah ini masih menjadi kosa-kata sehari-hari masyarakat Indonesia yang berbicara dalam bahasa Indonesia untuk membedakan dengan rokok asli Indonesia. 

Menurut penuturan Pramoedya Ananta Toer biasa dipanggil Pram, pada masa pendudukan Jepang, rokok kretek jadi simbol nasionalisme di kalangan kaum pergerakan. Masuknya penjajahan Jepang mendorong ideologi westernisasi dalam kerangka memerangi pengaruh budaya Barat. Kretek terlihat semakin menjadi penanda identitas orang Indonesia (cultural identity), yang notabene dihadap-hadapkan dengan “rokok putih” ala Barat. Menurut Pram lagi, waktu itu satu-satunya yang merokok ala Barat adalah orang Barat. Mereka tidak akan pernah menyentuh kretek.

Dengan demikian munculnya istilah rokok putih dan kretek dalam kesejarahan Indonesia modern nampak memiliki fungsi konseptualisasi merumuskan bagan identitas pembeda antara kami (the self) dan mereka (the other). 

Kami-lah (Indonesia, pribumi, non-Barat) yang menciptakan kretek, di mana menjelang akhir dominasi kolonialisme, ternyata kretek sanggup berdiri sejajar dengan rokok putih yang adalah simbol eksistensi budaya mereka (Belanda, asing, Barat). 

Dalam konteks inilah penamaan “rokok putih” yang dipertentangkan dengan rokok ala Indonesia khususnya kretek merupakan bagian dari sejarah proses sosial politik, ekonomi dan simbolis untuk menantang struktur kekuasaan kolonial. Muara dari semua ini adalah muncul, tumbuh dan mekarnya kesadaran nasionalisme disertai perjuangan menuju kemerdekaan Indonesia. 

Budaya kretek di sini hadir sebagai alternatif representasi terhadap modernitas yang ditawarkan budaya modernisme Barat. Namun di sisi lain dalam banyak hal sesungguhnya budaya kretek tetaplah merupakan praktik yang tersambung dengan sejarah masa lalu Nusantara.

Adanya campuran tembakau, cengkeh dan rempah dalam kretek menjadi ciri aroma bangsa Indonesia. Jadi, tentu tidak berlebihan sekiranya dikatakan bahwa kretek merupakan pengejawantahan local genius Indonesia.