Inilah menariknya, buku yang disusun secara kolegial oleh 32 orang aktivis dan diterbitkan secara kolektif oleh banyak lembaga ini bermaksud memberi tafsiran sejarah G-30-S-1965 sejalan dengan perspektif kelas atau kelompok yang selama ini telah ditindas dan dibungkam.
Membaca buku “Sejarah Gerakan Kiri Indonesia untuk Pemula” bukan saja sidang pembaca disodorkan pada banyak fakta sejarah yang mungkin bagi sebagian orang dianggap “baru”, tapi lebih jauh juga diajak menyusuri perspektif tafsiran sejarah yang lain. Tafsiran sejarah subaltern. Tafsiran sejarah bisu. Tafsiran sejarah tanding yang selama ini dibungkam oleh sejarah resmi Orde Baru.
Ya, tigapuluh dua tahun lebih bahkan hingga kini tafsiran sejarah G-30-S-1965 secara monolitik cenderung dikendalikan oleh negara, dan boleh dikata sukses membangun hegemoni tafsiran “hitam-putih” itu. Celakanya, selama ini sejarah oleh Orde Baru cenderung ditulis mengikuti nalar “pameo” ilmu sejarah, bahwa “sejarah adalah sejarah mereka yang berkuasa.” Artinya sejak mula penulisan sejarah sendiri disusun lebih mengemban fungsi legitimasi kekuasaan Orde Baru ketimbang berpamrih obyektif sebagai wahana bagi bangsa ini bercermin dan belajar pada masalalunya.
Konsekuensinya, hadirnya buku ini selain menyodorkan fakta-fakta “baru” yang sudah tentu juga membuka wacana tafsiran baru, sekaligus menggedor dengan banyak pertanyaan tentang kebenaran narasi sejarah yang dikontruksi selama ini.
Sebenarnya fakta-fakta sejarah yang disodorkan buku ini bukanlah baru dalam arti sesungguhnya. Setidaknya bagi pembaca yang mengikuti kajian sejarah Indonesia yang ditulis oleh banyak sejarawan independen dan Indonesianis terkait G-30-S-1965 pasti paham, bahwa sesungguhnya banyak tafsiran dan polemis terkait insiden dini hari itu. Sejauh ini, di luar tafsir resmi oleh negara, merujuk pendapat Asvi Warman Adam paling sedikit ada lima model tafsiran tentang pelaku utama atau dalang di balik G-30-S-1965 itu, yang antara lain:
1) Sebuah klik dalam tubuh AD (Cornell Paper, Wertheim, Harold Crouch); 2) Pemerintah AS atau CIA (Peter Dale Scott, G. Robinson); 3) Presiden Soekarno (Jhon Hughes, Antonie Dake); 4) Oknum PKI (Tim ISAI); 5) Tidak ada pelaku tunggal (Nawaksara, Manai Sophian).
Sekiranya sidang pembaca membaca lima model tafsiran sejarah di atas maka segera nampak kesemrawutan fakta-fakta di lapangan yang mudah kita duga mengandaikan banyak silang sengkarut konspirasi yang melibatkan banyak aktor. Jelas, bukan tak mungkin ada “operasi dalam operasi” dalam momen peristiwa G-30-S 1965. Sehingga lumrah saja sekiranya bahkan hingga kini pun masih banyak peristiwa “gelap” yang penuh kontroversi dan menjadi bahan perdebatan di kalangan sejarawan.
Dalam lima skema atau model tafsiran tersebut, pertanyaannya ialah di manakah posisi tafsir buku Sejarah Gerakan Kiri Indonesia?
Inilah menariknya, buku yang disusun secara kolegial oleh 32 orang aktivis dan diterbitkan secara kolektif oleh banyak lembaga ini bermaksud memberi tafsiran sejarah G-30-S-1965 sejalan dengan perspektif kelas atau kelompok yang selama ini telah ditindas dan dibungkam. Bukan saja bermaksud membangun artikulasi tafsiran kaum Kiri terhadap peristiwa G-30-S-1965 secara khusus, di mana representasi dari istilah Kiri adalah PKI, tapi lebih dari itu buku ini juga bermaksud mengajarkan pada sidang pembaca tentang model pembacaan sejarah Indonesia modern dalam perspektif Kiri. Dengan begitu buku ini ditulis bukan dengan model pembacaan sejarah yang “sok netral,” tapi justru sejak awal mengajak sidang pembaca mengambil “sikap politik” dan keperpihakan tersendiri, yakni sebuah sikap politik anti penindasan dari sistem kapitalisme dan keperpihakan pada kelas buruh dan petani.
Apa yang baru dan luar biasa dari buku ini adalah model penyajiannya, bahwa semua narasi sejarah itu diringkas dalam bentuk komik sehingga memudahkan sidang pembaca “pemula” untuk belajar sejarah bangsanya. Menariknya lagi, lukisan karikatural yang menjadi format penyajian komik buku itu dilukis dengan semangat berpolemis dan jauh dari eufemisme. Walhasil, jangan kaget sekiranya sidang pembaca menemui ratusan gambar yang secara telanjang dan terperinci melukiskan kekejaman tentara dan Orde Baru terhadap para aktivis PKI dan ormas-ormasnya; atau juga banyak ditemui lukisan karikatural dengan ekspresi sinisme dan nada cemooh terhadap beberapa tokoh terhormat di Republik ini.
Sementara bicara peristiwa G-30-S-1965, buku ini bukan saja sekadar mengikuti model tafsiran “klik dalam tubuh AD” sebagai dalang atau pelaku utamanya, tapi juga mengombinasikan “model tafsiran CIA, oknum PKI dan tidak ada pelaku tunggal.” Dengan mengombinasikan eksplorasi data dan hipotesa tafsiran dari Cornell Paper, Wertheim, Harold Crouch, Peter Dale Scott hingga tulisan termuthakir John Roosa, juga diramu dengan autobiografi dari para pelaku sejarah seperti Soebandrio, A. Pambudi, Harsutejo hingga pengakuan persidangan Kolonel Latief dan lain sebagainya, buku ini hadir dengan maksud menggugat hegemoni tafsir resmi selama ini.
Kedekatan personal Letjend Soeharto dengan para tokoh G-30-S-1965 seperti Letkol Untung Syamsuri dan Kolonel Abdul Latief, misalnya, atau kehadiran serta keterlibatan pasukan YON 530 Brawijaya Jawa Timur dan YON 454 Jawa Tengah dengan peralatan tempur garis pertama untuk peringatan HUT ABRI yang belakangan diketahui atas prakarsa Letjen Soeharto selaku Pangkostrad, jelas menjadi beberapa pertanyaan besarnya. Selain itu, Sjam juga tercatat memiliki rekam jejak sebagai anak buah pasukan Wehrkreise pimpinan Soeharto pada 1949. Sjam dan Soeharto juga sudah saling mengenal sejak mereka aktif di Marx House dan Kelompok Pathuk di Yogyakarta.
Sosok misterius Sjam Kamaruzaman, dan perannya dalam Biro Chusus yang bertugas mencari informasi dari kalangan tentara dan merekrut perwira progresif yang tidak anti Kiri itu, didudukkan sebagai tokoh kunci di balik peristiwa G-30-S-1965. Selaku Ketua Biro Chusus yang hanya bertanggung jawab kepada Ketua CC PKI itu, Sjam dianggap manipulator yang begitu lihai mempengaruhi seluruh keputusan DN. Aidit. Dengan demikian kekeliruan Aidit semata-mata karena Sjam. Walhasil, sebenarnya tidak sepenuhnya jelas apakah Sjam adalah orang yang disusupkan PKI ke militer ataukah sebaliknya orang militer yang justru disusupkan ke PKI.
Pada titik-titik krusial itu buku ini sengaja memberikan daftar referensi pada catatan kakinya. Sayangnya buku ini kurang mengeksplorasi Dokumen Brigjen Soepardjo yang berisi analisis tentang sebab-sebab kegagalan G-30-S-1965 seperti dilakukan oleh misalnya John Roosa atau tulisan A.H Nasution. Sekiranya paparan analisis Soepardjo turut diolah menjadi data penulisan tentu buku ini hasilnya akan lebih kaya warna dan bukan “hitam-putih.”
Tak terkecuali, hal yang luput dikemukakan dari paparan buku ini adalah adanya “teori dua aspek kekuasaan negara” yaitu aspek pro-rakyat di satu sisi dan aspek anti-rakyat di sisi lain. Teori ini dikembangkan Aidit dan para ideolog partai, yang disadari atau tidak telah memberi basis legitimasi teoritis sekaligus politis terhadap munculnya hasrat “petualangan-politik,” lebih-lebih sejak melihat keberhasilan kasus kudeta di Aljazair. Teori Marxisme-Leninisme yang sudah tentu mensyaratkan secara ketat adanya kondisi obyektif massa-rakyat yang matang di satu sisi dan kesiapan subyektif agen revolusionernya di sisi lain sebagai rute jalannya revolusi, di sini jelas jadi dinisbikan dan dikompromikan oleh tuntutan-tuntutan yang lebih pragmatis. Terinspirasi kudeta Aljazair, Aidit meyakini bahwa sebuah kudeta tentara bakal bertransformasi menjadi revolusi jika didukung oleh rakyat luas. Selain Manai Sophian, John Roosa juga mengupas hal ini sebagai satu variabel pencetus G-30-S-1965. Sayangnya buku ini terkesan abai terhadap fakta tersebut, dan segera memadatkan segala kesalahan di balik G-30-S-1965 pada sosok Sjam. Dengan demikian keblingernya oknum PKI seperti analisis Nawaksara Bung Karno juga Manai Sophian cenderung tidak diberi benang merah tegas.
Hal lain yang menarik disimak, buku ini juga memberikan perspektif tafsiran terhadap sejarah Peristiwa Madiun 1948. Latarbelakang konteks analisis buku ini adalah Pertemuan Sarangan dan persetujuan Pemerintah Indonesia terhadap apa yang disebut “Red Drive Proposal”-nya usulan Amerika. Konsekuensi dari usulan itu melahirkan kebijakan “reorganisasi dan rasionalisasi” dalam tubuh birokrasi dan khususnya angkatan bersenjata. Seperti diketahui sejarah terbentuknya TNI, selain dibentuk oleh peleburan KNIL dan PETA juga terdiri dari agregat laskar-laskar rakyat baik itu elemen Kanan maupun Kiri. Nah, kebijakan yang lebih dikenal dengan nama “rera” itu diputuskan oleh Kabinet Hatta dengan maksud mengurangi jumlah tentara dari 400 ribu menjadi 57 ribu orang, di mana elemen Kiri dalam tubuh tentara hendak dilikuidasi.
Kebijakan rera inilah yang memprovokasi terjadinya Peristiwa Madiun, setelah sebelumnya muncul Peristiwa Solo yaitu insiden pembunuhan Kolonel Sutarto yang diketahui sangat keras menentang kebijakan rera, penculikan beberapa aktivis PKI, intimidasi, teror, dsbnya., yang menjadi pemantik konflik terbuka antara PKI dan pemerintah nantinya.
Sayangnya pada titik ini, buku ini tidak membuka fakta sejarah bahwa kebijakan rera itu sesungguhnya justru pertamakali didorong oleh kebijakan Amir Sjarifoeddin selaku Perdana Menteri sebelum Moh Hatta menggantikannya, yang belakangan notabene dia mengaku diri sebagai anggota PKI dan segera bergabung dengan FDR sekembalinya Musso ke Indonesia. Artinya kebijakan rera secara politis sebenarnya sebuah kebijakan yang dirumuskan oleh tokoh Kiri sendiri tapi malah blunder “makan tuan” dirinya sendiri.
Kekurangan lain buku ini minim mengeksplorasi sejarah sosok Tan Malaka yang sumbangsihnya bagi gerakan Kiri dan kemerdekaan di Indonesia sangat besar. Minimnya paparan kiprah Tan Malaka membuat gambaran sejarah gerakan Kiri menjadi kurang utuh terpaparkan. Selain itu, patut disayangkan masih ditemui kesalahan teknis penulisan pada hal 261, di sana ditulis subjudul “Trisaksi (1964)” yang mudah kita duga seharusnya adalah “Trisakti (1964).”
Jelas, buku ini hadir menohok keras tafsir sejarah resmi selama ini. Wajar saja banyak orang kebakaran jenggot. Celakanya respon yang muncul super reaktif dan berlebihan. Bukannya menyodorkan bukti-bukti untuk menyanggah asumsi data atau fakta yang dipaparkan buku itu, tapi sebaliknya malah sekadar mengancam dan melarang peredaran buku hingga berujung pada kegaduhan isu kebangkitan PKI Baru akhir-akhir ini.
Sementara, di sisi lain demokratisasi pasca Orde Baru dan iklim keterbukaan arus informasi senyatanya jelas membuat monopoli tafsiran sejarah a-la tafsir resmi oleh negara menjadi terlihat menggantang asap. Adanya penyebaran pengetahuan sejarah dari berbagai sumber membuat kontrol atas kebenaran sejarah bukan lagi monopoli negara, tapi juga merupakan ruang terbuka bagi tafsiran masyarakat sendiri. Ya, semakin luas dan beragamnya penyebaran pengetahuan dan informasi terkait G-30-S-1965 jelas akan semakin terbatas pula kontrol secara monolitik terhadap produksi tafsiran sejarah, baik itu oleh negara ataupun kelompok-kelompok masyarakat sipil. Dengan begitu sebuah tafsiran sejarah yang diproduksi sewenang-wenang laiknya model penulisan Orde Baru dulu pasti segera menemukan proses klarifikasinya sendiri, sehingga kebenaran wajah sejarah itu tak lagi bermakna tunggal melainkan justru plural dan beragam.
Kita boleh berdebat dan beradu argumen dengan keras. Tapi, mari segera kita akhiri perilaku melarang, mengancam, memberangus dan membakar buku. Apapun itu alasannya. Sebab bangsa yang besar hanya bisa ditorehkan oleh sikap keterbukaan dan mawas diri untuk selalu mau dan bisa belajar dari kesalahan-kesalahan masalalunya.Dan yakin saja bahwa tiap generasi atau zaman yang berbeda akan memiliki kedewasaan dan kearifan untuk memaknai sejarah masalalunya berkorelasi dengan problem dan tantangan zamannya masing-masing.