REVIEW

Museum Kretek Kudus, Bukti Kretek Asli Warisan Budaya Nenek Moyang

Seorang profesor Antropologi di University of Montana, GG Weix, menuliskan tentang visualitas Museum Kretek di Kudus, dan menyebutnya sebagai bagian penting dari riwayat, tengara, dan fasilitas kota. Berbeda dengan dua museum lain yang ada di Jawa Tengah, Museum Gula di Klaten , dan Museum Kereta Api di Ambarawa, yang notabene sumbangan penting colonial. Kretek dan Museum Kretek sebagai museum pengenangnya adalah temuan dan ciptaan bangsa Indonesia. Pendirian museum berarti suatu upaya untuk mengabadikan ingatan sekaligus merawatnya dari bahaya lupa ingatan.

Dalam museum kretek kudus sejarah telah mencatat, sejak Haji Djamhari menemukan secara tidak sengaja suatu perpaduan dari tembakau dan cengkeh yang dipilin dengan kulit jagung kering, kretek telah lahir menjadi budaya kehidupan di Nusantara. Dalam bahasa Hanusz; kretek is a ubiquitous feature of daily life in Indonesia and can be found in the most diverse circumstances—from religius ceremonies to work of art and literature. Budaya disini tak hanya menunjuk praktek kehidupan sehari-hari saja, tetapi juga identitas, suatu ciri pembeda dan marka pemisah dengan yang lain.

Adanya museum kretek, menguatkan bahwa kretek yang pertama kali ditemukan di Kudus. Didudukkan sebagai ekspresi pengetahuan dan kreatifitas lokal yang dihadirkan oleh masyarakat yang kemudian berkembang pada sekumpulan masyarakat dan selanjutnya secara turun temurun menjadi sistem mata pencaharian hidup. Kenyataan bahwa kretek menjadi budaya keseharian masyarakat Indonesia tidaklah bisa dibantah.

Dengan alasan itu, jelas bisa diterima jika Hanusz menyebut kretek sebagai temuan sekaligus warisan budaya Indonesia yang penting. Hanusz memang tidak mendedahkan secara jelas apa dan mengapa menyebut kretek sebagai heritage. Tetapi di sepanjang tulisannya, Hanusz selalu memampangkan bahwa kretek telah menjadi sumber sekaligus muara dari berbagai keahlian yang membentuk tradisi yang panjang; keahlian menanam, mengolah, memilih, memilah, membuat, mencampur, mengemas dll, serta berbagai jenis keanekaragaman; varietas tanaman, bentuk produk, gaya hidup, ekspresi, dan praktek sosial.

Jika merujuk perhitungan ditemukannya kretek merujuk pada sumber tradisi lisan, yakni oleh Haji Djamhari pada rentang 1870-1880, maka usia kretek kini telah melebihi 125 tahun. Ini membuktikan kalau usia kretek telah mencapai lebih dari 50 tahun sebagai batas minimal syarat ditetapkannya sebuah benda/tak benda menjadi warisan budaya sebagaimana tertuang dalam UU Nomor 11 Tahun 2010 Bab III Pasal 5.

Belum lagi, jika merujuk pada data kolonial yang menunjukkan bahwa sejak abad ke-16 telah banyak masyarakat bumiputera yang menghisap campuran tembakau dengan beberapa rempah dan dipercaya salah satunya cengkeh, maka usia kretek hari ini jauh lebih tua lagi. Selain usia yang telah memenuhi syarat minimal sebuah benda/tak benda disebut warisan budaya, tradisi meracik kretek juga telah diwariskan secara turun menurun sebagai sistem pengetahuan masyarakat.

Pada museum kretek di Kudus tercatat seseorang menjadi saudagar kretek besar kali pertama. Tak lain adalah Nitisemito. Tampilnya Nitisemito Sang Raja Kretek Jawa dengan rokok bal tiga-nya adalah tonggak dimulainya kretek memasuki industri nasional yang berdampak pada ekonomi dan budaya nasional. Pada awal 1914, Nitisemito membuka lahan seluas 14 hektar dan menyerap hingga 15.000 tenaga kerja. Kemudian jejaknya diikuti oleh para pengusaha rokok lain di Kudus dan kota-kota sekitarnya.

Lain itu di museum kretek terdapat banyak merek kretek yang terpampang. Kalau dicermati merek kretek banyak makna yang terkandung dan selalu bertalian dengan beragam aspek, diantaranya adalah aspek keyakinan, filosofi, memori, keakraban dan inspirasi. Kebermaknaan merek berlaku bagi pemberi merek maupun pengguna kretek. Adanya siratan makna di dalam merek kretek dapat dipahami, sebab pada dasarnya merek merupakan tanda (sign). Penandanya didasarkan pada referensi tertentu. Walaupun demikian bukanlah hal yang mudah untuk merepresentasikan makna yang terkandung dalam tiap-tiap merek produk kretek. Bahkan tidak jarang terjadi bahwa makna yang tersirat dalam suatu merek merupakan misteri abadi, yang hanya diketahui maknanya oleh si pemberi merek.

Begitulah, kretek juga bersinggungan dengan ilmu simbolik, semiotika dan semantik. Merek-merek kretek yang merupakan keakraban dengan tradisi simbolik kehidupan keseharian orang Kudus dan sekitarnya, menandakan bahwa kretek adalah bagian dari keseharian, tradisi, adat istiadat, perilaku budaya dan kehidupan antropologis leluhur bangsa kita. Maka melestraikan kretek sebagai kreatifitas budaya yang adiluhung di era modern saat ini, sama dengan berjihad mengusung kretek sebagai warisan budaya bangsa yang dibanggakan di dunia.

Kretek merupakan unsur tradisi yang telah menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Masyarakat Indonesia tidak bisa dipisahkan dari yang namanya kretek. Perlu diektahui bahwa kretek pada dasarnya juga rokok. Tetapi tidak semua rokok adalah kretek. Ada distingsi yang jelas antara rokok kretek dengan rokok–rokok lain yang non-kretek. Dalam hal ini bisa diketahui melalui sudut pandang filsafat, dan sejarahnya.

Dari sisi filosofis, kretek hakekatnya merupakan hasil kreatifitas masyarakat Indonesia di dalam meramu tembakau, dan cengkeh. Dengan kombinasi cengkeh di dalam tembakau itulah, maka rokok kretek secara material maupun kultural berbeda dengan rokok-rokok lain yang non-kretek. Sebab, hanya ada di Indonesia ramuan seperti itu dalam dunia rokok. Inilah yang membedakan kretek dengan rokok-rokok lainnya. Temuan kretek ini kemudian berdampak kepada ranah yang lain yang lebih luas, utamanya di bidang ekonomi. Hingga saat ini industri kretek merupakan salah satu industri yang paling banyak menyerap tenaga kerja dan juga memberikan hasil income terbesar kepada negara.

Kretek tentu saja bukan budaya yang beku. Kretek, dengan bahan baku diperoleh dari cara menanam (cengkeh dan tembakau), membuat, mengemas, menyuguhkan dan menjual serta menikmati, juga telah mengalami perubahan. Dari yang manual tradisional menjadi modern. Untuk tetap mengenang jejak itulah, di Kudus berdiri Museum Kretek.