Merokok dan kegiatan habitus lainnya dalam hidup ini, bagi saya, mesti memiliki ritus dan alasan tersendiri dalam benak pikiran. Meski awalnya kegiatan itu sebatas ikut-ikutan dan kemudian kita nikmati menjadi kebiasaan pribadi. Hal ini bukan untuk berlaga menjadi manusia sok filosofis, tapi barangkali penting untuk mengetahui apa yang akan dibentuk oleh kebiasaan itu sendiri dan sejauh apa pengaruhnya untuk tubuh.
Mengenal rokok, diawali dengan sebuah rasa penasaran dan pikiran skeptis anak belia bau kencur di pondok pesantren. Seperti apa rasanya sebatang rokok yang hanya mengeluarkan kepulan asap dan mengapa sebagian pondok begitu melarang kegiatan ini untuk para santrinya. Bahkan hukumanya bisa jadi fatal. Di pondok saya, mengonsumsi rokok kemudian terendus secara basah oleh pengurus, taruhannya adalah penggundulan mahkota rambut atau bahkan menjadi tontonan masyarakat pondok dengan penyulutan rokok dalam jumlah yang lebih banyak.
Sering timpal menimpali bersama teman perihal cerita alasan yang akhirnya membawa mereka menjadi seroang kretekus. Begitu pula berbagi cerita tentang kemungkinan untuk berhenti dari aktivitas yang maha tuma’ninah ini. Suatu hari bersama seorang kolega di tempat KKN, ia mengajukan sebuah pertanyaan di tengah sepi kegiatan.
“Zen, lu ga ada niatan buat berhenti ngerokok?”
“Ga ada sih. Lu gimana?”
“Lah ngapa dah? Bukanya rokok itu bikin boros. Gw sih ada niat, tapi ga bisa. Udah nyandu kayaknya deh.”
“Bukan soal boros, bro. Rezeki itu kan udah ada dan bagaimana kita nya ngatur”
“Bener juga sih. Tapi gila banget, anjir. Cukai rokok itu sinting. Mahal pisan!”
“Santai aja sih, bray. Emang cukai rokok itu mahal. Tapi banyak cara buat bersumbangsih buat negeri ini, cuy. Salah satunya, ya, ini. Mengamini kretek yang kita konsumsi tiap hari udah bantu cukai negara dan sirkulasi ekonomi petani cengkeh dan tembakau muter terus.”
“Taek, lu. Sok filosofis!”
“Ini bener cuy! Lu ga tau kan gimana perokok sekarang begitu dikerdilkan lewat iklan pemerintah dan kaum anti tembakau?”
“Emang pemerintah ngelarang iklan rokok, ya?”
“Laaaah, maliiiih. La u kemana aja!”
“Ya, kan gw ga paham soal begituan, ngerokok mah ngerokok aja kali”
“Nah ini, nih. Kita harusnya paham, bro, sama habitus kita sehari-hari termasuk soal komoditasnya!”
“Bodo lah gw mah, pusing ngurusin begituan!”
“Bro, semakin kita merasa masa bodo justru semakin kita ga peduli sama apa yang kita geluti.”
“Emang ngapa sih harus segala paham begituan?”
“Ya, supaya ada alasan logis aja. Biar kita disebut ga ikut-ikutan. Soalnya gw sih suka aja gitu nyari tau sama apa yang jadi kebiasaan gw sendiri.”
“Terus kenapa pemerintah ngelarang iklan rokok, padahal kan ngasih cukai buat pajak negara yang gede?”
“Nah, lu jadi kepo sendiri kan sekarang?”
“Ya, udah terus kenapa? Ga usah kebanyakan ngomong!
“Pemerintah itu sebenernya bukan ngelarang, bro, hanya membatasi aja iklannya. Soalnya produk ini emang laku di pasaran tapi diasumsikan bahaya buat kesehatan.
“Ah sok ide! Emang ga baik kan rokok itu buat kesehatan?”
“Bray, menurut sebuah penilitian, tubuh kita ini bukan memenuhi kebutuhan, tapi membangun kebiasaan.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya begini; merokok ga merokok bukan soal sehat tidak sehat, tapi ya soal biasa atau tidaknya kita sama habitus itu sendiri. Termasuk sama komoditas lain yang kita konsumsi sehari-hari”
“Ah pusing!”
“Sama.”
“Hahaha”
Lewat obrolan di atas, merokok mungkin terus menerus dipersepsikan sebagai aktivitas yang berbahaya untuk kesehatan. Silakan berdebat sesuai referensi dan kadar pengetahuan kalian masing-masing. Terlepas itu, yang mesti banyak diketahui dan diakui, aktivitas lewat komoditas ini mengurat bersama akar sejarah bangsa ini tumbuh dalam ruang yang begitu intens bagi sebagian besar masyarakat.
Artinya dampak yang niscaya hadir bukan persoalan ekonomi dan kesehatan semata. Lewat aktivitas ini setidaknya memungkinkan membuka ruang sosial bagi masyarakat dari generasi ke generasi yang menjadi teman sejati bagi kebiasaan mereka sehari-hari.