REVIEW

Kretek dan Krisis Perang Dunia Pertama

“Industri kretek telah membuktikan diri menjadi hanya sedikit, bahkan mungkin satu-satunya, dari industri nasional yang mampu bertahan dari berbagai terpaan badai pergolakan sosial dan politik, perang dan pemberontakan bersenjata, juga krisis perekonomian global maupun lokal”

(Topatimasang, Roem, (ed), dkk, Kretek: Kajian Ekonomi dan Budaya 4 Kota, Indonesia Berdikari, Yogyakarta, 2010, hal. 139)

Juni 1914. Putera mahkota Austria-Hongaria dan istrinya dibunuh dalam kunjungan ke Sarajevo. Konflik kepentingan ekonomi-politik antar-bangsa Eropa menemukan momentumnya. Perang pecah sampai November 1918. Sejarah menulis dekade kedua abad XX ini dengan tinta darah. Tak kurang dari 40 juta manusia meregang nyawa hanya dalam waktu 4 tahun 4 bulan.

Hindia Belanda terguncang. Negeri induknya, Belanda, memang tidak ambil bagian dalam perang. Namun nilai investasi Jerman yang tinggi di sana, ditambah hubungan dagang yang erat, membuat Inggris melakukan blokade atas pelabuhan-pelabuhan Belanda. Koloni-koloni Belanda terimbas, tak terkecuali Hindia Belanda. Ricklefs menggambarkannya sebagai “jaman kacau” di Hindia Belanda; pelayaran antara Indonesia dan Eropa terganggu oleh perang, komunikasi terhambat, anggaran belanja militer kolonial meningkat, sedangkan anggaran belanja untuk kesejahteraan dikurangi, harga barang-barang naik, dan kesejahteraan rakyat merosot.

Uniknya, dalam “jaman kacau”, ketika terjadi kelumpuhan di manamana, industri kretek terus berkembang. Sampai tahun 1918, puluhan perusahaan kretek baru justru bermunculan di Kudus. Industri kretek juga semakin meluas di Jawa Timur, ditandai dengan berdirinya perusahaan kretek pertama di Nganjuk dan Madiun tahun 1915.

Khusus di Kudus, perkembangan industri yang begitu pesat menarik minat para pengusaha Tionghoa untuk ikut terjun ke bisnis kretek. Sayangnya, perkembangan yang terjadi di kota kelahiran kretek ini tidak berbuah manis. Persaingan para pengusaha pribumi dengan para pengusaha Tionghoa terjadi sepanjang Perang Dunia I, dan berujung pada kerusuhan di bulan Oktober 1918, beberapa minggu sebelum perang berakhir.

Budiman dan Onghokham menggambarkan bencana tersebut sebagai berikut:
“Pada awal mulanya seluruh perusahaan rokok di Kudus berada di tangan orang pribumi. Namun, setelah para pengusaha ini berhasil mencapai demikian banyak kemajuan dalam waktu yang relatif singkat, para pengusaha Tionghoa beramai-ramai mengikuti jejak mereka. Di antara kedua pihak kemudian muncul persaingan hebat. Pada tahun 1918 persaingan ini telah mencapai puncaknya, hingga menjadi salah satu faktor penting penyebab meletusnya sebuah kerusuhan hebat yang meledak di Kudus pada tanggal 31 Oktober tahun itu juga.

Banyak korban berjatuhan pada kedua pihak. Sejumlah rumah dan pabrik terbakar. Banyak pengusaha pribumi yang berpengaruh diajukan ke muka pengadilan dan dijatuhi hukuman. Akibatnya, industri kretek di Kudus mengalami kemunduran. Sebaliknya, dengan terpidananya para pengusaha pribumi tersebut, para pengusaha Tionghoa berhasil memperkuat posisi mereka dalam industri rokok kretek di Kudus. Fajar kemakmuran mereka pun mulai merekah.

Dalam situasi di mana konsepsi kebangsaan Nusantara belum lagi jelas, atau semata-mata ditentukan oleh pemerintah kolonial untuk kepentingan mereka, sejumlah kerusuhan dengan orang-orang Tionghoa dengan cepat mewabah dan merebak di banyak tempat, khususnya di Jawa. Sepanjang tahun 1913 – 1914, kerusuhan etnis pecah di banyak kota, antara lain di Surabaya, Solo, Semarang, Cirebon, Tangerang, dan Bekasi, dengan motif serupa—persaingan bisnis.

Tetapi lagi-lagi, industri kretek adalah anomali. Pasca kerusuhan, tidak dibutuhkan waktu lama bagi industri kretek di Kudus untuk pulih dan bangkit kembali. Masih menurut gambaran Budiman dan Onghokham, di tahun 1924, industri kretek di Kudus sudah bisa dibedakan ke dalam 3 golongan, yaitu besar (produksi di atas 50 juta batang per tahun), menengah (produksi 10 – 50 juta batang per tahun) dan kecil (produksi di bawah 10 juta batang per tahun).

Di tahun itu, tercatat ada 12 perusahan besar, 16 perusahaan menengah, dan 7 perusahaan kecil. Jumlah seluruhnya sebanyak 35 perusahaan, dan terus meningkat di tahun-tahun selanjutnya: menjadi 38 perusahaan di tahun 1925, 42 perusahaan di tahun 1926, dan 46 perusahaan di tahun 1927.

Di tahun 1928, industri kretek telah mencapai jumlah 50 perusahaan, dengan perincian 13 perusahaan besar, 26 perusahaan menengah, dan 11 perusahaan kecil. Pulihnya industri kretek di Kudus juga ditandai dengan semakin berkibarnya perusahaan Nitisemito.

Tahun 1924, Bal Tiga telah melibatkan 15.000 orang pekerja. Salah satu faktor penting di balik kesuksesan Bal Tiga adalah strategi promosinya yang luar biasa. Nitisemito dan Bal Tiga menyediakan sejumlah hadiah gratis berupa sepeda, jam dinding, jam tangan, gelas, cangkir, piring—semua berlogo Bal Tiga, yang bisa didapatkan pelanggan hanya dengan menukarkan sejumlah bungkus kosong kretek.

Agar promosinya berjalan lebih massif, Nitisemito membeli beberapa bis yang didesain khusus dengan jendela besar, dan menggunakannya sebagai etalase hadiah (jendela besar membuat hadiah bisa terlihat lebih jelas) yang dibawa berkeliling dari kota ke kota di Jawa. Strategi “jemput bola” ini memudahkan pelanggan yang hendak menukar sejumlah bungkus kretek dengan hadiah, dan dengan sendirinya menaikkan kepopuleran Bal Tiga di mata masyarakat.

Tak hanya itu, setiap ada pasar malam di Jawa Tengah, Nitisemito mendirikan stan Bal Tiga. Sandiwara atau tonil juga digelar dari kota ke kota. Yang ingin menonton tidak perlu merogoh kocek untuk membeli karcis, tetapi cukup menukarkan beberapa bungkus kosong Bal Tiga sebagai tiket masuk.

*Tulisan diambil dari buku “Membunuh Indonesia: Konspirasi Global Penghancuran Kretek”