berita rokok
REVIEW

Membaca Berita Terkini Perihal Rokok

Membaca berita tentang rokok selalu mengernyitkan dahi. Ada saja yang membuat hoax, misal rokok = narkoba. Benarkah itu?

Menulis rutin dua kali dalam sepekan untuk situsweb ini, kadang menyenangkan, karena memang salah satu kegemaran saya adalah menulis. Namun adakalanya ia juga membebankan, berat. Sebab, tiap pekan dua kali saya dikejar tenggat waktu untuk segera mengirim tulisan ke redaktur.

Ada dua hal yang menjadikan kewajiban menulis dua kali sepekan di situsweb ini adakalanya berat bagi saya. Yang pertama, saya terbiasa menulis tanpa jadwal waktu yang pasti. Saya menulis saat saya mau menulis, bukan saat saya harus menulis ketika tengat waktu pengiriman menulis hampir tiba. Kedua, tema spesifik yang mesti saya tulis untuk situsweb ini kerap membikin daya eksplorasi saya terbatas.

Seperti hari ini misal, tenggat waktu pengiriman tulisan sudah lewat hampir 10 jam, tapi saya masih belum mampu menyelesaikan tulisan untuk situsweb ini. Kebingungan memilih tema menjadi sebabnya. Jika sudah begini, dan memang beberapa kali saya mengalami kendala semacam ini, Google dan media sosial menjadi jalan terakhir yang saya andalkan untuk membantu saya menyelesaikan tulisan.

Membaca Berita tentang Rokok

Saya memulai dari Google, mengetik kata kunci ‘rokok’ di mesin pencari Google, lantas menyisir berita-berita dan informasi terbaru terkait rokok yang berhasil dihimpun mesin pencari Google. Tiga hari belakangan, informasi terkait rokok yang ada dalam berita-berita nasional didominasi oleh: simplifikasi cukai rokok; rokok sebagai pintu masuk menuju penggunaan narkoba; dan perlindungan anak dari asap rokok dan aktivitas merokok. Di luar itu, ada terselip berita mengenai dimusnahkannya rokok ilegal senilai Rp2,6 milyar di Sulawesi Selatan.

Isu simplifikasi atau penyederhanaan cukai rokok memang sedang marak diperbincangkan akhir-akhir ini. Semua ini bermula dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang salah satu poinnya hendak melakukan penyederhanaan cukai sekaligus menaikkan nilai cukai yang tinggi pada tahun depan.

Salah satu turunan dari RPJMN dituangkan dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 77/02/2020 yang menyebutkan skema simplifikasi sekaligus menaikkan nilai cukai pada 2021. Menteri keuangan kita kali ini, memang gemar sekali bermain-main dengan cukai rokok. Kerap menaikkan cukai rokok, bahkan di tahun lalu angkanya mencapai lebih dari 20 persen yang menjadi kenaikan cukai terbesar sepanjang masa di negeri ini.

Selama ini, cukai rokok dibeda-bedakan dalam beberapa layer, hingga 10 layer. Perbedaan ini berdasarkan jenis rokok yang diproduksi, jumlah rokok yang diproduksi, kelas dan tingkatan pabrikan yang memproduksi rokok, dan beberapa pembeda lainnya. Semua itu hendak disimplifikasi sehingga tarif cukai menjadi lebih seragam.

Jika ini diterapkan, akan begitu banyak pabrikan rokok kecil dan menangah yang akan gulung tikar karena beban yang mereka tanggung meningkat dan mereka juga mesti bersaing head to head dengan pabrikan-pabrikan rokok besar. Simplifikasi ini juga akan berdampak pada menurunnya harga jual tembakau di tingkat petani.

Rokok = Narkoba?

Berita selanjutnya perihal rokok yang ramai diberitakan tiga hari belakangan adalah rokok yang diasumsikan sebagai pintu gerbang menuju penggunaan narkoba. Isu ini sebetulnya isu lama, dan kerap digunakan oleh anti-rokok dalam kampanye-kampanyenya untuk menyerang produk rokok dan aktivitas merokok.

Sudah lama pula isu ini sudah dibantah dengan sangat baik dengan penguat data-data yang ada di lapangan. Bahwa rokok sebagai pintu gerbang menuju narkoba sekadar bualan belaka, sekadar omong kosong yang dihembuskan untuk mengebiri rokok.

Isu ini kembali naik belakangan ini usai Menteri Sosial kembali mengeluarkan pernyataan itu. Ia kembali menghembuskan lagi isu itu bersamaan dengan kampanyenya melindungi anak dari asap rokok dan kemungkinan perokok anak.

Semua orang yang memiliki akal sehat, entah itu perokok ataupun tidak, tentu sepakat anak-anak mesti dilindungi dari asap rokok, dan dilarang untuk merokok. Karena peraturan undang-undang sudah jelas, usia 18 tahun ke atas seseorang baru dibolehkan merokok. Semua sepakat akan hal ini. Kampanye perokok santun salah satunya juga perihal itu, anak-anak harus dilindungi dari asap rokok dan larangan memberikan rokok kepada mereka yang usianya belum mencapai 18 tahun.

Tapi Menteri Sosial lebih memilih menggunakan hoax untuk mendukung kampanye perlindungan anak dari asap rokok dan perokok anak. Bukannya melakukan edukasi yang baik dan terstruktur, tetapi ia lebih senang menakut-nakuti dengan berita-berita yang tidak tepat semacam itu.

Kampanye menteri sosial tentang perlindungan anak dari asap rokok dan perokok anak ditutup dengan pernyataannya yang mendukung kenaikan cukai rokok yang setinggi-tingginya. Ia bahkan mengusulkan angka harga rokok per bungkus Rp100 ribu agar anak-anak kesulitan membeli rokok. Tambahan lagi, konsumsi rokok semakin menurun karena harga rokok yang semakin mahal.

Hati-hati Apabila Bikin Saran

Usul sih boleh saja. Karena Anda memang pejabat pemerintah yang memiliki wewenang untuk itu. Tetapi usul juga mesti melalui pertimbangan yang matang, dan dengan perhitungan-perhitungan yang masuk akal, jangan sembarangan, asal-asalan, apalagi sembari menghembuskan berita tidak benar untuk mendukung usulan Anda itu. Anda harus ingat, Anda itu menteri sosial, pejabat publik di negeri ini, bukan rentenir atau penipu ulung!