Sebagai the sociology of hope konsep Ratu Adil merupakan mitos yang sangat populer di pedesaan masa lampau.
[dropcap]P[/dropcap]angeran Diponegoro dan Perang Jawa (1825 – 1830) sering disebut-sebut sebagai wujud dari gerakan mesianisme. Berakar dalam budaya petani, Perang Jawa itu diikat salah satunya oleh narasi mitologis bahwa Pengeran merupakan sosok Ratu Adil yang notabene telah dinanti-nanti sekian lama. Sebagai Ratu Adil diharapkan Pangeran mampu mengembalikan keseimbangan kosmis Jawa yang koyak karena terlalu banyaknya campur tangan bangsa asing (Belanda) dan hilangnya wahyu keraton.
Dalam “Kuasa Ramalan: Pangeran Diponegoro dan Akhir Tatanan Lama di Jawa 1785-1885”, Peter Carey mencatat menjelang berkobarnya Perang Jawa itu Gunung Merapi meletus. Letusan itu dimaknai sebagai penanda datangnya zaman baru dan keniscayaan Ratu Adil yang segera membangkitkan harapan bagi rakyat. Pangeran Diponegoro sendiri, menurut Carey, juga menganggap letusan Merapi itu sebagai penanda dirinya bahwa saatnya telah tiba, dan segera meletuslah Perang Jawa itu.
Merujuk sejarawan Sartono Kartodirdjo (1984), sepanjang abad ke-19 gejolak di pedesaan Jawa hampir selalu diekspresikan dalam asprasi Ratu Adil. Sebagai the sociology of hope konsep Ratu Adil merupakan mitos yang sangat populer di pedesaan masa lampau. Dalam konteks kultural, konsep Ratu Adil dapat diaggap sebagai anasir kontra kultur terhadap peradaban dengan kultur yang mapan. Lebih jauh menurut Kartodirdjo gagasan mesianisme ini lazimnya mengandung ciri-ciri seperti radikalisme, revolusioner, total, diesseitig.
Memasuki zaman Politik Etis. Sarikat Islam didirikan pada 1912 dan merupakan gerakan massa pertama di Indonesia. Kebesaran Sarikat Islam tak bisa dilepaskan dari kharisma Cokroaminoto, yang segera mengingatkan banyak orang pada mitos Erucokro, yaitu nama lain menyebut Ratu Adil. Maka segara saja masyarakat petani beragregasi dengan pusat-pusat pergerakan massa di perkotaan, berporos pada Sarikat Islam dan Cokro, menggalang asa berharap hilangnya kuasa kolonialisme dan lahirnya tatanan baru.
Sebenarnya sejak memasuki zaman Jepang atau bahkan jauh sebelumnya, telah beredar pembicaraan populer tentang ramalan Jayabaya. Onghokham (1977) mengatakan selama abad ke-19 Serat Jayabaya telah menjadi wacana yang demikian populer. Mereka menafsirkan ramalan itu sebagai indikasi bahwa bangsa Jawa akan terbebas dari penjajahan bangsa asing melalui keterlibatan orang ‘berkulit kuning’ dari utara. Kemudian, menyusul gejolak kekacauan memasuki fase revolusi, orang lantas juga teringat ramalan Ronggowarsito. Dia pernah meramalkan bahwasanya era baru keadilan dan kesejahteraan masyarakat Nusantara nanti justru akan didahului oleh fase kegilaan. Sebuah kondisi yang secara sosiologis sering disebut anomie atau khaos, sebuah jaman edan!
Maka tak sedikit unit gerilya dan milisi rakyat pada masa bergolak itu berjuang dengan kesadaran penuh menganggap diri mereka adalah agen perubahan untuk melahirkan sebuah tatanan baru. Bahkan, menurut Paul Stange (1998), tak sedikit anggota PKI sekalipun juga mengidentifikasikan dirinya dengan aspirasi dan spirit mesianisme Jawa tersebut.
Menariknya lagi, sekiranya aspirasi mesianisme atau millenarisme Jawa ini kita amati lebih jauh, nampaknya wacana ini tak hanya diyakini kebenarannya oleh kalangan orang Jawa akar rumput saja, tapi naga-naganya juga oleh para elitnya. Sebut saja Bung Karno atau Pak Harto, misalnya. Mari kita dedah secara fenomenologis.
Dalam biografi yang ditulis Cindy Adams (1971), diceritakan Bung Karno menggunakan momen letusan Gunung Kelud pada 1901 untuk memberi ”keistimewaan” kelahiran dirinya. ”Masih ada pertanda lain ketika aku dilahirkan. Gunung Kelud, yang tidak jauh letaknya dari tempat kami, meletus. Orang meramalkan, ini penyambutan terhadap bayi Sukarno,” ujar Bung Karno pada Cindy. Lebih jauh kepada penulis biografinya yang cantik itu, si Putra Fajar demikian ia sering menyebut dirinya juga bertutur bagaimana Bung Karno selama ini diidentifikasi oleh khalayak luas sebagai Ratu Adil.
Sementara Pak Harto sebagai orang Jawa sekaligus penganut kebatinan. Pilihan akronim “Supersemar” jelas bukanlah kebetulan. Tentu saja Pak Harto paham betul arti penting tokoh Semar bagi pandangan-dunia Jawa. Pembuatan akronim Supersemar jelas tak bisa dilepaskan dari konteks makna atau nilai-nilai mitologis Semar bagi orang ataupun budaya Jawa. Seperti kita ketahui pasca Peristiwa G30S-1965, pengambilalihan kekuasaan dari Presiden Soekarno oleh Letjend Soeharto dilakukan dengan skenario “kudeta merangkak”, setelah terlebih dahulu dilegitimasi oleh ‘mandat’ Supersemar (Surat Perintah Sebelas Maret) itu.
Juga ketika rezim militeristik ini kemudian terkonsolidasi dan menamai dirinya “Orde Baru” diperlawankan dengan “Orde Lama” sebagai label pemerintah Soekarno, jelas menyiratkan bagaimana Pak Harto bermaksud mengidentifikasikan kekuasaan dirinya dengan spirit tatanan baru yang telah ditunggu-tunggu masyarakat luas selama ini.
Apa yang menarik kita catat di sini ialah, bahwa dari Pangeran Diponegoro hingga Soeharto nampak adanya proses identifikasi diri, atau setidaknya mereka diidentifikasi oleh khalayak luas, sekalipun tak semuanya dipersepsi sebagai Ratu Adil tapi setidaknya dianggap tengah mengemban titah Gusti untuk mengembalikan keseimbangan dan ketenangan kosmis Jawa yang koyak moyak. Mudah diduga bahwa pada setiap masing-masing zaman itu terdapat situasi krisis sosial, kegentingan politik dan kondisi anomie yang mengarah pada situasi antagonistik dan khaos, sebagai ciri-ciri dari sebuah fase transisi sosial-politik.
Selain itu, juga menarik dicermati bahwasanya konsepsi Ratu Adil sebagai wujud gerakan millenarisme di Nusantara secara diskursus sebenarnya tak terlepas dari kuasa ramalan masalalu. Sebutlah ramalan Sri Aji Jayabaya, sang Notradamus Jawa sekaligus Raja Kendiri yang besar dari abad ke-12 itu. Atau ramalan Ronggowarsita, sang pujangga Jawa terakhir dari abad ke-19. Dari tulisan kedua pujangga itulah terbangun suatu kepercayaan akan datangnya suatu zaman yang membawa kebahagiaan seperti yang dulu pernah dialami nenek moyang bangsa Nusantara. Dan datangnya zaman keemasan ini akan membawa transformasi mendasar dalam struktur politik-ekonomi dan kebudayaan masyarakat yang ada sekarang.
Demikianlah, alkisah Sabdopalon bernubuat bahwa akhir Majapahit adalah akhir kisah zaman keemasan budaya Jawa. Setelah kepergian Sabdopalon sejak runtuhnya Majapahit itu, konon 500 tahun kemudian ia akan menitis kembali dengan maksud mengembalikan tatanan sosial politik pada rel sejatinya. Pada momen inilah muncul Satria Piningit sebagai perwujudan Ratu Adil yang dinanti-nanti itu. Akhir kisah Nusantara kembali memasuki zaman keemasan Agama Budhi. Keseimbangan kosmis tercipta dan terwujud gemah ripah loh jinawi. Sabdopalon sendiri konon adalah reinkarnasi tokoh legenda Semar, yang bukan hanya dianggap leluhur masyarakat Jawa, namun sekaligus juga penjaga wahyu kekuasaan bagi lahirnya pemimpin sejati.
Seperti kita tahu, dalam kerangka pandangan-dunia Jawa basis otoritas kekuasaan adalah ‘wahyu’. Sementara wahyu dipahami orang Jawa sebagai mandat ilahiah, di mana penguasa harus benar-benar bisa seiring sejalan dengan kehendak kosmis. Bisa atau tidaknya seorang penguasa mengemban wahyu nampak dari sejauh mana dia mampu mempertahankan keselarasan kosmis, baik antara manusia dan alam maupun antar manusia itu sendiri.
Ancaman terbesar bagi legitimasi kekuasaan ialah adanya pamrih, yaitu kepentingan sempit dengan maksud memperkaya keluarga atau golongannya sendiri. Unsur pamrih berdampak mempersempit ruang kesadaran seorang penguasa untuk bisa menyesuaikan diri dengan dinamika energi kosmis dan kehendak kolektif. Hasilnya mudah ditebak, cepat atau lambat kemampuan penguasa untuk menjaga keseimbangan kosmis bisa dipastikan gagal. Karena pamrih pulalah wahyu itu pergi, dan segera tatanan kuasa tanpa dipayungi wahyu sudah pasti akan gonjang-ganjing.
Memasuki tahun 1990-an, dekade terakhir era kekuasaan Presiden Soeharto, aspirasi mesianisme Jawa kembali sayup-sayup terdengar. Kali ini bukan mengemuka sebagai wacana Ratu Adil, tapi lebih mengambil wacana Satria Piningit dan Sabdopalon. Wacana ini nampaknya sengaja digulirkan mengiringi suksesi kepemimpinan nasional dengan maksud mengganti kediktatoran Presiden Soeharto waktu itu. Kini meski Pak Harto sudah lengser keprabon dan zaman pun sudah salin rupa jadi “demokratis”, namun narasi Satria Piningit dan Sabdopalon toh masih jua bergema di pinggiran. Meski tentu saja tak senyaring pada masa transisi politik kekuasaan pada 1998.
Kita tentu ingat, pada masa pilpres baru lalu Jokowi dan Prabowo juga sama-sama sempat dinarasikan sebagai pengejawantahan sosok Satria Piningit. Benar, itu hanya strategi kampanye untuk mendulang suara. Tapi, pilihan topiknya sendiri mengisyaratkan wacana Satria Piningit dan Sabdopalon beserta aspirasinya masih hidup di tengah-tengah masyarakat.
Tentu saja banyak tafsir tentang makna Satria Piningit dan Sabdopalon. Susah juga membuktikan kebenaran aktualnya. Terlepas daripada itu, sekiranya wacana itu semakin nyaring terdengar di sana-sini, maka penguasa harap mawas diri dan hati-hati. Bukalah mata dan telinga lebar-lebar, kemudian bertanyalah dengan rendah hati:
“Bagaimana kabar rakyatku di akar rumput, sudahkah nasib kalian gemah ripah loh jinawi, atau justru sebaliknya semakin kehilangan asa?”